”Harusnya kamu sadar posisimu apa. Jangan karena kamu saya perkenalkan sebagai istri, sikapmu jadi seenaknya!” bentak Tuan Hamiz padaku.
Ibu diam tidak membelaku karena menurut ibu, jika aku memang bersalah, tidak ada pembelaan meski aku anaknya. Tapi aku memang tidak bersalah dan ibu belum mengetahui apa yang sebenarnya.”Tapi saya nampar Dania karena dia sudah memfitnahku lebih dulu, Tuan. Dia--”Praaang!Makanan yang tersaji di meja makan jatuh berhamburan karena Tuan Hamiz menarik penutup meja. Aku tidak takut, masih teguh pendirian jika aku memang benar. Tuan Hamiz maju dan wajahnya ia dekatkan padaku. Tangannya mencengkram lenganku erat dan aku yakin setelah ini akan ada tanda biru kehijauan di sana.”Sadar posisimu. Kamu masih anak dari seorang pembantu,” ucapnya lirih, namun terasa sangat panas di telinga.Aku mendongak agar saling bertatapan dengan Tuan Hamiz. ”Benar, Tuan. Saya adalah anak seorang pembantu. Seharusnya, saat saya dan ibu akan pergi dari rumah mewah Tuan. Tuan biarkan saja kami. Menurut Tuan saya sangat bahagia diberi rumah sebesar ini, tapi hati saya harus teriris setiap harinya?”Tuan Hamiz justru tertawa hingga meninggalkan gema. Jas yang ia pakai sudah dilepas, tersisa kemeja yang lengannya sudah digulung hingga siku. Tuan Hamiz memandangku, tatapannya teramat kesal, bahkan mungkin benci. Tuan Hamiz masuk ke kamar tanpa ada perbincangan yang layak, sedangkan Ibu semakin menampilkan wajah penuh tanya, namun aku sudah malas bercerita.”Alana bantu, Bu.”Aku berjongkok, memunguti serpihan gelas dan piring yang pecah. Ibu masih memandangku penuh tanya, tapi ibu masih belum bertanya. Aku tahu, ibu hanya menunggu saat yang tepat karena saat ini kepalaku masih sangat panas.**Entah jam berapa, aku terbangun karena merasa kandung kemihku penuh. Kulihat sekeliling, bukan lagi aku di ruang tamu tidur di sofa panjang, melainkan berada di kamar dengan Tuan Hamiz.Huek!Mual yang tiba-tiba datang dan membuatku teramat pusing. Aku bersusah payah ke kamar mandi untuk membuat kandung kemihku kosong. Aku masih heran mengapa Tuan Hamiz harus membuat rumah di mana kamarnya sudah seperti lapangan bola. Aku sudah mual dan harus kesusahan karena jarak ke kamar mandi lumayan.Sudah berkali-kali aku menahan mual. Tubuhku sangat lemas kali ini hingga aku duduk di lantai yang terasa sangat dingin. Baru kusadari, bajuku juga sudah ganti dengan baju santai.Huek!Kupijat pelipisku, pusing sekali.”Mau ke mana?”Aku menoleh dan mendapati Tuan Hamiz berjongkok di depanku. Aku menggeleng dan mendorongnya agar menjauh. Mengingat kata-katanya, aku kembali kesal. Wajahnya yang tampan, rusak karena semua itu. Bingung juga aku, kenapa dulu berandai-andai sebelum tidur tentang Tuan Hamiz.Mual ini datang lagi, tapi kandung kemihku sudah benar-benar penuh. Aku berusaha berdiri menuju kamar mandi. Tuan Hamiz membantuku berjalan dan membukakan pintu. Aku diam saja daripada harus mengompol di sini.”Alana! Kamu nggak pa-pa di dalam?”Panggilan dari Tuan Hamiz. Aku sangat pusing. Mual yang kurasa sangat menyiksa. Pintu terbuka, Tuan Hamiz melihatku bersandar di dekat pintu dan segera menggendongku.”Tuan, jangan buat saya berharap. Saya bisa salah paham kalau Tuan terus menerus begini.” Mataku terpejam dan tanganku memijit pelipis. ”Tuan, aku mual nyium bau parfum di bajumu, Tuan.”Lelaki ini justru mendengkus, tapi aku semakin mual. Tuan Hamiz membuka bajunya dan berakhir bertelanjang dada. Mualku berangsur-angsur berhenti, Tuan Hamiz berdecak.”Apa itu emang bayiku? Harusnya bau ayahnya itu bau favoritnya,” ujar Tuan Hamiz. Dahinya berkerut.”Saya nggak mau berdebat, Tuan.” Aku memunggunginya dan kembali tidur.***Matahari menyingsing, menembus jendela hingga membuatku terbangun. Mataku membesar karena tangan Tuan Hamiz melingkar di pinggangku. Kuambil ponsel untuk mengabadikan momen langka ini. Aku tersenyum melihat hasil jepretanku.Aku lebih baik mandi dan membuat sarapan. Namun setelah mandi, rambutku masih digulung di dalam handuk. Mataku kembali membesar saat baru saja membuka pintu kamar, di sofa sudah ada Dania. Kamarku memang berada di lantai bawah dan ketika kubuka pintu, akan segera bertemu dengan ruang tamu.”Mana Hamiz?” tanya Dania.”Tuan Hamiz masih tidur.”Tanpa kuhiraukan lagi, aku ke dapur untuk membuat pancake. Dania membuka pintu kamar, aku diam saja dibanding mendapat ucapan yang tidak mengenakkan lagi.Aku tidak tahu apa yang terjadi di dalam sana. Tapi menghitung sudah 10 menit Dania di dalam, pikiranku menjadi bercabang. Ibu mendatangiku dari arah belakang.”Kenapa, Alana? sini biar ibu saja yang bikin.” Ibu mengambil alih mengaduk tepung.”Ada pacar Tuan, Bu, di dalam kamar.”Tanpa menjawab apa pun, ibu berlari ke arah kamar sambil menarik tanganku. Di kamar kulihat Dania tengah ikut berbaring di samping Tuan Hamiz.”Maaf, Mbak Dania. Ini rumah putri saya, tolong pergi dari sini.”Aku melebarkan mata mendengar ibu mengusir Dania. Aku yakin Dania mendengar ucapan ibu, tapi memilih diam justru semakin mengeratkan pelukan.”Mbak Dania, tolong pergi dari sini. Jika ingin bertemu, Mbak bisa meminta Tuan Hamiz bertemu di luar,” imbuh Ibu.”Sayang, bangun. Babu-babu itu ngusir aku,” keluh Dania, membuatku ingin menyeretnya keluar.Pada akhirnya Tuan Hamiz meregangkan tubuh lalu menarik Dania berdiri sejajar dengan dirinya. Ibu maju ke hadapan Tuan Hamiz.”Tuan, saya harap tuan nggak ingkar janji.” Setelah mengatakan itu, ibu keluar dari kamar.”Apanya yang harus diingkari?”Nyonya Sarah! Nyonya Sarah datang bersama oma. Kini semua orang berkumpul dalam satu kamar, bahkan ibu harus mengurungkan niatnya untuk keluar.”Nyonya, dalam perjanjian yang tertulis, Hamiz akan menjadi suami putri saya sampai putri saya melahirkan. Dan sebelum saya ke mari, Hamiz pun sudah berjanji pada saya, jika tidak akan membawa Dania ke mari karena rumah dan seisinya sudah beralih nama Alana,” ucap ibu tegas. Aku justru baru mengetahui ini.Nyonya Sarah tertawa sambil bertepuk tangan seolah apa yang ibu katakan lucu. Padahal aku tidak mengetahui di mana letak lucunya.”Kamu masih sama seperti dulu, Arumi,” sahut Nyonya menyebut nama ibu. ”Kamu pikir bisa menguasai Hamiz seperti kamu yang menggoda suami saya diam-diam? Ya, pantas, sih. Buah jatuh selalu nggak jauh dari pohonnya.”Kepalaku mulai pening kali ini mendengar celoteh Nyonya Sarah. Tuan Hamiz menarik tangan Dania agar keluar dari kamar, sedangkan aku masih menatap ibu bergantian menatap Nyonya.”Saya nggak menggoda Tuan Hamiz, Nyonya. Kalau saya menggoda Tuan, untuk apa saya memilih kabur beberapa hari yang lalu?” Aku mencoba menjelaskan.”Dan menerima tawaran setelah memiliki rumah ini dan seisinya? Halah. Orang miskin selalu melakukan segala cara agar naik tahta,” jawab Nyonya menyela ucapanku.”Nyonya, saya--””Diam kamu, Alana!”Aku terkejut mendengar bentakan keras dari Tuan Hamiz. Ia berjalan ke arahku dengan rahang mengeras. Tuan mengangkat tangannya, sedangkan aku menunduk. Apakah aku akan ditampar lagi?Ternyata untuk berdamai dengan diri sendiri itu sangat sulit. Pertemuan dengan Tuan Hamiz dan berakhirnya aku sekarang hamil anaknya sukar kuterima. Aku tengah duduk menatap jalanan yang basah akibat gerimis. Melihat orang-orang berjingkat menyebrang jalan agar celana dan bajunya tidak terciprat membuatku nyaman.Orang-orang yang di jalanan setidaknya memiliki tujuan, sedangkan aku? Entah apa tujuanku sejak menjadi ibu hamil di usiaku yang baru 20 tahun. Aku memiliki cita-cita, tapi apa harus kukubur? Aku terlalu malu kembali kuliah karena sebentar lagi perutku tidak bisa disembunyikan.Apa kata teman-temanku? Ya, agaknya aku terlalu risau dengan pandangan orang terhadapku. Apa yang harus kuceritakan? berawal dari seandainya dan menjadi begini, begitu? Itu memalukan.Aku memang sedang menenangkan diri di sini, menikmati udara pagi yang dingin sambil meneguk kopi. Keributan yang terjadi di rumah membuatku muak, karena keributan seperti itu akan kembali terulang sampai aku melahirkan na
”Kamu udah bangun? Aku udah bikinin kamu nasi goreng. Dimakan, ya, Sayang. Ibu sebentar lagi pulang dari pasar. Aku harus ke kantor karena ada beberapa masalah.”Tangannya mengusap rambut, tapi yang berantakan justru hatiku. Jantungku kembali berulah. Ah! Rasanya aku ingin berteriak.”Pipi kamu merah,” imbuh Tuan Hamiz sebelum menghilang dari pintu. Bahkan Tuan Hamiz tersenyum sampai matanya menyipit. Aku masih terpaku meski Tuan Hamiz sudah menghilang.Dari saya ke aku. Ada apa ini? Kenapa sikapnya sangat berbeda, tidak kaku seperti biasanya. Kuraba dada yang berdetak kencang untuk memastikan di dalam sana jantungku tidak mengalami serangan. Perutku yang kini berulah. Di dalam sana, perutku minta diisi makanan. Teringat nasi goreng hasil masakan Tuan Hamiz membuatku penasaran. Segera saja aku ke luar kamar untuk mencicipi seenak apa buatan Tuan Hamiz.Kubuka tudung saji dan terlihat nasi goreng dengan dua telur ceplok di atasnya. Di samping piring terdapat catatan kecil bertinta mera
”Kamu udah wudhu, Sayang? Jangan sentuh aku, ya,” canda Tuan Hamiz.Suamiku ini tampak tampan, menawan. Memakai sarung hitam dan baju muslim berwarna merah marun. Kulitnya yang putih terlihat semakin bersih. Wajahnya masih sedikit basah karena baru mengambil wudhu.Tuan Hamiz sendiri yang bilang akan mengimami aku dan ibu. Hal yang tidak kusangka, Tuan Hamiz bisa melakukannya. Aku tersenyum kaku melihatnya tengah memakai kopiah.”Aku ambil air wudhu dulu,” jawabku sambil berdiri dari ranjang.”Sayang. Aku ambil air wudhu dulu, Sayang,” ralat Tuan Hamiz menatapku dengan alis berkerut.”Aku ambil air wudhu dulu, Mas Hamiz.” Tuan Hamiz tersenyum dan mengiyakan. Tangannya hampir mengusap rambutku, tapi segera kuingatkan jika ia sudah berwudhu.”Gemes denger kamu bilang Mas. Ya udah, Mas tunggu di luar ya.”Tanpa menjawab, aku segera ke kamar mandi untuk berwudhu. Selesai berwudhu, ponselku berdering berkedip-kedip menampilkan nomor tak dikenal di layar. Kuabaikan karena ibu dan Tuan Hami
Niko. Dulu Niko pernah menyatakan perasaannya padaku, tapi aku tidak ada perasaan apa-apa padanya. Aku tidak tahu juga, Niko akan menunggu jawaban dariku sampai 9 tahun lamanya.”Selama itu, harusnya kamu tau jawabannya, Nik,” candaku sambil tersenyum. Niko duduk di hadapanku, sedikit berjongkok. ”Aku pengen denger jawaban dari kamu, tapi jangan sekarang. Aku bakal pastiin, kamu bakal ubah jawaban kamu. Kita bakal sering ketemu.””Tapi aku ....””Aku pergi dulu. Dah!”Belum kujawab tuntas jika sudah bersuami, tapi Niko lebih dulu berlalu. Kuberdiri, merasa sudah siang dan pasti Tuan Hamiz sudah pergi ke kantor. Saat hendak menengok ke belakang, Tuan Hamiz tengah berdiri dengan pakaian rapi sambil berkacak pinggang. ”Dari mana aja kamu? Siapa cowok tadi?”Aku menatapnya sekilas, tanpa ada gairah untuk menjawab. Aku melangkah lebar tidak peduli Tuan Hamiz mengekor di belakang. Berkali-kali Tuan Hamiz memanggil sampai lalu lalang orang memandang ke arahnya dan arahku. Aku tetap melanju
Badanku menggigil duduk di depan meja makan, berhadapan dengan wajah garang ibu. Sejak pelarianku dan ibu dari kampung, baru kali ini aku melihat wajah ibu yang semarah ini hingga menamparku. ”Diam dan jangan ungkit-ungkit tentang bapak!” Ibu memandangku tanpa berkedip, nada bicaranya terselip kemarahan. ”Nggak bisakah kamu bahagiain ibu sedikit aja, Alana? Cukup diam di sini, layani Tuan Hamiz jadi istri yang baik. Kamu malah apa? Pengen balik ke kampung? Nanggung malu?”Ibu berdiri, mengitari meja makan. Aku sudah menunduk sambil meringis memegangi pipi. Hatiku sakit diperlakukan seperti ini oleh ibu.”Urusan Tuan Hamiz di luaran, itu urusannya. Mau dia pacaran sama Dania, atau siapa, ya terserah dia. Yang terpenting kamu dikasih uang bulanan gede, rumah mentereng, nggak miskin.” ”Ibu!” Ucapan ibu sudah kelewatan. Ibu seolah menjelma menjadi orang lain sejak tinggal di rumah ini. Aku tidak bisa membendung tangis. Kasihan anak yang ada di kandunganku, calon ibunya tidak bahagia.”
Tiga hari setelah perawatan, wajahku mulai terlihat berbeda. Aku tersenyum di depan cermin dan berjanji akan memperlakukan diriku dengan lebih baik lagi. Intinya, aku akan galau dalam keadaan cantik. Coba, sudah muka kusut terus galau? Tidak. Aku harus ikut mengimbangi permainan Tuan Hamiz.Ngomong-ngomong soal Tuan Hamiz. Tiga hari lalu saat aku menyatakan perasaan tak resmiku, Tuan Hamiz menjadi aneh. Tidak seperti biasanya yang langsung marah-marah atau menggodaku. Mungkin Tuan Hamiz memang marah karena saldonya berkurang banyak dalam waktu sehari.Kemarin-kemarin, kusengaja melingkarkan tangan di leher Tuan Hamiz. Membisikkan sesuatu di telinganya agar lebih jelas didengar.”Tuan, cintaku bisa slow kalau Tuan mau. Tapi kalo Tuan maksa dicintai secara ugal-ugalan, aku mau saja,” kataku.Ya, sebenarnya aku tidak ingin centil begitu karena jantungku saja seolah berhenti saat bersitatap dengan wajah Tuan Hamiz. ”Baiklah. Cintai aku secara ugal-ugalan, ya, Alana,” sahut Tuan Hamiz.Se
Perutku terasa sangat penuh, tapi Tuan Hamiz terus saja menyuapi mulutku dengan daging sapi slice yang sudah direbus ke dalam kuah kaldu. Aku sudah menghabiskan beberapa jajanan yang Tuan Hamiz bawa ke mari. Kini bagian terakhir aku sedang menikmati shabu-shabu. ”Ini daging terakhir.” Tuan Hamiz menodongkan sumpit beserta daging. Aku menggeleng, melihat daging-daging ini mendadak mual. ”Kenyang, Mas. Kenyang sampe mual.” Bahkan menjawab saja sudah tidak berdaya.Tuan Hamiz tertawa dan mencubit pipiku yang kanan kirinya masih penuh makanan. Lambungku seolah menjerit karena kekenyangan. Ibu melihat kami sambil tersenyum senang. ”Ya udah, ini diminum.” Tuan Hamiz memberikanku ocha dingin. Makanan di mulutku akhirnya mendarat di lambung. Mungkin untuk beberapa hari ke depan aku harus hibernasi karena lambungku sudah penuh. ”Kamu mau nggak aku ajak ke suatu tempat?” tawar Tuan Hamiz.”Aku kayaknya udah susah jalan deh, Mas. Kenyang banget aku.” Wajahku mengiba.Tuan Hamiz mengacak ramb
Sedari tadi malam, aku belum ke luar kamar. Tuan Hamiz pun belum kembali sejak semalam. Aku tidak tahu juga Tuan Hamiz pergi untuk apa dan tidak mau tahu juga. Hanya saja, saat Dania semalam ke mari dan menjambak rambutku. Kulihat Tuan Hamiz langsung menarik Dania dan pergi dengan mobil Dania. Tuan Hamiz tidak mengirimkan pesan. Mungkin sekarang ia tengah menikmati dunianya bersama Dania. Lagi pula, yang Tuan cintai pun adalah Dania, bukan aku. Memikirkan semuanya membuatku lapar, padahal aku kira aku sudah punya cadangan makanan. Kubuka pintu setelah semalaman suntuk di dalam. Ibu yang lagi duduk di sofa langsung menghampiriku. ”Hamiz nggak ngomong apa-apa?” tanya ibu. Aku terus melewati ibu menuju dapur hendak membuat susu dan sereal. Ibu ikut mengekor. Sejak di sini aku pun melihat sisi yang lain dari ibu. Ia menikmati semua ini. Mataku menatapnya melalui ekor mata. Wajah ibu cemas.”Nggak, Bu.””Makanya, kamu harus bisa bikin Hamiz betah di rumah. Kalo diapa-apain itu mau! Jan