"Jangan marah-marah atuh, Teh?! Kasihan si Aa udah jauh-jauh nganterin, malah dimarahin," kata Binar menunjukkan keberpihakkannya pada Raja. Dan Cahaya memukul gemas pundak adiknya melampiaskan kemarahan. "Kamu kok malah belain dia, sih? Yang Kakak kamu itu Teteh, bukan dia!" "Awww! Sakit atuh, Teh!" pekik Binar mengusap pundaknya, yang menjadi sasaran kemarahan Cahaya tadi. "Bodo amat!" dengus Cahaya geram. "Sayang! Kok kasar, sih?" Raja menangkap tangan Cahaya, yang kembali terangkat akan memukul Binar. Namun dengan sigap remaja itu berlari menjauh, dengan tawa kecil terdengar dari bibirnya. "Lepas! Jangan pegang-pegang!" Cahaya menarik tangannya yang ada dalam genggaman Raja. Beberapa orang menoleh melihat interaksi mereka. "Malu! Lepas!" "Jangan marah terus, Sayang. Kamu itu salah paham.""Aku nggak mau dengar!""Bagaimana kamu akan tahu kebenarannya, kalau nggak mau dengerin penjelasan aku?" Raja menghentikan langkah, hingga Cahaya yang tangannya ada dalam genggamannya tur
"Assalamu'alaikum, Bu?!" salam Raja mengangguk sopan, senyum mengembang membuat wajahnya semakin terlihat menawan. "Wa'alaikumussalam, Aa. Panggil Uwa saja. Uwa Epon. Ini anak Uwa, Lina," jawab Epon dengan ramah, mengusap lengan Raja saat lelaki itu menyalaminya. "Iya, Wa. Saya Raja.""Mani bagus namanya, seperti orangnya, kasep!" Cahaya menatap jengah, namun tidak bisa berbuat apa. "Raja, Teh." Raja mengulurkan tangan pada sepupu Cahaya. "Lina, A." Lina menerima tangan Raja dengan sopan. "Ayo, silakan masuk!" tambahnya. Mereka pun beriringan masuk ke dalam rumah Cahaya. Epon dan Lina langsung pamit, begitu Raja sudah duduk nyaman di sofa ruang tamu rumah Cahaya, mereka percaya Cahaya dan Raja tidak akan melakukan hal yang dilarang agama, ditambah adanya Binar di sana. "Tidur dulu, A. Nanti kesiangan," ingat Cahaya saat melihat Raja malah menonton pertandingan bola bersama Binar. Raja menoleh sekilas, lalu kembali serius menatap layar kaca. "Sebentar, Sayang, ini tinggal seben
"Baiklah, tapi jangan disela, ya? Jangan mengambil kesimpulan apa pun sebelum aku selesai bercerita." Raja meminta kesediaan Binar. Binar kembali mengangguk setuju. Raja pun dengan yakin menceritakan semua kisahnya dulu dengan Cahaya. Kisah cinta sesaat yang tidak disangka akhirnya. Kisah cinta yang membuatnya enggan membuka hati untuk yang lain. Kisah cinta segi tiga, antara dia, Cahaya, dan juga ... Kim Young Jin. Sahabatnya. Sesekali tangan Raja mengusap wajahnya, saat desir perih terasa lagi, perasaan cemburu yang harus dia tahan melihat kebersamaan Cahaya dan Kim, saat gadis yang dicintainya lebih memilih sahabatnya dengan alasan lebih dulu mencintai Kim. Pelukan perpisahan, juga penolakan kembali ungkapan cintanya. Binar menggeleng menanggapi cerita Raja, tak menyangka perjalanan cinta lelaki yang penuh pesona itu sedemikian rupa. Dan kakaknya, penyebab luka di hati sang Arjuna. Luar biasa. Padahal kalau dilihat dari fisik Raja, gadis mana yang akan menolak pesonanya? Tapi
Cahaya tidak bisa memejamkan mata, dia bingung dengan perasaannya sekarang. Percaya pada semua omongan Raja? Atau apa yang matanya lihat tadi? Berat. Cintanya kembali diuji. Dulu Raja, sekarang dia. Tak pernah berharap bisa bertemu kembali dengan Raja, tapi Tuhan berkehendak mereka dekat lagi. Berhubungan lagi, tapi kemudian terluka lagi. Dan lebih parah, dia yang menjadi orang ketiga kini. Raja sudah menikah. Cahaya berbaring menyamping, rungunya masih bisa mendengar suara TV yang menyiarkan pertandingan bola. Dia yang tadi sempat tertidur di perjalanan, sekarang seakan kantuk enggan menyapa. Bayangan kebersamaan Raja dengan keluarga kecilnya begitu menyiksa, senyum bahagia dari wajah istri Raja, tercetak jelas dalam benaknya. Benar-benar wanita yang cantik. Sangat cantik malah. Pantas saja Raja memilihnya sebagai pengganti dirinya. Penggantimu? Yakin?"Tapi kenapa harus bohong?" monolog Cahaya pelan, mengingat dengan ringannya bibir Raja mengucapkan kata cinta, tapi ternyata dia
Binar yang baru kembali dari toilet, ikut bergabung. Tadi Raja memang meminta izin padanya untuk berbicara pada Cahaya, dengan ada Binar bersama mereka tentunya. Binar duduk di sebelah Cahaya, sedang Raja di depan keduanya terhalang meja. "Ada apa sih, A? Udah malam ini," tanya Cahaya merasa tidak enak hati dengan Binar, menoleh ke adiknya yang fokus pada layar ponselnya, mengabaikan TV yang masih menyiarkan pertandingan bola. "Aku sudah menjelaskan pada Binar tentang Khadi." Raja menatap dalam Cahaya, terlihat gadis itu melirik pada Binar yang seakan tidak mendengarkan pembicaraan mereka, bahkan remaja itu menyumpal kedua telinganya dengan headset, agar tidak mendengar pembicaraan sepasang kekasih yang sedang salah paham itu, namun Cahaya enggan untuk berkata-kata. "Yang kamu lihat tadi itu adik aku, Sayang. Dan anak yang memanggil aku papa adalah anaknya, keponakanku. Sampai saat ini, aku belum pernah menikah. Aku masih lajang. Bujangan, bukan duda seperti yang kamu katakan tadi
Binar yang melihat Raja kegirangan setelah Cahaya pergi ke kamarnya, membuka sumbatan earphone di Kedua telinganya. Dia tersenyum turut merasakan kebahagiaan Raja, yang walau dia belum tahu cerita sebenarnya. "A!" panggil Binar mengalihkan perhatian Raja. Raja menoleh pada calon adik iparnya, menyebrangi meja memeluk Binar."Dia mau, Nar! Cahaya mau menerima lamaranku!" ucap Raja penuh rasa kebahagiaan. Mendengar itu, Binar menepuk punggung Raja dengan bangga. "Wah, selamat, A!""Iya, Nar! Terima kasih." pelukan mereka pun terurai. "Emang kapan Aa mau lamar Teh Aya?" Binar kembali duduk setelah Raja juga menghempaskan tubuhnya di sofa. "Minggu ini, Nar. Tapi aku belum bilang sama bapak kamu, nanti ingetin Cahaya untuk bilang sama beliau, ya?""Tapi ... ambu kan masih sakit, A!" euforia kebahagiaan Raja terhenti, dia lupa keberadaannya di rumah Cahaya saat ini adalah karena Rosita yang mengalami musibah, tapi mengapa dia bisa lupa? "Ah, iya, Nar. Kenapa aku bisa lupa?" keluh Raja
"Aya ... Sayang!" Raja menggeram pelan, "Kamu malah menyiksaku dengan kata itu. Kalau kamu mau, hari ini pun aku sanggup melakukannya, tapi tentunya aku tidak bisa begitu saja. Kamu terlalu berharga untukku, aku ingin memberikan pernikahan yang menjadi impianmu, seperti keinginanmu."Cahaya tersenyum, dia sama tidak sabarnya dengan Raja sekarang. Membayangkan Raja menjadi suaminya kelak, membuat hatinya berdesir hangat. "Aku tidak menginginkan apa yang mungkin Aa bayangkan tentang pernikahan impian itu, cukup bagiku kata akad nanti kamu ucapkan dengan lantang.""Kamu tahu?" Raja melangkah perlahan, sedang Cahaya mundur menghindar. "Mendengar kamu berkata seperti itu, jiwa liarku terpanggil, Sayang!" Cahaya menahan tawa dan juga takut yang bersamaan, dia terus mundur dengan sesekali melihat kebelakang mencari celah untuk lepas dari ancaman tatapan lapar Raja, hingga begitu sampai di depan kamar dia berbalik dan langsung menutup pintu sambil berteriak. Brak!"Tunggu di sana! Aku ambi
Memasuki rumah Khadijah dengan semangat, kedatangan Raja disambut Syena yang menangis kencang di depan kamarnya. Gadis kecil itu terbangun, dan mencari keberadaan ibunya yang tidak terlihat begitu dia membuka mata. Raja menderap langkah memburu Syena, segera menggendong Syena yang langsung memeluknya erat, Raja mengusap punggung keponakannya itu sayang. "Kenapa, Sayang?" tanya Raja menenangkan, dia mencoba membujuk Syena agar sedikit tenang. "Bunda nggak ada, Papa!" jawab Syena di antara sedu sedannya."Nggak ada?" Raja menoleh mencari keberadaan adiknya, sejak dia masuk tadi, memang belum menemukan keberadaan Khadijah. "Lagi di belakang mungkin, Syena udah cari?" Syena menggeleng dalam pelukan Raja. "Ya sudah, kita cari bunda sama Papa."Raja melangkah menuju bagian belakang rumah Khadijah, begitu sampai dapur dia melihat Bi Sari--Assisten rumah tangga Khadijah--sedang menuangkan nasi goreng ke dalam mangkuk besar untuk majikannya sarapan. Wanita berumur empat puluhan itu, melih