Apa ada yang baca sampai sini?
Jack tak fokus dengan pekerjaannya. Pikirannya sendiri kacau perihal permintaan Ummi Sunita yang menginginkan adanya restu istri pertama. Sedangkan, bagaimana ia akan membicarakannya dengan Dania? Laptop yang masih menyala, ia tutup. Bu Linda menghampiri putra satu-satunya itu dan memberinya kopi. Bu Linda tahu kegelisahan apa yang tengah dihadapi oleh Jack."Saran ibu, kamu ceraikan saja si Dania, Jack. Dia juga nggak sayang sama kamu, terutama ke anak-anak. Kalo diteruskan, rumah tangga kalian jadi apa? Apa kamu mau kedua anakmu ikut ke jejak ibunya yang begitu?" Perlahan, Bu Linda yang memang tidak setuju memberi pengertian pada putranya agar secepatnya mengambil keputusan. Ia sudah menyukai Luna saat baru pertama bertemu."Jack bingung, Bu. Kadang di hati Jack nggak rela mau lepasin Dania, tapi liat Luna, Jack merasa benar menjadikannya istri meski Jack belum ada perasaan," jelasnya.Bu Linda mengusap rambut putranya yang memang tengah tidur di pangkuan. "Jack, kesampingkan rasa
Hari-hari Jack terasa kelabu. Meski di satu sisi hati kecilnya merasa lega telah mengambil keputusan untuk pergi dari hubungan yang tidak sehat, ia tetap saja lelaki yang rasa cintanya besar pada seorang wanita yang naasnya menyakiti. Pekerjaan yang digarapnya seolah tidak benar. Beberapa kali ia ditegur atasan di kantor karena beberapa kali melamun.Jack kini tengah berada di salah satu pusat perbelanjaan dengan Lucas. Ucapan sahabatnya yang sedari tadi tak berhenti berbicara sama sekali tak ia dengarkan. Lucas yang menyadari hal itu menarik Jack memasuki cafe."Lo sebenernya kenapa sih, Bro? Berat amat kayaknya tu beban hidup," canda Lucas.Jack mengacak rambutnya sembari mengetatkan rahang. "Bisa gila, gila, gila gue, Lucas! 3 hari yang lalu gue ke apartemen Dania, rencana pengen tau kejelasan pernikahan gue gimana ke depannya. Gimana pun gue emang nggak tegas sebagai laki, makanya gue dateng ke dia bermaksud biar bisa tau langkah selanjutnya ke Luna juga. Tapi ... apa lo tau?""Da
"Alana!"Hamiz menggendong istrinya ke kamar dengan jantung berdegup kencang. Wajah istrinya sangat pucat dan terdapat darah yang keluar dari hidung. "Kita bawa Alana ke rumah sakit aja, Hamiz!" titah Sarah pada putranya.Tanpa pikir panjang karena pikirannya pun kalut melihat darah yang mengalir, Hamiz menggendong lagi istrinya menuju mobil. "Hati-hati, Nak, turun lewat lift!" Cegah Sarah saat melihat Hamiz hendak menuruni tangga. Akan sangat berbahaya jika Hamiz tergelincir dan akan menambah Alana semakin sakit."Bi, jaga Arsen di rumah," pesannya."Iya, Bu. Kita ke atas yuk, Anak Baik."Agar Arsen tak menangis, dialihkan ke ruang bermain. Sarah menyusul Hamiz yang sudah ada di dalam lift begitu lift terbuka ia bukakan pintu mobil untuk Hamiz. Alana ditaruh di belakang dalam posisi berbaring dengan kepala ditaruh di kedua paha Sarah.Namun, saat baru saja hendak membuka pintu mobil, Sarah mendapat telepon dari Oma. Meski sudah diabaikan, akan tetapi telepon seluler terus saja berd
Lucas serba salah hendak mengambil keputusan bagaimana. Ia memang sekarang tengah berada di rumah Luna karena memang ingin menyaksikan acara lamaran kedua sahabatnya itu. Namun, kejadian naas justru terjadi. Luna kini pingsan setelah Lucas mendapat panggilan video dari Febiola.Ummi Sunita menghampiri Lucas dan memegang lengannya. Wajahnya khawatir. Lucas memang sudah memberitahu tentang talak yang diberikan Jack ke Dania dengan bagaimana perangai mantan istri sahabatnya. Ummi Sunita simpatik jika memang begitu alasannya. Tak ada lagi alasan untuknya membenci Jack yang hanya ingin memperbaiki diri ke jalan yang Allah berikan melalui putrinya."Aku harus pergi dulu, Tante. Kasihan baju Amora dan Leon nggak ada ganti. Di sana temanku pun kerepotan kalau menghandle semua sendirian.""Nak Lucas, ada di rumah sakit mana nak Jack?" tanya Ummi Sunita."Di Rumah Sakit Harapan, Tante."Lucas meninggalkan Luna yang masih tak sadarkan diri akibat syok luar biasa. Ummi Sunita kembali ke putrinya
Plaaaak!Tuan Hamiz melayangkan tangan hingga mendarat ke pipiku. Terasa kebas, karena ini tamparan yang ke empat kalinya dalam setengah jam ini. Sementara, sudut bibirku sudah sejak tadi mengalir darah. Aku masih sama, menatapnya tanpa air mata. ”Saya sedang hamil, Tuan,” ucapku sembari menyeka sudut bibir yang basah. Tuan Hamiz berteriak sambil mencengkram kedua bahuku. ”Cewek bodoh!”Aku tetap tersenyum karena makian dari mulutnya sudah menjadi makanan sehari-hari. Kupandangi wajahnya yang putih berubah kemerahan karena marah. Tuan Hamiz menendang meja riasku hingga bedak tabur yang ada di atasnya jatuh. Aku memilih duduk saja di pinggir ranjang sambil mengusap perutku yang baru hamil dua bulan. ”Setelah anak ini lahir, kamu akan aku ceraikan!” Mataku terpejam ketika Tuan Hamiz memilih keluar kamar sambil membanting pintu. Kembali kuusap perutku yang belum membuncit. Semoga, anak yang kukandung tidak sedih mendengar ayahnya seperti itu. Matanya yang sendu menatapku dua bulan l
”Kamu serius sama keputusan kamu, kan, Alana?” Ibu menggenggam tanganku. Matanya kembali mengeluarkan buliran kaca yang siap pecah. Bibirnya yang mulai keriput bergetar. Aku mengangguk dan membalas genggaman tangannya. ”Semoga kita bisa lebih damai di desa, Bu.”**Ya, aku akhirnya menyerah hanya karena melihat Nyonya Sarah dan Dania membicarakan tentang pernikahan. Pesta seperti apa yang Dania inginkan. Gaun apa yang hendak dipakai. Makanan apa saja yang hendak disajikan untuk para tamu. Bulan madu di mana dan memiliki berapa anak. Mengingat itu semua hanya membuat perutku kembali kram. Ya, aku kira akan semudah dua bulan ini bersabar. Nyatanya sulit. Tubuhku seperti terbakar melihat Tuan Hamiz mencumbu Dania di kamar yang menjadi saksi kebrutalan Tuan Hamiz padaku. Kamar di mana kehormatanku hilang. Argh!Tanpa sadar aku berteriak dan memukuli kepala. Aku depresi hingga terasa sekarat. Mungkin sopir taksi online menilaiku orang aneh. Aku tidak perduli. Ibu justru kembali menangi
”Iya, Sayang. Kurang dari setahun kita bisa kayak biasa lagi.”Aku mendengar suara Tuan Hamiz tengah menelfon seseorang. Tuan Hamiz berada di dekat kolam ikan yang menyatu dengan taman. Dari caranya menelfon, sudah pasti itu Dania.”Aku nggak bisa nyuruh gugurin. Tenang aja, Sayang. Lagian di surat perjanjian juga, Alana nggak bisa nuntut apa-apa lagi.”Seharusnya aku memang tidak perlu berharap, bukan? Perkataan Tuan Hamiz sudah jelas. Jus alpukat yang hendak kuberi padanya kuurungkan. Lebih baik aku kembali ke dalam rumah. Kupijat pelipisku dan juga mengusap perut. Entah dosa apa yang kulakukan hingga Tuhan memberiku cobaan sebesar ini. ”Alana, kenapa jusnya belum kamu kasih ke Tuan Hamiz?” Ibu mendekat dan mengambil tempat duduk di sebelahku.”Tuan Hamiz lagi telfon sama orang kantor, Bu,” jawabku, memang berbohong. Ibu mengusap perutku dan memandangi wajahku seperti ada noda di sana. Aku tersenyum, tanpa mengatakan apa pun, aku ingin ibu melihatku baik-baik saja. ”Seenggaknya k
Malam ini Tuan Hamiz berpakaian rapi. Rambutnya ia sisir klimis dan lehernya memakai dasi berwarna merah tua. Jas yang dipakainya sangat bagus dipadu padankan dengan kulitnya yang bersih. Apa Tuan Hamiz akan menghadiri pesta? Karena jika hanya ke kantor, menurutku terlalu berlebihan. ”Saya mau dinner sama Dania. Kalo kamu ngantuk, tidur saja lebih dulu.”Pertanyaanku terjawab. Ingin rasanya kukatakan jika Dania tengah menemani anaknya yang sakit di ICU. Aku hanya mengiyakan, karena meminta Tuan Hamiz agar tidak pergi pun percuma. Aku memilih keluar kamar saja dan ke dapur, hendak mengiris beberapa buah-buahan. Tuan Hamiz mengekor di belakang, seakan melihatku hendak apa karena membuka kulkas. Akhirnya aku berbalik karena merasa canggung diperhatikan begitu.”Tuan mau saya buatin sesuatu?” tanyaku.Tuan Hamiz menggeleng, justru mengambil buah yang hendak kumakan. Tuan Hamiz mengirisnya dan menaruh di piring lalu diletakkan di depanku. Tuan Hamiz berlalu begitu saja setelah membuatku