Share

Bab Tiga. Penguntit? Huwa!

[Tar, kamu di mana? toilet sudah beres? Ingat! MANDI!]

Lima huruf di akhir pesan membuat mataku mendadak buram. Perasaan aku nggak punya rabun dekat. Apa musti aku video call aja biar jelas? Aselole! Makin ngadi-ngadi.

Aku masih tak menduga perkara mandi saja harus dia atur. Perasaan si Pak Bejo rekan kerjaku yang datang ke kantor tanpa mandi tiga hari nggak dia protes. Giliran aku nggak mandi sekali, repotnya udah kayak ngurusin nikah.

Tiap menit dia ingetin tentang kebersihan sampai-sampai dia kirim hadis bahwa 'kebersihan sebagian dari iman'. Bener sih bener, tapi cara ingetinnya itu loh bikin orang ingin terjun payung. 

Kok, bisa-bisanya tuh bos galak tahu aja tentang aku yang belum mandi tadi? Dapat dari mana coba? Apa mungkin belek aku masih nyembul pas ketemu dia? 

"Ah, Bodohnya aku!"

Aku membentur-benturkan kepala ke atas meja kantin sampai menimbulkan bunyi yang cukup keras.

Menyadari harga diriku turun beberapa derajat, kupikir tak ada harapan lagi aku disangka gadis cantik yang rapi dan wangi di kantor ini. 

"Tarii! Eh, anak malang ada di sini, udah dihukumnya?" Seseorang tiba-tiba menepuk bahuku hingga aku mengangkat kepala. 

Dengan mata terpejam pun aku tahu hanya kedua kurcaci ini yang selalu tahu keberadaanku, siapa lagi kalau bukan Evi dan Igo.

"Udah Vi! Kenapa?" 

"Astaghfirullah! Siapa ini? Kenapa muka lu jadi jelek Tari? Lu diapain si Bos?" teriak si Evi ketika melihat mukaku yang layu, lemah dan lesu. Sementara si Igo hanya menatap iba. 

Waktu dua jam membersihkan toilet si bos ternyata mampu membuat wajahku yang buluk jadi super buluk. Dahlah malas. 

"Gue disuruh bersihin toilet si bos Vi, sadis kan dia?" 

"Hah? Seriously? Beruntung banget lu!"

"Beruntung pala buaya? Enak aja, capek tahu."

"Yaelah lu gak tahu ya, nggak sembarang orang bisa masuk toilet itu. Dia kan tempat BAB-nya ja pakai sistem Jepang gitu yang kalau suara pelepasan hajatnya kekencengan bisa diredam apa ye namanya, oh ya flushing sound."

"Wow beneran?  Wah lu telat bilangnya lu! Kalau tahu gitu gue nyobain tadi," sesalku karena tidak mencoba toilet si bos saking terburu-buru ingin selesai.

Padahal jika tahu tuh tempat buang hajat canggih, meski nggak sakit perut kan bisa dimusyawarahkan biar BAB. Kali aja ya kan, pas mencet flush eh yang keluar suara Afgan. Pantas saja tadi toiletnya unik banget kayak yang punya. Ada tombol speakernya.

"Iya, makanya kalau ada gosip didenger bukan ditelen. Eh, terus lo nyobain apa dong? Masa bersih-bersih doang?"

"Gue nyobain ...."

"Tar, ini handuk siapa?" 

Gawat! 

"Eh, ini handuk gue, lepasin Go!" Tanpa permisi, tiba-tiba si Igo mengambil handuk yang ada di atas meja.

Kontan saja, seakan disengat listrik, aku langsung mengambil handuk Pak Leo dari tangan Igo. Kini rahasia terbesarku sedang dipertaruhkan. Aku tak akan membiarkan mereka tahu tentang kenyataan kalau aku mandi di toilet si bos.

Kata Pak Leo, bisa-bisa dia disangka pilih kasih kalau orang kantor tahu tentang itu. Bisa jadi gosip dan SP dari HRD pun turun. Ngeri!

"Beneran itu handuk lu? Bohong ah?" Igo duduk di depanku sembari melipat dahi. Curiga.

"Beneran gue, masa sih lu gak caya?"

"Enggak! Itu kan handuk merek mahal Tar, lu nggak nyolong kan?" Kini Evi yang mulai memicingkan mata.

"Sembarangan! Enggaklah, ini beneran anduk gue. Gue nabung buat beli anduk ini sampai enggak beli k*ncut tiga bulan. Ciyus ...."

Aku menunjukan wajah penuh keyakinan karena takut ketahuan. 

"Ah ... masa? Kita gak per--"

"Allahu akbar! Gawat! Tari!" Belum juga si Igo selesai ngomong si Evi udah teriak saja kayak lihat hantu. 

"Apaan sih, Vi?" 

"Rapat! Tar! Kata Pak Babun elu ditunggu rapat darurat tim khusus sama Pak Leo! Sekarang!"

"Sekarang?"

Buset! Mau apa lagi si 'monster protein' ini? Mie ayam aja belum habis, udah main rapat aja. Hidupku kacau banget Ya Allah. 

(***)

"Eh, Pak! Jangan ditutup! Tolong!" 

Aku berlari sekuat tenaga ketika melihat Pak Leo mau menutup pintu ruang meeting. Siapa pun tahu jika Pak Leo lebih dulu tiba dibanding anggota rapat alamat hancur dunia persilatan. Bye-bye gaji!

Pak Leo menghentikan langkahnya, seperti yang kuduga telinganya Pak Leo itu mirip kelelawar, bunyi sedikit saja dia langsung awas, apalagi kalau ada yang ghibahin. Kualat mah udah. 

"Kamu baru datang?" tanyanya datar padaku. Matanya menyapu dari ujung rambut sampai ujung kaki. 

"I-iya Pak. Maaf tadi saya kan habis bersihin WC terus makan terus ...." 

"Stop! Saya lagi gak minta kamu buat bikin jadwal harian."

Aku menunjukan cengiran garing. Terbiasa dislepet si bos ternyata membuat hatiku kebas dengan sendirinya. 

"Jadi, Pak apa saya boleh masuk?" tanyaku karena melihat Pak Leo masih memegang gagang pintu ruang meeting. Tubuhnya yang tegap dan berotot seakan sengaja menghalangiku untuk masuk. 

"Kamu mau masuk?" Dia memandang datar. 

"Iya, Pak. Bolehkah?" 

"Boleh."

Aku bersorak dalam hati. Tak sia-sia aku shalat dhuha tadi rezeki emang enggak ke mana, ternyata Allah meluluhkan hati bosku yang biasanya kejam ini. 

Dengan langkah riang aku melenggang pasti tapi tragis baru saja aku tiba di ambang pintu tiba-tiba pintu terbanting keras di depan mukaku. 

BRAK! 

Aku nyaris saja mau jatuh jika tak segera menyeimbangkan diri, tapi tetap saja saking kerasnya bantingan wajahku yang burik ini berhasil bersilaturahim dengan pintu.

"Aww!" pekikku spontan. "Pak sakit tahu!"

"Eh, lupa masih ada orang." Tanpa kuduga Pak Leo kembali muncul dari balik pintu dengan senyuman jahilnya. 

Aku yakin dia sengaja menutup pintu itu. Lihat aja mukanya, iblis banget. 

"Ih Pak Leo, kira-kira dong kalau tutup pintu, hidung saya nih bertabrakan dengan pintu kan sakit," protesku berapi-api sambil memegang hidung. 

"Jadi, sekarang hidung kamu sakit?"

"Ya-iyalah." 

"Coba sini mana saya lihat ...." 

Tiba-tiba tangan Pak Leo terjulur ke arahku, aku sontak memajukan kepala karena bahagia mendapati si bos perhatian sama mukaku tapi ternyata itu tak lebih dari harapan palsu. Tinggal dua centi tangan si bos mau menyentuh hidungku eh, tangannya malah belok memegang pintu. 

Tentu saja itu membuatku seketika cengo bak orang bego. Seperti diajak terbang terus dijatuhkan dari helikopter. 

"Coba saya lihat pintunya. Hey, pintu kamu gak apa-apa kan?" tanya Pak Leo pada pintu. Si-al! Dia lebih sayang pintunya dibanding aku. 

"Astaghfirullah Pak! Pintu diperhatiin lah muka saya gimana? Ini muka manusia loh Pak, bukan gayung lope." Gedek banget, sumpah!

(***)

Pulang ke rumah di kala malam hampir mendekati jam kunti ngeronda adalah hal yang paling ingin dihindari oleh karyawan wanita di belahan bumi Indonesia. Percaya deh, hanya yang benar-benar bertekad kuat aja yang mau kerja malam di bawah bayang-bayang kejahatan ibu kota. Temasuk aku. 

Seandainya tadi si Doni gak bikin salah di rapat, pastinya jam segini aku sudah bercumbu dengan pulau iler yang ada di bantal.

"Hati-hati ya Tar, daerah apartemen lu banyak begal." 

"Ciyus, lu? Kalau gitu entar kalau gue dibegal, gue tawarin hati gue aja kali ya, Vi? Kali aja dia mau." 

Dan di saat itu kami tertawa mendengar jawabanku. Tapi, candaan nggak semanis kenyataan.

Kini aku malah kena batunya. Benar kata si Evi, jalanan ke apartemenku ini meski dekat jalan raya tetap saja terasa horor apalagi kalau jam 11 malam begini jarang banget ada kendaraan yang lewat.

Gelap. Panjang. Mencekam.  Tiga kata yang mewakili suasana perjalanan pulang malam ini.  Aku kadang kesal sama yang punya jalan. Kenapa sih lampu penerangan tidak diutamakan? Kan kasian anak perawan.

 Beribu doa kupanjatkan, sampai yang tadinya aku jarang ngaji mendadak hapal ayat qursi. Kalau begini ceritanya sih, boro mau nawarin hati yang ada mati berdiri. 

Krek!

Di antara rasa kengerian yang melanda, tiba-tiba aku mendengar ada yang mengikutiku dari belakang. Sepertinya si penguntit tak sengaja menginjak ranting hingga menimbulkan bunyi. 

Ya Allah ... siapa yang ada di belakangku?

Mulutku otomatis komat-kamit dan tanganku semakin kuat memegang tas.  Aku bergegas mempercepat langkah ketika melewati rerimbunan semak-semak. Akibat mang ojol ogah narik malam-malam, alhasil aku harus mengalami kesusahan ini. 

Bibirku tersenyum lega ketika gedung apartemen mulai terlihat. Namun, tak disangka sosok di belakangku semakin mempercepat langkahnya dan ... grab!

Dia memegang pundakku. Alamak!

"Ciyaaat!" 

Aku sontak berbalik dan memukulkan tasku yang besar ke kepala si penguntit yang bermasker.

"Tari! Stop! Tari ini saya!" Suara lelaki yang kupukul terdengar teredam. Dia terus menutup wajahnya agar terlindung dari hantaman tasku. Karena gelap aku jadi tak bisa melihat dengan jelas yang penting bagiku sekarang ... bantai!

"Saya siapa? Saya begal maksudnya? Denger ya! Jangan berani-berani ganggu hidup gue, gue belum nikah!"

"TARI! STOP! LIHAT! iNI SAYA LEO!" Untuk saat ini dia berhasil memegang tanganku yang memukulinya bertubi-tubi, untung saja aku tak mengeluarkan jurus taekwondo. Sebelum aku menonjok lagi, dia lekas membuka maskernya. 

Di situlah aku merasa ingin hilang ingatan. 

"Lah, beneran Pak Leo? Ngapain Pak, kelayapan malam-malam?" tanyaku tak dapat menyembunyikan keterkejutan. 

"Nih! Beli obat buat hidung kamu! Saya gak mau disangka kejam gara-gara hidung kamu lecet!" ringisnya sambil menyerahkan bungkusan yang berisi salep dan sebagainya. 

Aku bengong seraya menerima kresek putih itu. "I-ini buat saya, Pak?" 

"Bukan. Buat Kunti," kata Pak Leo sambil memegang dahinya yang benjol. Kemudian berlalu melintasiku. 

Gawat! 

"Pak Leooo! Maaaf!" 

SEKAKMAT! Aku berlari mengejar Pak Leo karena takut dipecat. 

==

Komen (1)
goodnovel comment avatar
AnugrahRasha
jangan ngomongin cewek itu napa... gue baca novel malem2 juga .... jd kebayang kan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status