Share

4.

Malam ini Tuan Hamiz berpakaian rapi. Rambutnya ia sisir klimis dan lehernya memakai dasi berwarna merah tua. Jas yang dipakainya sangat bagus dipadu padankan dengan kulitnya yang bersih.

Apa Tuan Hamiz akan menghadiri pesta? Karena jika hanya ke kantor, menurutku terlalu berlebihan.

”Saya mau dinner sama Dania. Kalo kamu ngantuk, tidur saja lebih dulu.”

Pertanyaanku terjawab. Ingin rasanya kukatakan jika Dania tengah menemani anaknya yang sakit di ICU. Aku hanya mengiyakan, karena meminta Tuan Hamiz agar tidak pergi pun percuma.

Aku memilih keluar kamar saja dan ke dapur, hendak mengiris beberapa buah-buahan. Tuan Hamiz mengekor di belakang, seakan melihatku hendak apa karena membuka kulkas. Akhirnya aku berbalik karena merasa canggung diperhatikan begitu.

”Tuan mau saya buatin sesuatu?” tanyaku.

Tuan Hamiz menggeleng, justru mengambil buah yang hendak kumakan. Tuan Hamiz mengirisnya dan menaruh di piring lalu diletakkan di depanku. Tuan Hamiz berlalu begitu saja setelah membuatku kebingungan dengan sikapnya.

Ponselnya yang ada di meja bergetar, menampilkan nama Dania dengan emoticon love. Alay sekali! Aku bermaksud untuk tidak menguping, tapi pembicaraan Tuan Hamiz masih lolos hingga ke telingaku.

”Sayang, dinnernya ditunda ya. Mami sakit, Sayang.”

Aku hanya berkomat-kamit karena Dania berbohong dan itu tandanya besar kemungkinan Tuan Hamiz belum tahu jika Dania memiliki seorang anak. Tuan Hamiz nampak lunglai dan berjalan malas ke kamar. Aku tersenyum mengetahui suamiku tidak jadi bertemu dengan pacarnya.

”Pake ini!”

Ha, apa ini? Aku segera menoleh melihat Tuan Hamiz menyodorkan box berwarna silver berbentuk hati padaku. Kubuka box itu dan ternyata dress berwarna hitam, senada dengan jaz tuan Hamiz.

”Tuan, ini milik Dania, kan? Aku--”

”Pake ini! Kita makan di luar.”

Ketus sekali nada bicaranya. Bibirku mengerucut karena kesal ia membuatku seperti barang cadangan. Akhirnya aku ke kamar dan kupakai dress darinya. Menonton tutorial make up di sosial media agar tidak terlihat kucel mengenakan dress mahal ini. Lagi pun, kenapa Tuan Hamiz harus repot-repot membelikan aku kosmetik sebanyak ini hingga memenuhi meja rias? Apa Tuan Hamiz ternyata ada hati padaku? Sepertinya tidak mungkin.

Ibu mengetuk pintu dan kupersilahkan masuk. ”Sini biar ibu bantu catok rambut dan make up.”

Tanpa kujawab, ibu sudah mengambil catok rambut di laci. Karena ibu pernah bekerja di salon, ibu paham bagaimana mencatok dengan baik. Curly hair tapi hanya di bagian bawahnya saja. Aku merasa seperti disulap menjadi orang berbeda.

”Em, Bu.” Aku ingin menanyakan sesuatu padanya karena mungkin saja ibu tahu. ”Apa ibu tau kalo pacar Tuan Hamiz sudah punya anak?”

Ibu mengernyit, mungkin berusaha mengingat. ”Dulu nyonya Sarah juga pernah nyinggung soal ini ke Tuan Hamiz. Tapi Tuan Hamiz bilang Dania belum pernah nikah, apa lagi punya anak. Kenapa, Lana?”

”Tadi ....”

Bug!

”Sudah apa belum?!”

Pintu dibuka kencang oleh Tuan Hamiz membuatku dan ibu terkejut. Tuan Hamiz mengambil langkah lebar, menelisik wajahku, kemudian menarik tanganku agar mengikuti langkahnya. Saat sampai di pintu, aku kebingungan karena tidak memiliki sepatu yang pantas untuk kupakai dengan dress ini. Masa iya aku harus memakai sneakers? Akhirnya kupakai flat shoes saja dan segera mengekori Tuan Hamiz. Tidak apa-apalah, karena flat shoesku masih senada dengan dress yang kupakai.

Sepanjang jalan Tuan Hamiz hanya diam. Tidak mengajakku bicara atau memakiku seperti saat di rumah nyonya. Oh, bahkan aku baru menyadari jika Tuan Hamiz belum pulang ke rumah sejak aku tinggal di sini.

Setengah jam menempuh perjalanan, alih-alih ke restoran, ternyata mobil Tuan Hamiz berhenti di depan hotel. Jantungku cukup berdegup kencang karena semakin masuk, banyak sekali orang-orang berpenampilan glamor yang masuk ke ruangan sama.

”Jangan bikin saya malu,” ucap Tuan Hamiz tepat di telingaku. ”Di sini semua adalah kolega saya. Dan adanya kamu di sini, karena mereka tau kamu adalah istri saya. Kamu paham?”

”Sayang, kenapa nggak nunggu aku? Aku kan minta kamu tunggu dua jam karena nemenin mami.”

Aku dan Tuan Hamiz menoleh, bahkan sebelum kujawab ucapan Tuan Hamiz. Dania ternyata datang, memakai long dress berwarna hitam gemerlap.

”Maaf, Tuan. Lebih baik saya yang pergi dari sini biar nggak bikin Tuan malu. Saya permisi.”

Aku tergesa-gesa meninggalkan ruangan ini hingga perutku terasa ngilu. Sampai di dekat resepsionis, tanganku ada yang memegangnya membuatku berhenti.

”Pakai ini.” Tuan Hamiz tengah merunduk dan membuka sepatuku dan mengganti dengan sepatu yang lebih tinggi berwarna hitam.

”Tuan ....” Air mataku sudah berkumpul, siap kapan saja untuk meluncur ke pipi melongsorkan bedak. Aku benar-benar sedih, sungguh. Kukira Dania tidak datang dan kukira hanya makan malam biasa.

”Masuk sekarang,” titah Tuan.

Alih-alih masuk, aku justru menangis. Air mata yang kutahan tumpah ruah hingga make upku berantakan. Tuan Hamiz menggendongku seperti bayi yang baru lahir ke kamar hotel. Aku didudukkan di pinggir ranjang, sedangkan Tuan Hamiz menelpon seseorang.

Tok, tok, tok.

Tuan Hamiz membuka pintu dan mengatakan pada seorang wanita memakai seragam serba hitam. Tak lama, wanita itu datang dan membersihkan make up yang sudah longsor. Wanita itu menata ulang wajahku hingga kembali terlihat bagus. Kupandangi Tuan Hamiz, lelaki itu tersenyum.

”Tuan, Nyonya tidak bisa memakai sepatu heels karena sedang hamil,” ujar wanita itu. ”Jadi saya mengganti sepatu Nyonya agar lebih nyaman dan tidak membahayakan saat berjalan.”

”Baik, terima kasih.”

Tuan Hamiz lagi-lagi memintaku untuk menggandeng lengannya. Tanganku yang kecil seakan pas di sana dan tanpa kusadari, hatiku merasa nyaman.

Sepanjang pesta berlangsung, Tuan Hamiz membawaku di sampingnya. Bahkan saat tamunya bertanya siapa aku, Tuan Hamiz berkata jika aku istrinya. Aku tidak ingin berharap banyak, akan tetapi sikap Tuan Hamiz sering membuatku harus mempertahankan harapan dan semakin berandai. Aku yang merasa lelah terlalu lama berdiri meminta untuk duduk.

”Duduk di sini, biar saya yang menyambut tamu.” Kemudian Tuan Hamiz menghilang di antara kerumunan.

Kue-kue lucu di depanku membuat seleraku tergugah. Kuambil satu muffin coklat dan memakannya perlahan.

”Jangan mimpi terlalu tinggi untuk jadi nyonya Hamiz!”

Aku sontak tersedak mendengar suara Dania. Ternyata wanita ular ini sudah duduk di depanku sambil berpangku tangan.

”Awalnya aku nggak mimpi, tapi sejak aku tau kamu bohongin Tuan Hamiz, mimpiku harus terwujud,” jawabku sambil tersenyum sinis.

Plaak!

”Ah! Apa yang kamu lakuin ke saya? Kenapa tiba-tiba kamu nampar saya? Apa salah saya?”

Mataku melotot karena Dania membuat skenario murahan. Jelas-jelas dirinya sendiri yang menampar pipinya hingga merah. Kenapa menyalahkan aku? Kulihat sekeliling, orang-orang justru mengumpat seolah benar aku yang melakukan.

”Apa ...?” Aku bertanya-tanya memandangi semua orang. Lalu kupandangi Dania yang tersenyum sinis. Aku berdiri di hadapannya dan kutampar berkali-kali mulutnya hingga berdarah.

”Tamparanku jadi kenyataan, kan, Dania?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status