Malam ini Tuan Hamiz berpakaian rapi. Rambutnya ia sisir klimis dan lehernya memakai dasi berwarna merah tua. Jas yang dipakainya sangat bagus dipadu padankan dengan kulitnya yang bersih.
Apa Tuan Hamiz akan menghadiri pesta? Karena jika hanya ke kantor, menurutku terlalu berlebihan.”Saya mau dinner sama Dania. Kalo kamu ngantuk, tidur saja lebih dulu.”Pertanyaanku terjawab. Ingin rasanya kukatakan jika Dania tengah menemani anaknya yang sakit di ICU. Aku hanya mengiyakan, karena meminta Tuan Hamiz agar tidak pergi pun percuma.Aku memilih keluar kamar saja dan ke dapur, hendak mengiris beberapa buah-buahan. Tuan Hamiz mengekor di belakang, seakan melihatku hendak apa karena membuka kulkas. Akhirnya aku berbalik karena merasa canggung diperhatikan begitu.”Tuan mau saya buatin sesuatu?” tanyaku.Tuan Hamiz menggeleng, justru mengambil buah yang hendak kumakan. Tuan Hamiz mengirisnya dan menaruh di piring lalu diletakkan di depanku. Tuan Hamiz berlalu begitu saja setelah membuatku kebingungan dengan sikapnya.Ponselnya yang ada di meja bergetar, menampilkan nama Dania dengan emoticon love. Alay sekali! Aku bermaksud untuk tidak menguping, tapi pembicaraan Tuan Hamiz masih lolos hingga ke telingaku.”Sayang, dinnernya ditunda ya. Mami sakit, Sayang.”Aku hanya berkomat-kamit karena Dania berbohong dan itu tandanya besar kemungkinan Tuan Hamiz belum tahu jika Dania memiliki seorang anak. Tuan Hamiz nampak lunglai dan berjalan malas ke kamar. Aku tersenyum mengetahui suamiku tidak jadi bertemu dengan pacarnya.”Pake ini!”Ha, apa ini? Aku segera menoleh melihat Tuan Hamiz menyodorkan box berwarna silver berbentuk hati padaku. Kubuka box itu dan ternyata dress berwarna hitam, senada dengan jaz tuan Hamiz.”Tuan, ini milik Dania, kan? Aku--””Pake ini! Kita makan di luar.”Ketus sekali nada bicaranya. Bibirku mengerucut karena kesal ia membuatku seperti barang cadangan. Akhirnya aku ke kamar dan kupakai dress darinya. Menonton tutorial make up di sosial media agar tidak terlihat kucel mengenakan dress mahal ini. Lagi pun, kenapa Tuan Hamiz harus repot-repot membelikan aku kosmetik sebanyak ini hingga memenuhi meja rias? Apa Tuan Hamiz ternyata ada hati padaku? Sepertinya tidak mungkin.Ibu mengetuk pintu dan kupersilahkan masuk. ”Sini biar ibu bantu catok rambut dan make up.”Tanpa kujawab, ibu sudah mengambil catok rambut di laci. Karena ibu pernah bekerja di salon, ibu paham bagaimana mencatok dengan baik. Curly hair tapi hanya di bagian bawahnya saja. Aku merasa seperti disulap menjadi orang berbeda.”Em, Bu.” Aku ingin menanyakan sesuatu padanya karena mungkin saja ibu tahu. ”Apa ibu tau kalo pacar Tuan Hamiz sudah punya anak?”Ibu mengernyit, mungkin berusaha mengingat. ”Dulu nyonya Sarah juga pernah nyinggung soal ini ke Tuan Hamiz. Tapi Tuan Hamiz bilang Dania belum pernah nikah, apa lagi punya anak. Kenapa, Lana?””Tadi ....”Bug!”Sudah apa belum?!”Pintu dibuka kencang oleh Tuan Hamiz membuatku dan ibu terkejut. Tuan Hamiz mengambil langkah lebar, menelisik wajahku, kemudian menarik tanganku agar mengikuti langkahnya. Saat sampai di pintu, aku kebingungan karena tidak memiliki sepatu yang pantas untuk kupakai dengan dress ini. Masa iya aku harus memakai sneakers? Akhirnya kupakai flat shoes saja dan segera mengekori Tuan Hamiz. Tidak apa-apalah, karena flat shoesku masih senada dengan dress yang kupakai.Sepanjang jalan Tuan Hamiz hanya diam. Tidak mengajakku bicara atau memakiku seperti saat di rumah nyonya. Oh, bahkan aku baru menyadari jika Tuan Hamiz belum pulang ke rumah sejak aku tinggal di sini.Setengah jam menempuh perjalanan, alih-alih ke restoran, ternyata mobil Tuan Hamiz berhenti di depan hotel. Jantungku cukup berdegup kencang karena semakin masuk, banyak sekali orang-orang berpenampilan glamor yang masuk ke ruangan sama.”Jangan bikin saya malu,” ucap Tuan Hamiz tepat di telingaku. ”Di sini semua adalah kolega saya. Dan adanya kamu di sini, karena mereka tau kamu adalah istri saya. Kamu paham?””Sayang, kenapa nggak nunggu aku? Aku kan minta kamu tunggu dua jam karena nemenin mami.”Aku dan Tuan Hamiz menoleh, bahkan sebelum kujawab ucapan Tuan Hamiz. Dania ternyata datang, memakai long dress berwarna hitam gemerlap.”Maaf, Tuan. Lebih baik saya yang pergi dari sini biar nggak bikin Tuan malu. Saya permisi.”Aku tergesa-gesa meninggalkan ruangan ini hingga perutku terasa ngilu. Sampai di dekat resepsionis, tanganku ada yang memegangnya membuatku berhenti.”Pakai ini.” Tuan Hamiz tengah merunduk dan membuka sepatuku dan mengganti dengan sepatu yang lebih tinggi berwarna hitam.”Tuan ....” Air mataku sudah berkumpul, siap kapan saja untuk meluncur ke pipi melongsorkan bedak. Aku benar-benar sedih, sungguh. Kukira Dania tidak datang dan kukira hanya makan malam biasa.”Masuk sekarang,” titah Tuan.Alih-alih masuk, aku justru menangis. Air mata yang kutahan tumpah ruah hingga make upku berantakan. Tuan Hamiz menggendongku seperti bayi yang baru lahir ke kamar hotel. Aku didudukkan di pinggir ranjang, sedangkan Tuan Hamiz menelpon seseorang.Tok, tok, tok.Tuan Hamiz membuka pintu dan mengatakan pada seorang wanita memakai seragam serba hitam. Tak lama, wanita itu datang dan membersihkan make up yang sudah longsor. Wanita itu menata ulang wajahku hingga kembali terlihat bagus. Kupandangi Tuan Hamiz, lelaki itu tersenyum.”Tuan, Nyonya tidak bisa memakai sepatu heels karena sedang hamil,” ujar wanita itu. ”Jadi saya mengganti sepatu Nyonya agar lebih nyaman dan tidak membahayakan saat berjalan.””Baik, terima kasih.”Tuan Hamiz lagi-lagi memintaku untuk menggandeng lengannya. Tanganku yang kecil seakan pas di sana dan tanpa kusadari, hatiku merasa nyaman.Sepanjang pesta berlangsung, Tuan Hamiz membawaku di sampingnya. Bahkan saat tamunya bertanya siapa aku, Tuan Hamiz berkata jika aku istrinya. Aku tidak ingin berharap banyak, akan tetapi sikap Tuan Hamiz sering membuatku harus mempertahankan harapan dan semakin berandai. Aku yang merasa lelah terlalu lama berdiri meminta untuk duduk.”Duduk di sini, biar saya yang menyambut tamu.” Kemudian Tuan Hamiz menghilang di antara kerumunan.Kue-kue lucu di depanku membuat seleraku tergugah. Kuambil satu muffin coklat dan memakannya perlahan.”Jangan mimpi terlalu tinggi untuk jadi nyonya Hamiz!”Aku sontak tersedak mendengar suara Dania. Ternyata wanita ular ini sudah duduk di depanku sambil berpangku tangan.”Awalnya aku nggak mimpi, tapi sejak aku tau kamu bohongin Tuan Hamiz, mimpiku harus terwujud,” jawabku sambil tersenyum sinis.Plaak!”Ah! Apa yang kamu lakuin ke saya? Kenapa tiba-tiba kamu nampar saya? Apa salah saya?”Mataku melotot karena Dania membuat skenario murahan. Jelas-jelas dirinya sendiri yang menampar pipinya hingga merah. Kenapa menyalahkan aku? Kulihat sekeliling, orang-orang justru mengumpat seolah benar aku yang melakukan.”Apa ...?” Aku bertanya-tanya memandangi semua orang. Lalu kupandangi Dania yang tersenyum sinis. Aku berdiri di hadapannya dan kutampar berkali-kali mulutnya hingga berdarah.”Tamparanku jadi kenyataan, kan, Dania?””Harusnya kamu sadar posisimu apa. Jangan karena kamu saya perkenalkan sebagai istri, sikapmu jadi seenaknya!” bentak Tuan Hamiz padaku.Ibu diam tidak membelaku karena menurut ibu, jika aku memang bersalah, tidak ada pembelaan meski aku anaknya. Tapi aku memang tidak bersalah dan ibu belum mengetahui apa yang sebenarnya. ”Tapi saya nampar Dania karena dia sudah memfitnahku lebih dulu, Tuan. Dia--”Praaang! Makanan yang tersaji di meja makan jatuh berhamburan karena Tuan Hamiz menarik penutup meja. Aku tidak takut, masih teguh pendirian jika aku memang benar. Tuan Hamiz maju dan wajahnya ia dekatkan padaku. Tangannya mencengkram lenganku erat dan aku yakin setelah ini akan ada tanda biru kehijauan di sana.”Sadar posisimu. Kamu masih anak dari seorang pembantu,” ucapnya lirih, namun terasa sangat panas di telinga.Aku mendongak agar saling bertatapan dengan Tuan Hamiz. ”Benar, Tuan. Saya adalah anak seorang pembantu. Seharusnya, saat saya dan ibu akan pergi dari rumah mewah Tuan. Tu
Ternyata untuk berdamai dengan diri sendiri itu sangat sulit. Pertemuan dengan Tuan Hamiz dan berakhirnya aku sekarang hamil anaknya sukar kuterima. Aku tengah duduk menatap jalanan yang basah akibat gerimis. Melihat orang-orang berjingkat menyebrang jalan agar celana dan bajunya tidak terciprat membuatku nyaman.Orang-orang yang di jalanan setidaknya memiliki tujuan, sedangkan aku? Entah apa tujuanku sejak menjadi ibu hamil di usiaku yang baru 20 tahun. Aku memiliki cita-cita, tapi apa harus kukubur? Aku terlalu malu kembali kuliah karena sebentar lagi perutku tidak bisa disembunyikan.Apa kata teman-temanku? Ya, agaknya aku terlalu risau dengan pandangan orang terhadapku. Apa yang harus kuceritakan? berawal dari seandainya dan menjadi begini, begitu? Itu memalukan.Aku memang sedang menenangkan diri di sini, menikmati udara pagi yang dingin sambil meneguk kopi. Keributan yang terjadi di rumah membuatku muak, karena keributan seperti itu akan kembali terulang sampai aku melahirkan na
”Kamu udah bangun? Aku udah bikinin kamu nasi goreng. Dimakan, ya, Sayang. Ibu sebentar lagi pulang dari pasar. Aku harus ke kantor karena ada beberapa masalah.”Tangannya mengusap rambut, tapi yang berantakan justru hatiku. Jantungku kembali berulah. Ah! Rasanya aku ingin berteriak.”Pipi kamu merah,” imbuh Tuan Hamiz sebelum menghilang dari pintu. Bahkan Tuan Hamiz tersenyum sampai matanya menyipit. Aku masih terpaku meski Tuan Hamiz sudah menghilang.Dari saya ke aku. Ada apa ini? Kenapa sikapnya sangat berbeda, tidak kaku seperti biasanya. Kuraba dada yang berdetak kencang untuk memastikan di dalam sana jantungku tidak mengalami serangan. Perutku yang kini berulah. Di dalam sana, perutku minta diisi makanan. Teringat nasi goreng hasil masakan Tuan Hamiz membuatku penasaran. Segera saja aku ke luar kamar untuk mencicipi seenak apa buatan Tuan Hamiz.Kubuka tudung saji dan terlihat nasi goreng dengan dua telur ceplok di atasnya. Di samping piring terdapat catatan kecil bertinta mera
”Kamu udah wudhu, Sayang? Jangan sentuh aku, ya,” canda Tuan Hamiz.Suamiku ini tampak tampan, menawan. Memakai sarung hitam dan baju muslim berwarna merah marun. Kulitnya yang putih terlihat semakin bersih. Wajahnya masih sedikit basah karena baru mengambil wudhu.Tuan Hamiz sendiri yang bilang akan mengimami aku dan ibu. Hal yang tidak kusangka, Tuan Hamiz bisa melakukannya. Aku tersenyum kaku melihatnya tengah memakai kopiah.”Aku ambil air wudhu dulu,” jawabku sambil berdiri dari ranjang.”Sayang. Aku ambil air wudhu dulu, Sayang,” ralat Tuan Hamiz menatapku dengan alis berkerut.”Aku ambil air wudhu dulu, Mas Hamiz.” Tuan Hamiz tersenyum dan mengiyakan. Tangannya hampir mengusap rambutku, tapi segera kuingatkan jika ia sudah berwudhu.”Gemes denger kamu bilang Mas. Ya udah, Mas tunggu di luar ya.”Tanpa menjawab, aku segera ke kamar mandi untuk berwudhu. Selesai berwudhu, ponselku berdering berkedip-kedip menampilkan nomor tak dikenal di layar. Kuabaikan karena ibu dan Tuan Hami
Niko. Dulu Niko pernah menyatakan perasaannya padaku, tapi aku tidak ada perasaan apa-apa padanya. Aku tidak tahu juga, Niko akan menunggu jawaban dariku sampai 9 tahun lamanya.”Selama itu, harusnya kamu tau jawabannya, Nik,” candaku sambil tersenyum. Niko duduk di hadapanku, sedikit berjongkok. ”Aku pengen denger jawaban dari kamu, tapi jangan sekarang. Aku bakal pastiin, kamu bakal ubah jawaban kamu. Kita bakal sering ketemu.””Tapi aku ....””Aku pergi dulu. Dah!”Belum kujawab tuntas jika sudah bersuami, tapi Niko lebih dulu berlalu. Kuberdiri, merasa sudah siang dan pasti Tuan Hamiz sudah pergi ke kantor. Saat hendak menengok ke belakang, Tuan Hamiz tengah berdiri dengan pakaian rapi sambil berkacak pinggang. ”Dari mana aja kamu? Siapa cowok tadi?”Aku menatapnya sekilas, tanpa ada gairah untuk menjawab. Aku melangkah lebar tidak peduli Tuan Hamiz mengekor di belakang. Berkali-kali Tuan Hamiz memanggil sampai lalu lalang orang memandang ke arahnya dan arahku. Aku tetap melanju
Badanku menggigil duduk di depan meja makan, berhadapan dengan wajah garang ibu. Sejak pelarianku dan ibu dari kampung, baru kali ini aku melihat wajah ibu yang semarah ini hingga menamparku. ”Diam dan jangan ungkit-ungkit tentang bapak!” Ibu memandangku tanpa berkedip, nada bicaranya terselip kemarahan. ”Nggak bisakah kamu bahagiain ibu sedikit aja, Alana? Cukup diam di sini, layani Tuan Hamiz jadi istri yang baik. Kamu malah apa? Pengen balik ke kampung? Nanggung malu?”Ibu berdiri, mengitari meja makan. Aku sudah menunduk sambil meringis memegangi pipi. Hatiku sakit diperlakukan seperti ini oleh ibu.”Urusan Tuan Hamiz di luaran, itu urusannya. Mau dia pacaran sama Dania, atau siapa, ya terserah dia. Yang terpenting kamu dikasih uang bulanan gede, rumah mentereng, nggak miskin.” ”Ibu!” Ucapan ibu sudah kelewatan. Ibu seolah menjelma menjadi orang lain sejak tinggal di rumah ini. Aku tidak bisa membendung tangis. Kasihan anak yang ada di kandunganku, calon ibunya tidak bahagia.”
Tiga hari setelah perawatan, wajahku mulai terlihat berbeda. Aku tersenyum di depan cermin dan berjanji akan memperlakukan diriku dengan lebih baik lagi. Intinya, aku akan galau dalam keadaan cantik. Coba, sudah muka kusut terus galau? Tidak. Aku harus ikut mengimbangi permainan Tuan Hamiz.Ngomong-ngomong soal Tuan Hamiz. Tiga hari lalu saat aku menyatakan perasaan tak resmiku, Tuan Hamiz menjadi aneh. Tidak seperti biasanya yang langsung marah-marah atau menggodaku. Mungkin Tuan Hamiz memang marah karena saldonya berkurang banyak dalam waktu sehari.Kemarin-kemarin, kusengaja melingkarkan tangan di leher Tuan Hamiz. Membisikkan sesuatu di telinganya agar lebih jelas didengar.”Tuan, cintaku bisa slow kalau Tuan mau. Tapi kalo Tuan maksa dicintai secara ugal-ugalan, aku mau saja,” kataku.Ya, sebenarnya aku tidak ingin centil begitu karena jantungku saja seolah berhenti saat bersitatap dengan wajah Tuan Hamiz. ”Baiklah. Cintai aku secara ugal-ugalan, ya, Alana,” sahut Tuan Hamiz.Se
Perutku terasa sangat penuh, tapi Tuan Hamiz terus saja menyuapi mulutku dengan daging sapi slice yang sudah direbus ke dalam kuah kaldu. Aku sudah menghabiskan beberapa jajanan yang Tuan Hamiz bawa ke mari. Kini bagian terakhir aku sedang menikmati shabu-shabu. ”Ini daging terakhir.” Tuan Hamiz menodongkan sumpit beserta daging. Aku menggeleng, melihat daging-daging ini mendadak mual. ”Kenyang, Mas. Kenyang sampe mual.” Bahkan menjawab saja sudah tidak berdaya.Tuan Hamiz tertawa dan mencubit pipiku yang kanan kirinya masih penuh makanan. Lambungku seolah menjerit karena kekenyangan. Ibu melihat kami sambil tersenyum senang. ”Ya udah, ini diminum.” Tuan Hamiz memberikanku ocha dingin. Makanan di mulutku akhirnya mendarat di lambung. Mungkin untuk beberapa hari ke depan aku harus hibernasi karena lambungku sudah penuh. ”Kamu mau nggak aku ajak ke suatu tempat?” tawar Tuan Hamiz.”Aku kayaknya udah susah jalan deh, Mas. Kenyang banget aku.” Wajahku mengiba.Tuan Hamiz mengacak ramb