Dia menggertakkan giginya. Matanya menatap tajam ke arahku. 'Apa hanya perasaanku saja, ya? Seharusnya dia tidak bisa melihatku di tempat yang gelap gulita ini.'
Pemuda itu bangkit berdiri sambil merintih kesakitan. Sepasang mata yang berwarna emas terarah tepat ke arahku. Kaki kanannya bergeser ke belakang lalu dia beranjak dari tempatnya. Dia menerjang ke arahku dengan cepat.
Aku tersentak kaget melihatnya yang berlari ke arahku. 'Ini bukan perasaanku saja. Dia benar-benar bisa melihatku. Bagaimana bisa dia melihat dalam kegelapan ini?'
Kuayunkan tangan kananku dari kanan ke kiri untuk menghempaskannya lagi, tetapi seranganku gagal mengenainya. Dia menembus seranganku dan berlari lurus ke arahku.
Dia mengayunkan tangannya secara vertikal. Seketika itu juga, dimensi kegelapanku terbelah menjadi dua. Cahaya dari luar menyeruak masuk ke dalam ruang hampa ini.
Aku berdesis dan mengernyitkan mataku akibat cahaya yang menyilaukan itu. "Apa-apaan i
"Selanjutnya, aku ada di pihak ...," lanjutnya dengan menggantungkan perkataannya. Aku menaikkan salah satu alisku karena penasaran dengan jawaban lengkapnya."Fylax!" Dia langsung memutar badannya sehingga kuncian tangannya terlepas dariku. Dia membenturkan kepalanya pada kepalaku. Sontak aku langsung beranjak menjauh darinya.Aku meringis kesakitan dan memegangi keningku dengan telapak tanganku. Rasanya sakit sekali seperti dihantam dengan tongkat bisbol. "Sial ... tadi itu mendadak sekali ...," gerutuku yang dibalas dengan suara tawanya."Hahahahaha! Kamu terlalu meremehkanku. Ini akibatnya kalau meremehkan lawanmu," cela pemuda itu sambil tersenyum miring kepadaku.Aku melemparkan tatapan tajam ke arahnya dan menggertakkan gigiku. Beberapa detik kemudian, kuhembuskan napas panjang. 'Tenang, jangan terbawa emosi atau dia akan semakin kegirangan.'"Fylax ada dimana-mana, ya? Tidak hanya menyusup ke Custodia, bahkan ada yang menyusup ke pasukan el
Pemuda itu melemparkan tinjuannya ke arahku. Kuhindari serangannya dengan bergerak mendekatinya lalu menyerang balik, tetapi seranganku menembus tubuhnya. 'Bagaimana caraku menyerangnya kalau dia seperti hantu begini?!'Dia kembali menyerangku dengan tinjuannya. Aku melompat mundur untuk menghindari serangannya. Tinjuannya itu gagal mengenaiku dan malah mengenai lantai. Muncullah kawah berdiameter 1 meter pada permukaan lantai itu.Setelah mengamati teknik bertarungnya selama ini, aku sampai pada sebuah kesimpulan. Dia tipe penyerang jarak dekat dan sulit untuk diserang. Daya hancurnya juga mengerikan sekali melihat bagaimana dia bisa melenyapkan dimensi kegelapanku dan membolongi lantai apartemennya."Sombong sekali kamu sampai bisa melamun saat bertarung denganku!" serunya yang kini berada tepat di hadapanku. Dia menarik tangan kanannya ke belakang untuk memperkuat serangannya.Aku menciptakan perisai bayangan untuk memblokir serangannya lalu melompat k
"Apa yang akan kulakukan? Jawabannya sudah jelas, aku akan menghentikanmu," balasku dengan nada serius.Dia tertawa terbahak-bahak mendengar balasanku. "Menghentikanku? Itu pun kalau kamu bisa!" serunya meremehkanku.Kurasakan energi 'Arte' yang meluap dari tubuhnya semakin besar dan kuat. Aku harus segera menghentikannya karena firasatku mengatakan bahwa serangannya kali ini akan sangat berbahaya.Kakiku beranjak dari tempatnya berdiri, menerjang ke arahnya. Dia masih berdiri tegap di tempatnya dan sedang berkonsentrasi mengumpulkan semua kekuatannya untuk mengeluarkan serangan pemungkasnya.Aku menciptakan sebilah pedang pada genggaman tangan kananku. Aku melompat ke arahnya dan mengangkat senjata yang ada di genggaman tanganku ke atas kepalaku, bersiap untuk menyerangnya.Kuayunkan pedangku ke bawah, ke kepalanya. 'Aku tidak tahu apakah strategi ini akan berhasil, tapi kuharap ini bisa berhasil untuk meminimalisir bencana yang akan datang.'
Sudah sekitar 20 menit aku terbang menuju Laboratorium Pengendalian Arte, tempat dimana Prof. Horan bekerja, akhirnya aku sampai ke tempat tujuanku setelah melalui banyak rintangan yang mengadangi jalanku.Tak kusangka aku berpapasan dengan mobil Custodia saat sedang dalam perjalanan ke laboratorium. Mereka pun langsung mengejarku dan memanggil bala bantuan, untungnya mereka kehilangan jejakku saat aku memasuki hutan yang ada di kawasan laboratorium.Aku berjalan ke arah gerbang yang berada beberapa meter di depanku dengan tertatih-tatih. Napasku juga tersengal-sengal karena kelelahan. Aku telah menggunakan terlalu banyak energi dan tenaga untuk sampai ke sini. Tubuhku sudah mencapai batasnya.Kulihat sesosok orang yang mengenakan mantel lab putih berlari ke arahku dari balik gerbang itu. Orang yang berlari menghampiriku itu meneriakkan namaku dengan nada kaget dan khawatir. Suara bariton yang memanggil namaku itu terdengar familier di telingaku."Prof. H
Orang yang baru saja menasuki ruangan ini memiliki rambut merah jambu yang disisir belah tengah. Dia menolehkan kepalanya ke arahku lalu tersenyum lega.Orang itu adalah Prof. Hora, orang yang sudah menyelamatkanku. Jika tidak ada dia, mungkin aku akan hidup tanpa tangan kanan atau bahkan kehilangan nyawaku karena tidak mendapatkan pertolongan pertama.Prof. Hora melangkahkan kakinya untuk menghampiriku yang terduduk di atas ranjang pasien. Ekspresi kekhawatiran yang dia tampilkan sebelum aku kehilangan kesadaranku telah menghilang."Syukurlah kamu sudah sadar. Tadi kamu tidak sadarkan diri selama kurang lebih 2 jam," ujarnya dengan lega setelah melihatku yang telah siuman."Terima kasih, Prof. Hora," ucapku berterima kasih kepadanya. Dia menganggukkan kepalanya dan memberikan senyuman hangat kepadaku."Bagaimana keadaanmu sekarang?" tanyanya menanyakan kondisiku.Aku mengangkat tangan kananku dan mengarahkannya ke arah Prof. Hora. "Sempurna
"Kenapa kamu mendadak menyerangnya? Padahal selama ini kamu diam-diam saja," tanya Prof. Hora menginterogasiku.Aku mengepalkan tanganku dengan erat hingga urat-urat timbul pada permukaan kulit tanganku. Kukerutkan keningku dan menggigit bibir bawahku berusaha menahan luapan amarah yang akan meledak.Kuangkat kepalaku dan melihat ke arah Prof. Hora yang menatapku dengan tatapan serius. Tatapannya itu membuatku merasa dipojokkan dan berada di posisi orang telah melakukan kesalahan."Ini tidak adil, padahal Nona Tabella yang lebih dulu berlaku tidak adil padaku. Kenapa malah aku yang disalahkan?" protesku dengan nada kesal."Selama ini aku sudah bersabar terhadap semua perlakuan Nona Tabella yang selalu memusuhiku dan merendahkanku."Bahkan sekarang dia ingin membuatku menjadi anjingnya dengan memanfaatkan Layla untuk mengendalikan pikiranku," ungkapku sambil menatap tajam ke arah Prof. Hora.Sebenarnya dia tidak ada hubungannya dengan konflik
"Fungsi awal eksperimen penciptaan 'Arte' pengendali pikiran adalah untuk menggunakan 'Arte' itu untuk mengoreksi dan merehabilitasi pelaku kejahatan di masyarakat," tutur Prof. Hora."Akan tetapi, kenapa sekarang fungsinya malah melenceng seperti yang Layla katakan?" lanjutnya dengan heran. Kelihatannya Prof. Hora benar-benar tidak tahu apa pun mengenai masalah ini.Aku terdiam dan mulai menyimpulkan informasi yang kudapat dari Prof. Hora. Aku membuka mulutku untuk menyatakan kejanggalan yang kutemukan. "Ini aneh, padahal Profesor sendiri yang menjalankan eksperimen itu."Bagaimana bisa Profesor tidak tahu kalau fungsinya berubah menjadi seperti itu?" tanyaku. Dipikir berkali-kali pun hal ini sangat janggal. Sebagai Ketua Asosiasi Arte, tidak mungkin Prof. Hora tidak tahu apa-apa karena dialah orang yang memimpin pelaksanaan eksperimen itu.Prof. Hora terdiam mendengar pertanyaanku yang meragukannya. Dia menurunkan tangan kanannya dari mukanya lalu merem
Prof. Hora menarik tangan kananku dan meletakkan sesuatu ke dalamnya tanpa menjelaskan apa-apa. Benda yang Prof. Hora berikan kepadaku memiliki ukuran yang kecil, bahkan lebih kecil dari genggaman tanganku.Kulihat benda apa yang dia berikan kepadaku. Benda itu berbentuk lingkaran dengan lubang pada tengahnya seperti sebuah cincin. Cincin itu berwarna perak dan memiliki ukiran mantra sihir yang terukir pada permukaan metal itu."Apa ini?" tanyaku sambil menerawang cincin yang diberikan oleh Prof. Hora kepadaku. Aku tidak begitu mencurigai apa yang diberikannya kepadaku, tetapi tidak ada salahnya untuk terlebih dahulu memastikan benda apa itu sebelum menggunakannya."Cincin pernikahan kita," canda Prof. Hora yang membuatku melemparkan tatapan jijik kepadanya. Tidak kusangka dia masih dapat bergurau di situasi yang serius seperti ini. Selain itu, selera humornya benar-benar aneh, ya."Aku masih lurus," balasku sambil tersenyum miring. Prof. Hora tertawa ter