"Karena belum ada cincin pengikatnya, untuk sementara pakai ini dulu, Sayang. Ini adalah cincin warisan turun temurun keluarga besar Subrata, yang diberikan pada calon istri anak lelaki pertama, atau yang paling besar. Dan Cahaya, Sayang. Hari ini tanggung jawab Ummi menjaga cincin pusaka keluarga Subrata, berpindah padamu. Berikan nanti cincin ini, pada anak lelaki paling besar kalian." Mukta melepas cincin yang melingkari jari tangannya, memberikan pada Raja untuk disematkan pada Cahaya. Raja menerima cincin yang masih terlihat berkilau itu, karena Mukta yang rajin merawatnya, cincin bermata satu dengan warna biru yang berkilauan saat tertimpa sinar lampu. Raja mengulurkan tangan, meminta Cahaya meletakkan tangannya di atas telapak tangan kirinya. Dan Khadijah tidak ingin kehilangan momen penting yang tidak direncanakan sama sekali itu, dengan mengabadikannya lewat kamera ponselnya. Cahaya meletakkan tangan kirinya di atas tangan Raja dengan senyum malu. "Cahaya Kamila, Sayang ..
Dan tepukan gemas tangan Cahaya mendarat di tangan Raja, dia merasa malu dengan tingkah calon suaminya itu. "Nggak boleh, udah cepet keburu malam." Denni menghardik galak, dan Raja hanya pasrah, menyalami Hadi dan yang lainnya dengan malas. "Cahaya masih di sini, Nak Raja,tidak akan kemana-mana," goda Hadi pada calon menantunya itu. "Besok juga ketemu lagi, A. Terus hari Minggu ketemu lagi, tenang saja," timpal Binar ikut menggoda, membuat yang lain tertawa. Akhirnya Raja pun melangkah ke mobil mengikuti Denni, dan Farhat yang sudah lebih dulu masuk kedalam mobilnya. Tangan Cahaya melambai melepas kepergian keluarga Raja, setelah mobil yang dikendarai Farhat lebih dulu keluar, diiringi lengkingan suara Syena memanggil Binar. "Dadah, Om Nar ... Enna pulang dulu, nanti Enna datang lagi, ya ... Enna sayang sama Om Nar!"Binar merasakan desiran itu lagi, desiran aneh namun terasa menyenangkan.Cahaya dan yang lainnya berbalik masuk, setelah mobil Raja tak nampak lagi terhalang pekat
Sang perawan tengah berbunga hatinya. Bahagia itu melingkupi hati, memeluk asa, mendekap rindu yang kini kembali mengetuk kalbu, menerbangkan angan seakan sang pujaan ada bersebelahan. Bahkan saat becermin seakan dia di sana, tersenyum menggoda dengan kerling mata penuh pesona"Hei! Kangen kan?!" "Eh?!" Cahaya mengerjapkan mata, menoleh melihat kebelakang tubuhnya, saat bayang Raja terpantul cermin di depannya. Tak ada! Karena memang itu kenyataannya. Sang pemilik hati tentu saja tidak di sana. Sudah pulang bersama keluarganya, hanya cinta dan hatinya yang tertinggal. Cahaya menutup wajahnya yang tiba-tiba menghangat, merasa malu dengan apa yang kini tengah dirasakannya. Jatuh cinta. Sangat. Sangat jatuh cinta pada Raja. Kemana dia selama ini? Bagaimana bisa dia menyia-yiakan cinta seorang Raja? Bagaimana dengan mudah dia membuang kebahagiaan yang ditawarkan Raja dengan begitu angkuh? Tapi apalah semua tanya itu sekarang? Karena kini kebahagiaan itu kembali diraih, Raja-nya suda
Menarik napas dalam sebelum menerima panggilan Raja, Cahaya menepuk pipinya pelan yang terasa memanas lagi. "Ha-halo, A?" 'Duh, kok gugup sih?'"Halo, Sayang ... sudah tidur?" suara Raja menyapa, terbayang wajah tampan itu tersenyum padanya, dan Cahaya memilih berbaring untuk menyamankan diri, berbincang dengan sang pujaan. "Belum, baru baringan saja. Aa udah nyampe?" "Baringan? Kapan kita bisa baringan bareng, Sayang?" Cahaya semakin merasakan panas di wajahnya. "Dih, apaan sih, A? Ditanya bukannya jawab? Malah ngomongin apa.""Hehehe ... iya, Sayang. Udah nyampe dari setengah jam tadi, terus bersih-bersih. Baru deh hubungi kamu.""Iya. Ummi baik-baik saja kan? Nggak kecapean?" Cahaya mencoba memberikan perhatian untuk calon mertuanya itu. "Ummi baik, semangat sekali malahan. Tadi langsung pesan cincin buat kita, nanti Aa kirim photonya buat kamu pilih model, Sayang.""Nggak usah, A. Gimana bagusnya aja. Aku percaya kok sama pilihan ummi dan kamu.""Nggak bisa gitu juga, Sayang
Raja tersenyum bangga, melihat video yang dibagikan Khadijah tadi saat acara tunangan diadakannya berlangsung, berbagai komentar dan juga pertanyaan, dari temannya di dunia maya juga nyata, membuat senyuman itu semakin lebar. Raja akan mengucapkan banyak terima kasih pada adik tersayangnya itu nanti, karena sudah berinisiatif melakukan siaran langsung, yang bahkan terlintas di pikirannya pun tidak saat itu. Merasa tergelitik untuk ikut mengomentari video itu, Raja menuliskan komentar disertai permintaan do'a dari semua yang mengenalnya di dunia maya. RAJENDRA SUBRATA. Terima kasih semuanya, mohon do'anya semoga semua dilancarkan sesuai rencana sampai hari H.Tak berapa lama, komentar Raja ditimpali oleh balasan dari yang lain. Dan bukannya membalas pertanyaan juga ucapan mereka, Raja malah memilih terbang ke dunia mimpi untuk menjemput perjumpaan dengan kekasih tercinta. Melepas rasa rindu yang semakin kuat membelenggu, padahal baru lepas hitungan jam keduanya bertemu. Cinta mema
Di belahan dunia lain, Hana yang mendapatkan kabar tentang musibah yang menimpa ibunya, menatap sendu pada Kim Young Nam, suaminya. Dia memang belum membicarakan tentang musibah itu, pada kedua lelaki yang sangat berharga dalam hidupnya itu: suami dan anaknya, dia bingung harus dengan cara apa menyampaikan kabar tentang kondisi ibunya pada Young Nam. Young Nam yang merasakan perubahan sang istri, menatap lembut pada wanita beda bangsa yang sudah menemaninya selama 28 tahun itu. "Weoh, Yobo? Kamu ada yang ingin disampaikan?" tanyanya dengan tangan terulur mengusap punggung tangan Hana. Hana tersenyum tipis, Young Nam memang mengenalnya dengan baik, hanya dengan tatapan saja lelaki itu bisa tahu ada yang tengah mengusik ketenangannya. "Emm, itu tentang ... ibu. " Hana sengaja menggantung kalimat, agar suaminya semakin penasaran dan memberikan perhatian penuh padanya. "Ibu? Kenapa dengan ibu?" berhasil. Young Nam menyimpan ponselnya di meja, menatap Hana dengan penasaran. "Ibu seda
Raja keluar dari ruang rapat dengan tak bersemangat, keputusan hasil rapat tadi sangat tidak menguntungkan baginya. Bagaimana tidak? Perusahaan dengan pasti akan mengutus Cahaya, Andri, dan Adrian untuk dikirim ke Korea, bersama dua orang karyawan lainnya menggantikan Alya yang tidak bisa ikut serta. Ingin sekali tadi Raja menolak keputusan Presdir, yang menyebut nama kekasih hati sebagai calon kuat orang yang harus pergi, namun jelas tidak mungkin hal itu dilakukannya. Raja duduk di tempat kerjanya lelah. Lelah hati lebih tepatnya. Apa harus dia melarang Cahaya pergi? Apa tidak akan membuat gadis itu merasa dia mengekang karirnya? Tapi untuk mengizinkan Cahaya pergi pun, Raja takut. Di sana, di negara yang akan Cahaya datangi lagi, ada seseorang yang pernah begitu gadis itu cintai. Seseorang yang bisa Cahaya temui kapan saja, bahkan tidak akan mustahil cinta yang mungkin masih ada di dalam hati Cahaya, akan kembali bersemi bila mereka bersua kembali. 'Tenang, Raja ... Cahaya mili
Cahaya yang sedang menyuapi Rosita sesekali menatap jam yang menempel di dinding, sudah hampir jam satu siang, tapi ponselnya tidak menunjukkan adanya tanda kalau Raja menghubunginya. Dia mencoba bersikap tenang padahal, sudah tidak sabar untuk mendengar suara Raja. Rosita yang seakan mengerti kegelisahan Cahaya, mengusap tangan Cahaya lembut. "Teteh mikirin si Aa, ya?" goda Rosita yang langsung melihat rona menjalari pipi Cahaya, wanita itu terkekeh pelan melihat putrinya terlihat salah tingkah. "Telepon saja kalau memang kangen, kan sekarang jam istirahat.""Ambu, apaan sih?" kilah Cahaya sambil menyuapkan kembali makan siang Rosita yang tinggal beberapa suap, Cahaya senang ibunya lahap makan, dengan begitu harapan pada hari pertunangannya nanti Rosita bisa pulih sangat besar terwujud. "Kalau kangen jangan gengsi, telepon saja. Saat ini mungkin si Aa sibuk, mungkin juga butuh Teteh yang menghubungi. Sudah telepon sana, sebelum waktu istirahatnya habis, biar Ambu makan sendiri."C