Tiga orang dewasa itu sontak terkejut serentak mendengar pertanyaan polos seorang bocah.
Bagas langsung membekap mulut Zahira karena merasa tidak enak pada Nico dan Adila. “Maaf.”Sementara itu, Nico mengangkat kedua alisnya bingung memberi jawaban.Adila juga hanya bisa tersenyum canggung, khawatir Nico salah paham dengan pertanyaan gadis kecil itu.Entah mengapa, biasanya Adila merasa tidak keberatan anak itu terus menerus memanggilnya mama. Adila selalu menganggap itu hanya candaan seorang bocah. Namun kali ini, Adila merasa terganggu karena hal itu ternyata cukup serius untuk menjadi salah paham."Pak Bagas. Kami langsung pamit, ya.""Iya, Bu. Silahkan."Adila buru-buru menarik lengan Nico menuju mobilnya. Nico yang masih bingung hanya diam menurut. Keduanya kini sudah berada di mobil yang melesat menuju rumah Adila."Sayang, makasih ya udah jemput aku."Adila mencoba membuka percakapan agar tidak teringat dengan pertanyaan Zahira.Nico hanya mengangguk, tidak mengeluarkan suara. Matanya fokus ke depan menyetir mobilnya.Setelah sampai di depan rumah Adila, keduanya turun dari mobil.Nico juga ingin bertemu dengan calon ayah mertua, yang lama tidak dikunjungi.Namun, tiba-tiba saja, tangan Nico meraih tangan Adila yang berjalan sedikit di depannya. Sontak Adila menghentikan langkahnya, membalikkan badan menatap Nico."Apa kamu tidak masalah disebut calon Mama sama Zahira?"Deg!Ternyata Nico masih memikirkan pertanyaan gadis kecil itu.Adila menggeleng, bibirnya memulas senyum. "Itu hanya candaan anak kecil sayang. Mungkin karena kejadian kemarin-kemarin, dia merasa aman aja sama aku. Nggak usah dipikirin ya.""Sekarang baru anaknya yang nyaman. Jangan sampai papanya juga ngerasa nyaman sama kamu," sindir Nico.Setelah itu, dia berjalan lebih dulu melewati Adila.Wanita itu sontak mematung mencerna kata-kata Nico barusan.Tampaknya, tunangannya itu benar-benar salah paham dan menganggap serius pertanyaan Zahira.Adila menghela nafas, dan segera mengejar langkah Nico.Namun, saat masuk ke rumah, kedua orang tua Adila sudah duduk di sofa sengaja menunggu kedatangan calon menantunya.“Nico!”Mereka tampak sumringah saat melihat tunangan Adila itu. Bahkan, sang ayah langsung mempersilahkan calon menantunya duduk, dan meminta Adila mengambilkan minuman di belakang yang sedang Bik Muti siapkan."Bik, udah siap belum minumannya?""Udah Non. Ini saya baru selesai menata kue.""Oh, yaudah sini biar aku saja Bik.""Tapi, Non."“Santai, Bik,” ucap Adila sembari mengambil baki yang sudah siap dibawa untuk dihidangkan.Senang sekali rasanya melihat pemandangan seperti ini setiap hari.Kedua orang tuanya dan Nico tampak berbincang santai dan terkadang mereka terkekeh, seperti membicarakan hal yang seru.Adila meletakkan baki dan mempersilahkan tunangannya untuk menikmati hidangannya. Sementara itu, Nico menatap Adila dengan binar mata penuh cinta–membuatnya mengernyitkan dahi heran. Bukankah tadi dia masih marah?"Ternyata senang sekali ya Pa, kalau minum saya dilayani oleh calon istri," ucap Niko yang disambut tawa lainnya."Hahaha. Berani gombalin anak Papa kamu ya. Makanya itu, kami cepat minta kalian buat Nikah.""Iya Nico. Mama juga sudah pengen punya em em em." Mama Adila mengisyaratkan gerakan menggendong bayi, namun mereka semua langsung paham, bahwa mamanya Adila ingin segera menimang cucu dari mereka.Adila tersipu malu, sedangkan Nico tertawa bersama sang papa bersemangat.Tidak terasa hampir dua jam mereka mengobrol. Nico berpamitan pada kedua calon mertuanya dan Adila, karena besok pagi dia memiliki jadwal meeting yang penting.Kedua orang tua Adila sangat bangga pada calon menantunya yang pekerja keras. Mereka jadi tidak cemas jika Adila, anak mereka satu-satunya menikah dengan Nico.Sementara itu, Adila memilih mengantar Nico ke depan."Besok pulang kerja aku jemput ya," ucap pria itu.Adila mengangguk. "Iya, Sayang. Kamu hati-hati di jalan."Tak lama, Nico memacu mobilnya keluar dari pintu gerbang yang telah dibuka oleh satpam yang berjaga.Adila melambaikan tangan pada kekasihnya itu. Setelah mobilnya tak terlihat dari pandangannya, ia kembali masuk ke rumah.Baru beberapa hari mulai bekerja di sekolah, tapi badannya sudah terasa kelelahan.Ternyata, drama di sekolah lebih banyak dari drama kehidupan nyatanya sendiri.Adila menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Ia merenggangkan otot-otot tubuhnya hingga terasa nyaman.Dia tiba-tiba teringat akan ucapan Zahira.Mengapa anak itu begitu menginginkannya menjadi mama tirinya?Adila membuang nafas. “Jangan memikirkan hal yang tidak penting,” lirihnya pada diri sendiri.Karena besok, Adila harus mulai membahas program kerjanya bersama komite pengurus yayasan di sekolah.***"Saya sudah mengkaji semua informasi yang saya dapatkan. Saya berencana menaikkan anggaran gaji para guru sesuai UMR bagi guru kontrak. Untuk para guru tetap, gaji akan dinaikkan sebanyak 30 persen dari UMR dan mendapatkan beberapa tunjangan untuk kesejahteraan," ucap Adila mantap di hadapan komite yayasan sekolahnya dan beberapa guru sebagai perwakilan dari setiap tingkatan sekolah.Ia sudah mempelajari dokumen-dokumen yang berisi informasi yang diminta. Menurutnya, gaji guru masih belum cukup untuk menunjang kesejahteraan mereka."Tunjangan kesejahteraan seperti apa yang Ibu Adila maksud? Tolong beri penjelasan lebih detail kepada kami."Salah satu komite bagian perbendaharaan dana yayasan merasa sedikit tidak senang dengan ide Adila.Meskipun mereka tahu Adila adalah calon pemimpin yang baru, mereka yang merasa senior tidak terlalu menyukainya.Para senior itu merasa gengsi dipimpin oleh orang yang usianya jauh lebih muda dari mereka."Tunjangan itu adalah tunjangan ketenagakerjaan, tunjangan beasiswa hingga 50 persen bagi anak guru yang bersekolah di yayasan ini. Serta tunjangan apresiasi atas prestasi yang diraih dengan membawa nama yayasan, baik didalam maupun diluar sekolah.""Untuk beasiswa bagi anak guru bukankah itu terlalu besar, Bu?" timpal salah satu pria buncit di ujung meja."Saya sudah menulis daftar beberapa nama anak yang kurang mampu dan berprestasi."Adila membagikan kertas kopian miliknya ke seluruh peserta yang hadir."Saya mau tunggakan biaya mereka dihapusnya bagi yang kurang mampu. Dan untuk murid yang berprestasi namun memiliki kemampuan, tolong berikan hadiah yang menunjang seperti data yang sudah saya cantumkan di kertas itu."Kurang lebih ada tujuh anak kurang mampu dari berbagai tingkatan sekolah mereka, yang benar-benar sudah di survey oleh tim khusus yang ditunjuk Adila. Sehingga data itu benar-benar valid adanya.Untuk murid yang berprestasi, Adila memberikan hadiah sesuai kebutuhan mereka. Ada yang membutuhkan laptop untuk menunjang skill mereka, ada yang membutuhkan beasiswa berupa uang untuk upgrade skill atau hanya sekedar ditabung untuk masa depan.Tidak tanggung-tanggung. Adila juga akan membukakan tabungan bagi semua guru dan pegawai yayasan tanpa terkecuali dengan program tanda jasa, yang setiap bulannya akan otomatis terisi sebanyak 10 persen dari jumlah gaji yang akan dibayarkan sepenuhnya dari pihak yayasan. Dan tabungan itu bisa dicairkan saat mereka keluar dari yayasan sekolah."Baik, untuk rapatnya sekian dulu saya akhiri. Saya harap semua program saya langsung dijalankan, dan akan saya review mulai minggu depan."Para perwakilan guru keluar dari ruang rapat dengan sumringah, tidak sabar mengabarkan pada rekan lainnya. Sedangkan komite pengurus yayasan keluar ruangan itu dengan muka ditekuk.Zahira tak memedulikan itu dan menuju keluar ruangan dengan langkah mantap menuju parkiran–menunggu Nico.Sementara itu, Zahira tak sengaja melihat Adila. Gadis kecil itu berlari dan langsung memeluk Adila, membuatnya terkejut."Papa, itu Bu Guru Adila. Zahira mau ke sana dulu!" teriaknya.Adila sontak menoleh. "Zahira?""Iya, Mama."Deg.Lagi, gadis imut itu memanggilnya dengan sebutan Mama.“Ma?”Adila seketika mengurai pelukan anak gadis itu. Tak lama, Bagas juga muncul di hadapan Adila. Pria itu hanya mengulas senyum untuk menyapanya.Dalam hatinya, Adila merasa cemas jika Nico datang dan melihatnya sedang bersama Bagas juga anaknya. Bisa-bisa Nico salah paham seperti semalam."Bu Adila, sedang menunggu jemputan?" tanya Bagas."Iya, Pak Bagas.""Papa, kita aja yang antar Mama pulang."Mendengar Zahira memanggilnya dengan sebutan Mama lagi, Adila hanya tersenyum canggung. Ia ingin menegur, tapi Adila paham memberi pengertian pada anak seusia Zahira tidaklah mudah.Bagas yang menangkap kecanggungan Adila, sontak berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan putrinya untuk memberi nasehat."Zahira, sayang. Bu Adila itu Bu Guru kamu. Jadi manggilnya harus Bu Guru ya. Jangan Mama."Suara lembut dan sikap kebapakan Bagas membuat Adila tersentuh. Rasa canggung dan kesal lenyap begitu saja. Adila bahkan merasa dirinya berlebihan.Sementara itu, Zahira memanyunkan bibir mungilnya k
"Nico sudah dewasa. Bisa kok bersihin sendiri,” ucap Adila ketus.Mendengar itu, Vivian langsung menarik tangannya yang menempel di kemeja Nico dan pamit undur diri mempersilahkan mereka melanjutkan acara makan siang.Adila membuang pandangan dari Nico membuang nafas kasar. Ia meletakkan garpunya dan meminta Nico agar pulang saja menyudahi makan siangnya. Nico menuruti, ia tahu Adila tengah kesal padanya karena kejadian barusan.Tunangannya itu memang pria yang sangat baik dan ramah pada semua orang. Tidak peduli pria atau wanita. Tidak jarang membuat wanita salah paham atas sifatnya, yang mengira Nico suka pada mereka."Sayang, kamu marah?" tanya Nico.Adila bergeming. Ia semakin kesal pada tunangannya itu.Sudah jelas dirinya merasa kesal, bagaimana bisa di masih bertanya. Seharusnya dia sudah tahu dan langsung membujuk nya."Aku yang cuma ngobrol sama Bagas papanya Zahira aja kamu nggak suka. Lalu kejadian tadi, menurutmu aku gimana?" tanya Adila balik."Iya, maaf. Aku nggak akan
"Emang aku nggak boleh ya, cek ponsel kamu?""Bu-bukan gitu Sayang. Tapi 'kan nggak biasanya aja gitu."Adila tidak menanggapi lagi. Ia merapatkan kedua matanya ingin berpura-pura tidur. Nico mengemudi dengan segan. Ia was-was menunggu rentetan pertanyaan dari Adila mengenai pesan dari Vivian. Namun anehnya, justru sikap Adila tidak sesuai perkiraan Nico. Wanita disampingnya itu tidak bertanya apapun. Ia masih berpura-pura menutup mata. Hal itu membuat Nico semakin salah tingkah."Sayang, kita mampir ke apotik ya." bujuk Nico lirih.Terpaksa Adila menanggapi, "Untuk apa?""Untuk kamu dong, Sayang. Kamu 'kan lagi nggak enak badan.""Nggak usah. Aku cuma meriang biasa kok, besok juga sembuh.""Jangan gitu dong. Aku 'kan khawatir sama kamu."Muak sekali rasanya, Adila mendengar kalimat sok perhatian dari Nico. Tapi memang Nico adalah sosok pria yang perhatian selama ini. Apa mungkin karena isi pesan Vivian, Adila merasa sikap Nico padanya jadi memuakkan?"Nggak usah. Aku mau langsung pu
Ting Tung!Suara bel rumah membuyarkan keduanya. Bagas bergegas ke depan untuk memeriksa. Betapa terkejutnya saat ia melihat kedua orang tuanya datang secara tiba-tiba dari luar kota."Loh, Mama sama Papa kok nggak ngabarin dulu kalau mau datang?" Bagas memberi salam pada mamanya kemudian memeluk dan menciumnya."Kita tuh khawatir sama kamu, makanya kita langsung kesini. Gimana keadaan kamu?"Bagas mengernyitkan dahi bingung. Ia baru sadar, Adila juga tiba-tiba datang ke rumahnya, kali ini kedua orang tuanya juga datang dan mengetahui dia sedang sakit. "Zahira, yang telpon Mama ya?"Mamanya mengangguk. "Aku udah baikan. Udah nggak panas lagi, habis di kompres." Bagas meraih tas yang dibawa papanya untuk membantu."Udah nggak usah, Papa bisa bawanya," tepis sang papa.Kemudian mereka bertiga masuk ke dalam rumah. Bagas mempersilahkan kedua orang tuanya duduk di sofa terlebih dahulu beristirahat."Mana Zahira?" tanya sang mama seraya meraih tas yang berisi lauk pauk yang dibawa suaminy
"Ekhem." Bagas mendeham, mengkode sang ibu untuk tidak melanjutkan pertanyaan. "Ma, itu 'kan hal pribadi.""Ssst. Kamu diam aja."Adila terkekeh melihat perdebatan keduanya. "Sudah, Tante," jawab Adila cepat.Bagas menunduk, ada rasa kecewa dalam hati. Padahal dia jelas sudah tahu akan hal itu. Sang mama melirik wajah putranya, ia bisa menerka isi hati Bagas dengan tepat. Sang mama kembali menatap Adila. Tak ingin lebih jauh menggali, sang mama hanya memberikan sebuah pesan rahasia pada putranya."Tapi, Tante pernah dengar pepatah, sebelum janur kuning melengkung, siapapun masih boleh berusaha. Betul 'kan Pa?" "Iya, Ma." Sang papa menjawab gugup."Tolong jangan hiraukan perkataan mamaku ya. Dia memang suka sekali bercanda."Adila terkekeh, ia merasa tidak tersinggung atau apapun. Justru Adila merasakan kehangatan yang dia impikan di masa depan. Mereka kembali asik berbincang membahas segala hal kesana kemari.Waktu sudah mendekati maghrib. Adila berpamitan pulang. Ia harus mempersiap
"Memangnya kenapa kalau dimajukan? Toh, kita pasti akan menikah 'kan?"Tapi 'kan, nggak semudah itu Nic. Semuanya harus direncanakan matang-matang.""Kalau masalah itu kamu tenang aja. Aku yang akan urus semuanya."Nico beranjak meninggalkan ruangan Adila. Pria itu menghentikan langkahnya sekejap. Berbalik menatap Adila."Mulai sekarang, kemanapun kamu pergi harus izin aku!"Adila mengerutkan keningnya. Nico benar-benar berlebihan. Seharusnya Adila merasa senang jika pria yang dicintainya ingin segera menikahinya. Namun, saat ini yang wanita itu rasakan justru hatinya terasa berat. Seperti tidak yakin untuk menikah."Maaf ya Nic. Aku jadi bimbang gini sama kamu," lirihnya.Tatapan Adila tertuju pada sebuah kotak bekal di mejanya. Kotak bekal yang menjadi salah satu pemicu amarah Nico. Ia menghela nafas. Membuka kotak makanan itu. Bibirnya memulas senyum kala menikmati nasi dan rendang olahan neneknya Zahira.****Adila mengendarai mobil Lexusnya memasuki halaman rumah. Ia melihat mo
"Kalau aku jadi kamu, aku pasti melabrak mereka lah, pakai nanya lagi." kesal Manda. "Ya, terus kamu maunya gimana? Mau nangkap basah dia, atau masih mau dipikirkan dulu?"Adila mengambil nafas panjang. Ia bangkit dari kursinya mengajak Amanda pulang. Amanda terpaksa mengikuti kemauan sahabatnya. Mungkin ia butuh berpikir jernih, sebelum mengambil tindakan. Mengingat hubungan mereka bukan hanya setahun dua tahun. Dan juga sudah merencanakan pernikahan.Sepanjang perjalanan, Adila bergeming. Terkadang butiran air matanya jatuh tak terkendali. Ia menopang dagunya satu tangan, dan membuang pandangan menatap keluar jendela mobil."Dil. Udah sampe nih. Aku nggak ikut masuk ya, besok banyak janji di klinik.""Iya. Makasih ya." Setelah Manda melaju pulang. Adila berjalan gontai memasuki rumah. Malam itu Adila tak dapat memejamkan mata. Kepalanya masih terbayang jelas bagaimana mereka saling memberikan ciuman di depan teman-teman Nico dengan wajah yang bahagia. Kekecewaan pun ia rasakan ter
Adila sontak menatap Zahira sendu. Hal yang tadinya tidak ingin ia setujui, ternyata berarti besar bagi seorang anak yang merindukan kehadiran mamanya.Manda pun tak kalah terperangahnya. Hatinya mendadak melow mendengarnya. Kedua wanita itu saling menatap. Kemudian mengangguk meng-iya kan.Usai makan, mereka langsung beranjak untuk mencari toko baju. Mereka memasuki salah satu toko baju terlengkap di mall itu. "Zahira mau cari baju apa?" "Baju dalam, Ma.""Owh, kalau gitu kita cari sebelah sana aja ya." Adila menuntun Zahira menuju salah satu sudut toko yang mendisplay baju anak.Bagas hanya mengekor. Melihat Zahira dan Adila dari belakang, membuat hatinya menghangat. Andai saja Maya masih ada, pasti Bagas akan melihat pemandangan seperti itu lebih sering.Manda melirik pada Bagas. Wanita itu tahu, pria duda keren itu terlihat menyukai sahabatnya. Namun mereka terhalang status pertunangan Adila dan kekasihnya, pria ya