Share

5.

”Harusnya kamu sadar posisimu apa. Jangan karena kamu saya perkenalkan sebagai istri, sikapmu jadi seenaknya!” bentak Tuan Hamiz padaku.

Ibu diam tidak membelaku karena menurut ibu, jika aku memang bersalah, tidak ada pembelaan meski aku anaknya. Tapi aku memang tidak bersalah dan ibu belum mengetahui apa yang sebenarnya.

”Tapi saya nampar Dania karena dia sudah memfitnahku lebih dulu, Tuan. Dia--”

Praaang!

Makanan yang tersaji di meja makan jatuh berhamburan karena Tuan Hamiz menarik penutup meja. Aku tidak takut, masih teguh pendirian jika aku memang benar. Tuan Hamiz maju dan wajahnya ia dekatkan padaku. Tangannya mencengkram lenganku erat dan aku yakin setelah ini akan ada tanda biru kehijauan di sana.

”Sadar posisimu. Kamu masih anak dari seorang pembantu,” ucapnya lirih, namun terasa sangat panas di telinga.

Aku mendongak agar saling bertatapan dengan Tuan Hamiz. ”Benar, Tuan. Saya adalah anak seorang pembantu. Seharusnya, saat saya dan ibu akan pergi dari rumah mewah Tuan. Tuan biarkan saja kami. Menurut Tuan saya sangat bahagia diberi rumah sebesar ini, tapi hati saya harus teriris setiap harinya?”

Tuan Hamiz justru tertawa hingga meninggalkan gema. Jas yang ia pakai sudah dilepas, tersisa kemeja yang lengannya sudah digulung hingga siku. Tuan Hamiz memandangku, tatapannya teramat kesal, bahkan mungkin benci. Tuan Hamiz masuk ke kamar tanpa ada perbincangan yang layak, sedangkan Ibu semakin menampilkan wajah penuh tanya, namun aku sudah malas bercerita.

”Alana bantu, Bu.”

Aku berjongkok, memunguti serpihan gelas dan piring yang pecah. Ibu masih memandangku penuh tanya, tapi ibu masih belum bertanya. Aku tahu, ibu hanya menunggu saat yang tepat karena saat ini kepalaku masih sangat panas.

**

Entah jam berapa, aku terbangun karena merasa kandung kemihku penuh. Kulihat sekeliling, bukan lagi aku di ruang tamu tidur di sofa panjang, melainkan berada di kamar dengan Tuan Hamiz.

Huek!

Mual yang tiba-tiba datang dan membuatku teramat pusing. Aku bersusah payah ke kamar mandi untuk membuat kandung kemihku kosong. Aku masih heran mengapa Tuan Hamiz harus membuat rumah di mana kamarnya sudah seperti lapangan bola. Aku sudah mual dan harus kesusahan karena jarak ke kamar mandi lumayan.

Sudah berkali-kali aku menahan mual. Tubuhku sangat lemas kali ini hingga aku duduk di lantai yang terasa sangat dingin. Baru kusadari, bajuku juga sudah ganti dengan baju santai.

Huek!

Kupijat pelipisku, pusing sekali.

”Mau ke mana?”

Aku menoleh dan mendapati Tuan Hamiz berjongkok di depanku. Aku menggeleng dan mendorongnya agar menjauh. Mengingat kata-katanya, aku kembali kesal. Wajahnya yang tampan, rusak karena semua itu. Bingung juga aku, kenapa dulu berandai-andai sebelum tidur tentang Tuan Hamiz.

Mual ini datang lagi, tapi kandung kemihku sudah benar-benar penuh. Aku berusaha berdiri menuju kamar mandi. Tuan Hamiz membantuku berjalan dan membukakan pintu. Aku diam saja daripada harus mengompol di sini.

”Alana! Kamu nggak pa-pa di dalam?”

Panggilan dari Tuan Hamiz. Aku sangat pusing. Mual yang kurasa sangat menyiksa. Pintu terbuka, Tuan Hamiz melihatku bersandar di dekat pintu dan segera menggendongku.

”Tuan, jangan buat saya berharap. Saya bisa salah paham kalau Tuan terus menerus begini.” Mataku terpejam dan tanganku memijit pelipis. ”Tuan, aku mual nyium bau parfum di bajumu, Tuan.”

Lelaki ini justru mendengkus, tapi aku semakin mual. Tuan Hamiz membuka bajunya dan berakhir bertelanjang dada. Mualku berangsur-angsur berhenti, Tuan Hamiz berdecak.

”Apa itu emang bayiku? Harusnya bau ayahnya itu bau favoritnya,” ujar Tuan Hamiz. Dahinya berkerut.

”Saya nggak mau berdebat, Tuan.” Aku memunggunginya dan kembali tidur.

***

Matahari menyingsing, menembus jendela hingga membuatku terbangun. Mataku membesar karena tangan Tuan Hamiz melingkar di pinggangku. Kuambil ponsel untuk mengabadikan momen langka ini. Aku tersenyum melihat hasil jepretanku.

Aku lebih baik mandi dan membuat sarapan. Namun setelah mandi, rambutku masih digulung di dalam handuk. Mataku kembali membesar saat baru saja membuka pintu kamar, di sofa sudah ada Dania. Kamarku memang berada di lantai bawah dan ketika kubuka pintu, akan segera bertemu dengan ruang tamu.

”Mana Hamiz?” tanya Dania.

”Tuan Hamiz masih tidur.”

Tanpa kuhiraukan lagi, aku ke dapur untuk membuat pancake. Dania membuka pintu kamar, aku diam saja dibanding mendapat ucapan yang tidak mengenakkan lagi.

Aku tidak tahu apa yang terjadi di dalam sana. Tapi menghitung sudah 10 menit Dania di dalam, pikiranku menjadi bercabang. Ibu mendatangiku dari arah belakang.

”Kenapa, Alana? sini biar ibu saja yang bikin.” Ibu mengambil alih mengaduk tepung.

”Ada pacar Tuan, Bu, di dalam kamar.”

Tanpa menjawab apa pun, ibu berlari ke arah kamar sambil menarik tanganku. Di kamar kulihat Dania tengah ikut berbaring di samping Tuan Hamiz.

”Maaf, Mbak Dania. Ini rumah putri saya, tolong pergi dari sini.”

Aku melebarkan mata mendengar ibu mengusir Dania. Aku yakin Dania mendengar ucapan ibu, tapi memilih diam justru semakin mengeratkan pelukan.

”Mbak Dania, tolong pergi dari sini. Jika ingin bertemu, Mbak bisa meminta Tuan Hamiz bertemu di luar,” imbuh Ibu.

”Sayang, bangun. Babu-babu itu ngusir aku,” keluh Dania, membuatku ingin menyeretnya keluar.

Pada akhirnya Tuan Hamiz meregangkan tubuh lalu menarik Dania berdiri sejajar dengan dirinya. Ibu maju ke hadapan Tuan Hamiz.

”Tuan, saya harap tuan nggak ingkar janji.” Setelah mengatakan itu, ibu keluar dari kamar.

”Apanya yang harus diingkari?”

Nyonya Sarah! Nyonya Sarah datang bersama oma. Kini semua orang berkumpul dalam satu kamar, bahkan ibu harus mengurungkan niatnya untuk keluar.

”Nyonya, dalam perjanjian yang tertulis, Hamiz akan menjadi suami putri saya sampai putri saya melahirkan. Dan sebelum saya ke mari, Hamiz pun sudah berjanji pada saya, jika tidak akan membawa Dania ke mari karena rumah dan seisinya sudah beralih nama Alana,” ucap ibu tegas. Aku justru baru mengetahui ini.

Nyonya Sarah tertawa sambil bertepuk tangan seolah apa yang ibu katakan lucu. Padahal aku tidak mengetahui di mana letak lucunya.

”Kamu masih sama seperti dulu, Arumi,” sahut Nyonya menyebut nama ibu. ”Kamu pikir bisa menguasai Hamiz seperti kamu yang menggoda suami saya diam-diam? Ya, pantas, sih. Buah jatuh selalu nggak jauh dari pohonnya.”

Kepalaku mulai pening kali ini mendengar celoteh Nyonya Sarah. Tuan Hamiz menarik tangan Dania agar keluar dari kamar, sedangkan aku masih menatap ibu bergantian menatap Nyonya.

”Saya nggak menggoda Tuan Hamiz, Nyonya. Kalau saya menggoda Tuan, untuk apa saya memilih kabur beberapa hari yang lalu?” Aku mencoba menjelaskan.

”Dan menerima tawaran setelah memiliki rumah ini dan seisinya? Halah. Orang miskin selalu melakukan segala cara agar naik tahta,” jawab Nyonya menyela ucapanku.

”Nyonya, saya--”

”Diam kamu, Alana!”

Aku terkejut mendengar bentakan keras dari Tuan Hamiz. Ia berjalan ke arahku dengan rahang mengeras. Tuan mengangkat tangannya, sedangkan aku menunduk. Apakah aku akan ditampar lagi?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status