Share

002. Ditandai

“Kau sudah bangun?”

Drake Aiden melangkah masuk. Wajah tampannya tampak muram. Ia memandangi Jude seperti belum pernah melihatnya sebelum ini.

“Di mana aku?” Jude mengabaikan ucapan Drake. Ia menyibak selimut, dan melompat turun dari ranjang. Mendadak, rasa pusing menyerangnya hingga ia kembali jatuh terduduk.

“Hati-hati!”

“Jangan sentuh aku!” Jude merentangkan tangan, menghentikan pergerakan Drake yang sudah hendak menangkapnya.

Isi kepala Jude berputar cepat. Kilau biru mata Drake membawa kilasan-kilasan asing, yang semakin menambah kepalanya pusing.

“K-kau ….” Jude memegangi kepala frustasi. Deru angin menulikan telinganya. Seolah-olah, ia kembali terbang di bawah apitan cakar Drake yang keras dan kuat. “Apa kau seekor naga?”

Dahi Drake berkerut tidak senang. “Kau membuatnya terdengar tidak keren,” keluh Drake terang-terangan. “Tapi, ya, aku adalah naga hitam. Ras terkuat kaum naga.”

Jude terkesiap. “Jadi, naga itu betulan ada?” Suaranya bergetar hebat. “K-kalian tidak betulan memakan manusia seperti yang banyak dikisahkan orang-orang, kan?”

“Terkadang, dalam keadaan tertentu, kami memperlakukan manusia tidak begitu baik … tapi memakan mereka, ugh … rasanya, masih banyak hidangan lain yang jauh lebih menggugah selera ketimbang mengunyah makhluk kecil seperti kalian. Memangnya orangtuamu tidak memberitahu keberadaan kami?”

Kali ini, giliran dahi Jude yang berkerut. “Orangtuaku … mereka sudah tiada.”

“Oh, aku minta maaf.”

“Tapi aku masih punya pamanku, dan … astaga, ladangnya terbakar! Bagaimana ini! Paman Darius akan memenggal kepalaku karenanya, dan semua ini gara-gara kau!” Jude menuding Drake emosional.

“Aku sudah minta maaf.” Drake mengulanginya salah tingkah.

“Dan itu tidak merubah kenyataan bahwa sekarang ladang pamanku terbakar! Kau bahkan tidak berusaha memadamkan apinya.” Jude cemberut.

“Api naga tidak bisa dipadamkan begitu saja.” Drake membela diri. “Lagipula, itu hanya ladang gandum.”

“Hanya ladang gandum?” Suara Jude meninggi. “Itu satu-satunya ladang yang pamanku miliki untuk menopang kehidupan kami, tahu!”

“Oh.” Wajah Drake memerah. Namun rona itu hilang dengan cepat. Ekspresinya kembali angkuh.

“Aku bisa menggantinya berkali-kali lipat, tapi … kita akan bicarakan itu nanti.” Drake meneliti Jude yang kebingungan di hadapannya. Terlebih lagi, saat si gadis mulai terisak.

“Tenanglah, aku benar-benar akan mengurus semuanya.” Drake mendekati Jude hati-hati, dan mengulurkan tangan impulsif untuk menyentuh kepala Jude semata-mata demi menenangkan si gadis. Namun, Jude malah menjerit kesakitan.

“Ada apa?”

“Sakit sekali rasanya.” Jude melompat dari sisi ranjang dan pergi menjauhi Drake ke sisi tembok. Rahang Drake mengeras. Tampak jelas ia tengah dilanda keraguan.

“Sekarang, perlihatkan lenganmu.” Dari sekian banyak hal yang ingin dikatakan, justru itulah yang keluar dari bibir Drake.

“Apa?” Jude memiringkan kepala.

“Lenganmu,” ulang Drake sabar. “Yang aku sentuh di ladang ….”

“Oh.” Jude menyesali wajahnya yang mendadak terasa panas. Ia menatap lengannya dan terkejut mendapati ada sebuah tanda hitam meliuk-liuk di sana.

“Apa ini?!”

Drake menghela napas berat. “Itu sebuah tanda.”

“Aku tahu, tapi tanda apa?” Jude mulai panik. “K-kau tidak sedang mencoba menyakitiku lagi, kan?”

“Sayangnya, aku tidak tahu.”

“Bagaimana bisa kau tidak tahu, sementara kaulah yang membuat tanda ini?” Jude berusaha keras untuk berdiri tegap walau gerakannya masih limbung.

“Itu sebuah tanda pengabdian. Setiap naga akan menandai manusia-manusia yang hendak mereka jadikan budak,” jelas Drake.

Jude menatap tanda di lengannya tanpa berkata apa-apa.

“Setiap manusia yang sudah ditandai, akan menjadi budak para naga seumur hidup.” Suara Drake menggema ke langit-langit mewah ruangan, dan menghilang tanpa tanggapan.

Denging ketakutan menguar nyata dari dalam diri Jude Smith. Gadis itu berusaha tegar, tetapi bahunya bergetar hebat dan akhirnya ia menyerah dalam tangisan hebat.

Drake terpaku di tempat, tak tahu harus berbuat apa sementara si gadis terisak-isak di sudut tembok.

“Aku tidak mau jadi pelayan naga. Kalian jahat. Aku bisa mati.” Jude menangkup wajah dan menangis lebih keras.

Drake mengangguk samar. “Ya, kau benar. Setiap budak bisa mati di tangan naga mereka. Itulah kenapa aku melakukannya. Menandaimu.”

“Kenapa kau menandaiku?” Jude menurunkan tangan, lalu menatap Drake putus asa. Wajahnya merah padam, dan pipinya basah oleh air mata. “Aku tidak punya salah padamu, atau naga manapun. Kenapa tidak kau biarkan aku mengurus ladang saja? Walau terdengar sama mengerikannya, tapi setidaknya, paman tidak akan membiarkanku mati.”

Drake bicara dengan gigi terkatup. “Dia menyiksamu juga, ya?”

Jude terdiam. Ia tidak lagi menangis. Nampaknya, gadis itu tengah memikirkan sesuatu yang besar, hingga membuat dahinya berkerut-kerut.

“Kau benar. Di ladang maupun di sini, aku sama tersiksanya. Tidak akan ada beda.” Jude mengusap sisa air mata di pipi, dan mengedikkan kepala. Ia mengangkat dagu tegar, dan menatap Drake dengan sorot keberanian.

“Aku akan jadi pelayanmu, dan siap mati kapanpun. Toh, kembali ke ladang pun, paman akan tetap membunuhku,” tambah Jude sarkastik.

Hal itu membuat Drake tertawa.

Jude terkesima akan kerupawanan sang naga kala bibir itu tersenyum. Begitu juga Drake. Ia terkejut mendapati dirinya sendiri tertawa.

“Terima kasih, Jude.”

Alis Jude terangkat naik. “Untuk apa?”

“Karena sudah membuatku tertawa. Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali aku tertawa seperti ini.” Drake menghela napas. Ia mengabaikan kilasan ingatan kala ia tengah tertawa lebar bersama sang ibunda, Ratu Aine, yang telah tiada. Ibunya wafat sesaat setelah melahirkan keturunan naga bangsawan terakhir.

“Wah, kau harus membayar mahal untuk itu,” gurau Jude.

Drake tersenyum lagi. Kemudian, ia melambai lembut pada Jude. “Kemarilah, aku akan membayarnya lunas.”

Ragu-ragu, Jude melangkah menghampiri Drake.

Lalu, dengan pelan dan lemah lembut, Drake menyentuh leher Jude. Seketika, Jude merasa lehernya disentuh oleh sesuatu yang dingin dan berat.

“A-apa ini?” Jude menyentuh kalung logam yang melingkari lehernya.

“Tanda perbudakan. Sekarang, kau resmi menjadi budakku. Tak boleh ada yang menyentuhmu, kecuali aku.”

Wajah Jude padam seketika. “Jadi, seperti inikah cara para naga berterima kasih?”

Drake mengangguk muram. “Ya. Hanya ini yang bisa aku lakukan untuk melindungimu.”

Jude berpaling marah, dan bersidekap. “Terima kasih.”

“Jude,” panggil Drake lembut. “Kau harus menuruti perintahku, tanpa kecuali.”

“Aku tahu, Drake.” Jude berkata skeptis. “Seperti itulah para budak seharusnya bersikap.”

“Bagus kalau kau mengerti.” Drake tidak menangkap nada sinis dalam ucapan Jude. “Aku ingin kau tetap tinggal di sini selama aku tidak ada. Jangan pernah pergi kemanapun, tanpa aku menyertaimu. Dan lagi, aku ingin kau berpakaian sopan dan menjaga tanda itu tetap tersembunyi.”

“Aku akan dengan senang hati hilir mudik mengenakan sweter daripada berpakaian seksi di tengah para naga mata keranjang seperti … siapa dia si rambut kuning itu?”

Drake terkekeh. “Ancalagon. Dia saudara laki-lakiku.”

“Ah, aku tidak melihat ada kemiripan di antara kalian berdua.” Jude mengangkat bahu.

“Naga tidak melahirkan naga-naga identik.” Drake tersenyum. “Hanya putra sulung penerus garis kekuasaan yang dilahirkan dalam bentuk naga hitam mata biru.”

Sudut bibir Jude tertarik turun. “Ya, kaukah itu? Calon raja?” cibirnya tanpa perasaan.

“Ya. Itu aku.”

“Wah, wah … apa aku harus gembira karena menjadi budak seorang calon Raja?”

“Aku … tidak yakin.” Drake menyugar rambutnya yang hitam dan halus. Jude tidak senang mendapati dirinya dibuat amat tertarik dengan cara Drake mengikat rambut dan menonjolkan garis dahinya yang rupawan.

“Yang pasti, patuhi semua perintahku tadi, dan kau akan aman. Lebih-lebih lagi, aku akan sangat sibuk belakangan ini karena kami para naga tengah mempersiapkan perang perebutan wilayah melawan kaum Griffin.”

Jude mengedip saat Drake menancapkan pandangan dengan sorot mata birunya yang benderang.

“Eh?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status