Share

7. Terkejut

Tiga orang dewasa itu sontak terkejut serentak mendengar pertanyaan polos seorang bocah.

Bagas langsung membekap mulut Zahira karena merasa tidak enak pada Nico dan Adila. “Maaf.”

Sementara itu, Nico mengangkat kedua alisnya bingung memberi jawaban.

Adila juga hanya bisa tersenyum canggung, khawatir Nico salah paham dengan pertanyaan gadis kecil itu.

Entah mengapa, biasanya Adila merasa tidak keberatan anak itu terus menerus memanggilnya mama. Adila selalu menganggap itu hanya candaan seorang bocah. Namun kali ini, Adila merasa terganggu karena hal itu ternyata cukup serius untuk menjadi salah paham.

"Pak Bagas. Kami langsung pamit, ya."

"Iya, Bu. Silahkan."

Adila buru-buru menarik lengan Nico menuju mobilnya. Nico yang masih bingung hanya diam menurut. Keduanya kini sudah berada di mobil yang melesat menuju rumah Adila.

"Sayang, makasih ya udah jemput aku."

Adila mencoba membuka percakapan agar tidak teringat dengan pertanyaan Zahira.

Nico hanya mengangguk, tidak mengeluarkan suara. Matanya fokus ke depan menyetir mobilnya.

Setelah sampai di depan rumah Adila, keduanya turun dari mobil.

Nico juga ingin bertemu dengan calon ayah mertua, yang lama tidak dikunjungi.

Namun, tiba-tiba saja, tangan Nico meraih tangan Adila yang berjalan sedikit di depannya. Sontak Adila menghentikan langkahnya, membalikkan badan menatap Nico.

"Apa kamu tidak masalah disebut calon Mama sama Zahira?"

Deg!

Ternyata Nico masih memikirkan pertanyaan gadis kecil itu.

Adila menggeleng, bibirnya memulas senyum. "Itu hanya candaan anak kecil sayang. Mungkin karena kejadian kemarin-kemarin, dia merasa aman aja sama aku. Nggak usah dipikirin ya."

"Sekarang baru anaknya yang nyaman. Jangan sampai papanya juga ngerasa nyaman sama kamu," sindir Nico.

Setelah itu, dia berjalan lebih dulu melewati Adila.

Wanita itu sontak mematung mencerna kata-kata Nico barusan.

Tampaknya, tunangannya itu benar-benar salah paham dan menganggap serius pertanyaan Zahira.

Adila menghela nafas, dan segera mengejar langkah Nico.

Namun, saat masuk ke rumah, kedua orang tua Adila sudah duduk di sofa sengaja menunggu kedatangan calon menantunya.

“Nico!”

Mereka tampak sumringah saat melihat tunangan Adila itu. Bahkan, sang ayah langsung mempersilahkan calon menantunya duduk, dan meminta Adila mengambilkan minuman di belakang yang sedang Bik Muti siapkan.

"Bik, udah siap belum minumannya?"

"Udah Non. Ini saya baru selesai menata kue."

"Oh, yaudah sini biar aku saja Bik."

"Tapi, Non."

“Santai, Bik,” ucap Adila sembari mengambil baki yang sudah siap dibawa untuk dihidangkan.

Senang sekali rasanya melihat pemandangan seperti ini setiap hari.

Kedua orang tuanya dan Nico tampak berbincang santai dan terkadang mereka terkekeh, seperti membicarakan hal yang seru.

Adila meletakkan baki dan mempersilahkan tunangannya untuk menikmati hidangannya. Sementara itu, Nico menatap Adila dengan binar mata penuh cinta–membuatnya mengernyitkan dahi heran. Bukankah tadi dia masih marah?

"Ternyata senang sekali ya Pa, kalau minum saya dilayani oleh calon istri," ucap Niko yang disambut tawa lainnya.

"Hahaha. Berani gombalin anak Papa kamu ya. Makanya itu, kami cepat minta kalian buat Nikah."

"Iya Nico. Mama juga sudah pengen punya em em em." Mama Adila mengisyaratkan gerakan menggendong bayi, namun mereka semua langsung paham, bahwa mamanya Adila ingin segera menimang cucu dari mereka.

Adila tersipu malu, sedangkan Nico tertawa bersama sang papa bersemangat.

Tidak terasa hampir dua jam mereka mengobrol. Nico berpamitan pada kedua calon mertuanya dan Adila, karena besok pagi dia memiliki jadwal meeting yang penting.

Kedua orang tua Adila sangat bangga pada calon menantunya yang pekerja keras. Mereka jadi tidak cemas jika Adila, anak mereka satu-satunya menikah dengan Nico.

Sementara itu, Adila memilih mengantar Nico ke depan.

"Besok pulang kerja aku jemput ya," ucap pria itu.

Adila mengangguk. "Iya, Sayang. Kamu hati-hati di jalan."

Tak lama, Nico memacu mobilnya keluar dari pintu gerbang yang telah dibuka oleh satpam yang berjaga.

Adila melambaikan tangan pada kekasihnya itu. Setelah mobilnya tak terlihat dari pandangannya, ia kembali masuk ke rumah.

Baru beberapa hari mulai bekerja di sekolah, tapi badannya sudah terasa kelelahan.

Ternyata, drama di sekolah lebih banyak dari drama kehidupan nyatanya sendiri.

Adila menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Ia merenggangkan otot-otot tubuhnya hingga terasa nyaman.

Dia tiba-tiba teringat akan ucapan Zahira.

Mengapa anak itu begitu menginginkannya menjadi mama tirinya?

Adila membuang nafas. “Jangan memikirkan hal yang tidak penting,” lirihnya pada diri sendiri.

Karena besok, Adila harus mulai membahas program kerjanya bersama komite pengurus yayasan di sekolah.

***

"Saya sudah mengkaji semua informasi yang saya dapatkan. Saya berencana menaikkan anggaran gaji para guru sesuai UMR bagi guru kontrak. Untuk para guru tetap, gaji akan dinaikkan sebanyak 30 persen dari UMR dan mendapatkan beberapa tunjangan untuk kesejahteraan," ucap Adila mantap di hadapan komite yayasan sekolahnya dan beberapa guru sebagai perwakilan dari setiap tingkatan sekolah.

Ia sudah mempelajari dokumen-dokumen yang berisi informasi yang diminta. Menurutnya, gaji guru masih belum cukup untuk menunjang kesejahteraan mereka.

"Tunjangan kesejahteraan seperti apa yang Ibu Adila maksud? Tolong beri penjelasan lebih detail kepada kami."

Salah satu komite bagian perbendaharaan dana yayasan merasa sedikit tidak senang dengan ide Adila.

Meskipun mereka tahu Adila adalah calon pemimpin yang baru, mereka yang merasa senior tidak terlalu menyukainya.

Para senior itu merasa gengsi dipimpin oleh orang yang usianya jauh lebih muda dari mereka.

"Tunjangan itu adalah tunjangan ketenagakerjaan, tunjangan beasiswa hingga 50 persen bagi anak guru yang bersekolah di yayasan ini. Serta tunjangan apresiasi atas prestasi yang diraih dengan membawa nama yayasan, baik didalam maupun diluar sekolah."

"Untuk beasiswa bagi anak guru bukankah itu terlalu besar, Bu?" timpal salah satu pria buncit di ujung meja.

"Saya sudah menulis daftar beberapa nama anak yang kurang mampu dan berprestasi."

Adila membagikan kertas kopian miliknya ke seluruh peserta yang hadir.

"Saya mau tunggakan biaya mereka dihapusnya bagi yang kurang mampu. Dan untuk murid yang berprestasi namun memiliki kemampuan, tolong berikan hadiah yang menunjang seperti data yang sudah saya cantumkan di kertas itu."

Kurang lebih ada tujuh anak kurang mampu dari berbagai tingkatan sekolah mereka, yang benar-benar sudah di survey oleh tim khusus yang ditunjuk Adila. Sehingga data itu benar-benar valid adanya.

Untuk murid yang berprestasi, Adila memberikan hadiah sesuai kebutuhan mereka. Ada yang membutuhkan laptop untuk menunjang skill mereka, ada yang membutuhkan beasiswa berupa uang untuk upgrade skill atau hanya sekedar ditabung untuk masa depan.

Tidak tanggung-tanggung. Adila juga akan membukakan tabungan bagi semua guru dan pegawai yayasan tanpa terkecuali dengan program tanda jasa, yang setiap bulannya akan otomatis terisi sebanyak 10 persen dari jumlah gaji yang akan dibayarkan sepenuhnya dari pihak yayasan. Dan tabungan itu bisa dicairkan saat mereka keluar dari yayasan sekolah.

"Baik, untuk rapatnya sekian dulu saya akhiri. Saya harap semua program saya langsung dijalankan, dan akan saya review mulai minggu depan."

Para perwakilan guru keluar dari ruang rapat dengan sumringah, tidak sabar mengabarkan pada rekan lainnya. Sedangkan komite pengurus yayasan keluar ruangan itu dengan muka ditekuk.

Zahira tak memedulikan itu dan menuju keluar ruangan dengan langkah mantap menuju parkiran–menunggu Nico.

Sementara itu, Zahira tak sengaja melihat Adila. Gadis kecil itu berlari dan langsung memeluk Adila, membuatnya terkejut.

"Papa, itu Bu Guru Adila. Zahira mau ke sana dulu!" teriaknya.

Adila sontak menoleh. "Zahira?"

"Iya, Mama."

Deg.

Lagi, gadis imut itu memanggilnya dengan sebutan Mama.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status