Share

Surat Bertinta Darah

Bunyi Alarm ponsel membuat mataku terbuka. Kupandangi jam di layar gawai, tampak angka lima. Aku menatap langit-langit kamar disinari lampu di tengahnya. Penghilatanku sedikit bergerak, tidurku hanya beberapa jam akibat suara-suara semalam.

 

Sejenak aku bersandar di bahu ranjang. Mengusap wajah setengah menguap. Memaksa diri beranjak dari pembaringan untuk membasuh wajah, tangan beserta kaki. Lalu, melaksanakan ibadah.

 

Aku merapikan tempat tidur sebelum keluar menunggu Nona Muda memberi arahan.

 

Perasaanku sedikit tenang, tak ada suara tangisan atau barang jatuh dan berbenturan. 

 

"Aku baru saja ingin bangunkan kau," ujar Nona Muda menghampiri. Aku mengamati sekilah wajah dan matanya membengkak.

 

"Saya bangun jam 5, Kak ... Nona," sahutku terbata-bata. Sebenarnya aku ingin sekali bertanya, apakah ia baik-baik saja dengan mata bengkak seperti itu?

 

"Nona?" Matanya menatap tajam tersenyum tipis. "Panggil saja seperti biasa. Kakak. Aku lebih suka panggilan itu," tegasnya kemudian. 

 

Aku mengangguk pelan. Ia memberi isyarat agar aku mengikutinya. Nona Muda berjalan memasuki ruang belakang, tampak seperti dapur. Namun, tak terawat, banyak debu menebal. Kaca lemari tempat gelas dan piring cantik hampir tak dapat dilihat karena penuh noda.

 

Menarik napas lebih dalam, ini akan menjadi pekerjaan yang panjang. Nona muda mendekati sekumpulan alat pembersih di sudut ruang belakang. 

 

"Kau cuci sapu dan kayu pel ini, beserta kain-kain yang akan kau gunakan untuk bersihkan debu. Paham?" Ia memegangi alat pel dan mengamatinya. Mungkin, ia memastikan kayu pel itu masih layak digunakan.

 

Aku mengambil dan kain-kain berserakan itu. "Di mana aku mencucinya, Kak?"

 

Nona muda menunjuk ke sebelah kiri, tepat pada pintu yang kuyakini kamar mandi atau khusus tempat pencucian. Aku segera berjalan mendekati pintu.

 

Saat kubuka, lantai dan dindingnya berwarna coklat. Padahal, keramiknya berwarna putih dan biru. Sedikit jijik, beruntung ada sandal tersimpan di rak dekat pintu itu.

 

"Boleh, saya pakai sendal ini, Kak?" tanyaku meminta izin. 

 

"Tentu, gunakan saja, Dik!" Nona Muda menyeringai. "Kau jijik dengan toiletnya?" Pertanyaan Nona Muda membuatku menoleh, aku tersenyum dengan wajah ragu untuk menjawab.

 

Ia masuk melewatiku. Ia membuka penutup jalan keluarnya air di bak mandi. Kemudian memutar kran.

 

"Saya bersihkan dulu, Kak," ujarku menyusul masuk.

 

Ia mengangguk. "Tunggu di sini! Aku akan mencari cairan pembersih."

 

Aromanya tak seburuk yang terlihat. Mungkin toilet itu jarang dipakai orang dengan waktu lama. Hanya saja, debu terus bersemayam menebal ditambah udara lembab.

 

"Ini ...." Nona Muda mengulurkan sebotol cairan pembersih padaku. "Kau bersihkan dulu, aku akan menunggu di ruang tengah," imbuhnya berlalu dengan suara alas kaki menepuk lantai.

 

Aku mulai menggosok bak mandi dan menyirami hingga bersih. Menyikat lantai beserta dinding keramik. Peluh di kening dan lainnya membuatku sedikit gerah. 

 

"Belum selesai? Tinggalkan saja, aku tak punya waktu banyak, Dik," tegur Nona Muda tampak menopang kedua tangan di pinggul.

 

Segera aku menyiram setiap sudut dan keluar toilet. Kemudian, aku mengikuti tiap arahan Nona Muda hingga dapur dan ruang tengah bersih. 

 

***

 

Tiga hari berlalu, seluruh rumah telah bersih. Kecuali, ada satu kamar yang Nona Muda sendiri membersihkannya, tepat di lantai dua. 

 

Kemarin, Nona Muda berkata padaku, "jangan dekati kamar ini!"

 

Terkadang, aku mencari ibu Nona Muda karena telah tiga hari belum melihatnya. Kupikir, apakah beliau sesibuk itu hingga sulit ditemui saat siang?

 

Tiap menjelang malam, aku langsung masuk di kamar, tepat pada pukul lima. Nona Muda pun biasanya keluar sesekali dan pulang di malam hari membawa sekotak makanan untukku.

 

Pegal di tubuhku, masih sangat terasa, aku melirik ke jendela yang masih terbuka. Memaksa diri beranjak dari pembaringan, senja semakin redup. 

 

Saat aku menapaki lantai keramik yang menghantarkan dingin, tiba-tiba ada sesuatu yang terlempar dari luar jendela. Seketika aku menatap jendela, halaman samping rumah dengan  beberapa pohon pinus berjejer. 

 

Tak ada siapa-siapa di luar, aku menutup jendela rapat. Kemudian meraih gumpalan kertas tadi. Kutatap lamat-lamat. 

 

[PERGI! KAU AKAN MATI] 

 

Aku mengernyit melihat tinta merah bertulis peringatan itu. Siapa yang melemparnya? Merah tinta di kertas itu berbau amis. Aku membungkusnya dalam kantong plastik sisa makanan semalam dan membuang ke tempat sampah kamar.

 

Siapa yang usil menakut-nakutiku? Aku meraih ponsel dan melihat pesan. Apakah Nona Muda yang mengerjaiku? Tetapi ... ia tampak bukan orang jail. 

 

[Kakak, ada kertas terlempar dari luar jendela.] 

 

Aku terpaksa mengganggu Nona Muda lagi. Gelisah menyerang, aku terus duduk bersandar di bahu ranjang menutup selimut. Menunggu Nona Muda.

 

Beberapa menit, tepat pukul enam. Aku terus menatap layar gawai menunggu balasan, tetapi tak kunjung datang. Aku menyalakan lampu kamar.

 

Suara ketukan di jendela terdengar. Siapa yang mengetuknya? Tak mungkin Nona Muda, ia selalu datang dari pintu kamar dan memanggilku.

 

Aku duduk di lantai, suara ketukan jendela semakin keras. Getaran tubuhku tak tertahan. Rasanya aku ingin berteriak dan bertanya. Namun rasa takut mengalahkan diriku. Bagaimana jika itu pencuri? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status