”Hamiz, gimana kamu ini? Kamu bener-bener cerai sama Alana? Kamu tau sendiri Oma, kan,” ucap Sarah.Kabar perceraian itu sudah diketahui Sarah, namun belum sampai ke telinga Oma. Hamiz pun hanya diam di sofa, menyandarkan kepalanya yang pening. Sarah meletakkan secangkir jasmine tea yang masih mengepul di hadapan anak lelakinya.Hamiz tergugah untuk menuang teh ke cangkir dan menghirup aroma jasmine yang menenangkan. Pikirannya dipenuhi oleh Alana dan putranya. Sudah sebulan sejak Dania melahirkan, Hamiz tidak pulang. Ia terus-menerus di rumah Sarah. ”Hamiz! Pikirin sesuatu, dong, gimana kita nanti,” ujar Sarah, tangannya mengguncang lengan putranya.”Aku juga bingung, Mah. Satu-satunya cara, aku harus test DNA anak Dania. Aku nggak yakin itu anakku.””Sekarang kamu pikirin deh, gimana caranya kamu bisa bawa bayi itu ke rumah sakit buat test DNA, dan Dania nggak tau. Udahlah, mami mau shopping aja. Pusing!” Sarah meninggalkan Hamiz yang termenung di sofa. Ia tidak bisa berbuat apa-a
Hamiz tertegun lama menatap Alana. Di kepalanya bekerja sangat keras, barangkali ia melupakan tentang ini semua. Akan tetapi, ia benar-benar mengaku tidak pernah menginginkan perceraian atau mengatakan perihal cerai. ”Ini bukan aku, Na,” ujar Hamiz tergagap.”Kamu ... sebulan yang lalu, aku berusaha buat pertahanin ini, minta kamu cabut ucapan kamu, tapi saat aku telfon, kamu lagi bercinta, kan, sama Dania?” tuduh Alana. ”Apa maksud kamu?” Hamiz mengingat saat Dania hamil, ia bahkan jarang pulang, bahkan menyentuh Dania saja sudah tidak pernah. Hamiz semakin mendapat harapan, meski ia harus berjuang lebih keras untuk meyakinkan Alana.”Aku punya rekaman suara itu,” ujar Alana, segera ia mencari rekaman berisi suara desahan Dania yang memanggil nama Hamiz. ”Oh. Hamiz, Sayang. Ayo, Sayang,” racau Dania dalam rekaman itu. ”Aku mau sampai. Aku sampai,” jawab lelaki yang diduga Hamiz oleh Alana. Hamiz semakin mengerutkan kening. ”Aku butuh rekaman ini. Ini bukan aku. Ini Dania dan Ja
Dania berteriak di kamar, mengacak barang, bahkan barang yang berhamburan itu hampir mengenai bayinya -- Amora. Jack hanya mengepulkan asap rokok di dekat jendela, seolah ini adalah pemandangan yang biasa ia saksikan. Dania mendekati Jack, meraih kerah jaketnya. Jack menatap wajah Dania tanpa ekspresi. ”Harusnya, kita udah selesai sejak 2 tahun lalu!” pekik Dania. ”Gue udah kasih lo banyak. Gue saling cinta sama Hamiz! Tapi lo harus hamilin gue sampe ada Leon!”Jack tertawa terbahak-bahak, seolah ucapan Dania lucu. Dania tetap menghunus Jack dengan tatapan tajamnya. Ia merasa hidupnya kini sangat hancur. Hamiz mengirimkan beberapa foto dirinya dengan Jack tengah begitu intim dengan kata-kata perceraian.”Apa yang harus gue lakuin. Apa!” Amora menangis kencang karena tidurnya terganggu. Bayi dua bulan itu tak berhenti-henti menangis, disusul teriakan Dania yang semakin frustasi. ”Bukannya lo yang selalu minta gue dateng karena Hamiz udah lama nggak nyentuh lo? Bisa-bisanya lo limpah
6 jam setelah Dania masuk ke rumah sakit, akhirnya ia sadar. Melihat sekeliling dalam ruangan putih, yang ia lihat hanya Jack yang tengah tidur menyandar di sofa. Melihat tangannya yang terasa nyeri, dipenuhi oleh perban. Dania menangis di tempatnya sampai tubuhnya terguncang. Jack mendengar isakan Dania karena ia tidak benar-benar tertidur. Ia hanya diam di tempatnya, melihat bagaimana Dania setelah ini. Pikirannya pun kacau, tidak mengerti akan melangkah ke arah mana. Melihat orang tersayangnya benar-benar mencintai lelaki lain, sedangkan dengan dirinya, hanya menjadi pemuas nafsu. Leo memang sudah ada karena ketidak sengajaan. Namun, hubungan mereka berdua tidak ada yang spesial bahkan tidak ada pernikahan. Dania mau untuk tidak menggugurkan Leo, sedangkan Jack yang memang cinta dengan Dania mau mengurus Leo di rumah. Hingga pertemuan setelah perpisahannya dengan Dania semenjak Leo lahir, Jack bertemu lagi 2 tahun setelahnya di Crown.”Hei,” sapa Jack. Melihat Dania di Crown, di
Saat berjalan-jalan mengitari tetangga di sekitar rumah, Bi Sumi melihat mobil juragan Basuki berhenti di depannya. Arumi ke luar dari mobil dan menggendong Arsen dari stroller. Selama ini, ia baru bisa melihat cucunya sedeka ini. Wajahnya sangat mirip dengan Hamiz, meski begitu, memiliki bibir dan mata seperti Alana. Wajahnya mewarisi Hamiz yang blasteran Arab.”Ma-maaf, Bu Arumi, saya mau pulang,” ucap Bi Sumi, kikuk. Arumi justru tidak mengindahkan ucapan Bi Sumi. Ia segera menggendong Arsen, sedangkan Bi Sumi mengekor di belakang. Ternyata Arumi menuju rumah Alana dan masuk begitu saja membuka gerbang yang tidak dikunci. Bi Sumi merasa tidak enak dengan Alana karena hal ini terjadi meski ia tidak memiliki bayangan begini. Rumah juragan Basuki ada di ujung desa dan tidak terbersit hal ini akan terjadi. Tangan Bi Sumi bergetar. Ia menaiki tangga menuju kamar Alana dan mengetuk pintu dengan tergesa. Pertama kali yang ia lihat adalah wajah Hamiz. Alis tebal Hamiz hampir menyatu men
Alana sudah bangun lebih dulu karena tangisan Arsen. Ia tengah menyusui di samping Hamiz yang tengah tidur. Ia pandangi wajah suaminya yang sedikit tertutup rambut, kembali mengagumi ukiran wajah sempurna Hamiz. ”Mama yakin, Nak, Tuhan menciptakan papa pasti dengan kebahagiaan juga,” gumam Alana.Arsen kembali tidur setelah kenyang, Alana yang kesulitan kembali tidur. Jika sudah bangun, ia akan kesusahan kembali memejamkan mata. Yang ia lakukan hanya, melihat wajah Hamiz dari dekat. Matanya yang lentik, alisnya yang tebal, semuanya tak luput dari pujian yang dilontarkan di hati Alana. Ia benar-benar masih mengagumi Hamiz sejak dulu. Tentang apa yang sudah terjadi, Alana hanya tersenyum mengingatnya.”Sekarang hanya ada kita, Mas.””Jangan liatin aku terus, nanti makin cinta,” ujar Hamiz, suaranya serak.Alana tersenyum. ”Emang udah cinta, Bapak Hamiz.”Hamiz menarik Alana pada pelukan, membawanya pada keindahan cinta yang selama ini mereka rindukan. Tanpa paksaan, tanpa tangisan. Ha
Niko tiba-tiba diam, memandang entah ke mana. Sandra melihat ponsel Niko yang menyala dan terdapat foto perempuan tengah tersenyum lebar. Perempuan itu berambut sebahu, namun dari wajahnya terlihat menyenangkan. Sandra semakin mendekat untuk melihat ponsel Niko, agar lebih jelas melihat potret wanita yang dijadikan wallpaper layar kunci. Niko mengambil ponselnya, Sandra mendengus.”Ngomong-ngomong, siapa itu, pacar kamu?” Sandra membereskan makanan karena Niko tidak mau menghabiskan sup buntut yang keasinan. Wajah Sandra berubah masam.”Apaan, sih,” ujar Niko. Ia risih karena Sandra masih orang lain menurutnya.Sedang bertanya-tanya, mata Sandra kian membesar karena ponsel Niko mendapat panggilan video dari wanita tadi. Ia mengeja nama kontak yang disematkan.”Kenapa?” Wajah Niko masam mengangkat telfon dari Alana. Sandra sedikit mengintip, melihat seorang wanita yang tengah tersenyum menatap Niko sedang berada di sebuah toko kue.”Kita ngobrol nanti di rumah kamu, gimana?” usul Al
Dania sudah diperbolehkan pulang. Jack mendorong kursi roda untuk membawa Dania, kali ini tidak ke apartemen akan tetapi ke rumah jack. Sepanjang Jack mendorong kursi rodanya, Dania hanya diam, pandangannya pun kosong seolah tidak memiliki jiwa. Guratan kurang tidur kentara di wajah cantik Dania.Sejauh ini, Jack belum memberikan sepucuk surat dari Hamiz. Melihat Dania yang sering mengigau memanggil nama Hamiz, membuatnya tidak tega. Ia beranggapan membawa Dania ke rumahnya akan menjadi pelipur dan lebih aman karena ada ibunya yang mengawasi.”Hei, Leo,” sapa Jack.Leo memberikan pelukan untuk Dania, namun tidak menerima balasan. Dania hanya diam, memandang Leo linglung. Kembali menangis, menangkup wajah.”Leo, Sayang. Leo ke rumah dulu ya bantuin nenek.””Kenapa mami nggak mau peluk Leo, Papi? Leo udah mandi, kok,” sahut bocah cilik itu, lugu.Jack menggenggam tangan Leo untuk ikut mendorong kursi roda. Leo tersenyum senang, Jack tidak begitu merasa bersalah karena putranya kembali c