Share

2.

”Kamu serius sama keputusan kamu, kan, Alana?”

Ibu menggenggam tanganku. Matanya kembali mengeluarkan buliran kaca yang siap pecah. Bibirnya yang mulai keriput bergetar.

Aku mengangguk dan membalas genggaman tangannya. ”Semoga kita bisa lebih damai di desa, Bu.”

**

Ya, aku akhirnya menyerah hanya karena melihat Nyonya Sarah dan Dania membicarakan tentang pernikahan. Pesta seperti apa yang Dania inginkan. Gaun apa yang hendak dipakai. Makanan apa saja yang hendak disajikan untuk para tamu. Bulan madu di mana dan memiliki berapa anak. Mengingat itu semua hanya membuat perutku kembali kram.

Ya, aku kira akan semudah dua bulan ini bersabar. Nyatanya sulit. Tubuhku seperti terbakar melihat Tuan Hamiz mencumbu Dania di kamar yang menjadi saksi kebrutalan Tuan Hamiz padaku. Kamar di mana kehormatanku hilang.

Argh!

Tanpa sadar aku berteriak dan memukuli kepala. Aku depresi hingga terasa sekarat. Mungkin sopir taksi online menilaiku orang aneh. Aku tidak perduli. Ibu justru kembali menangis dan menangkap tanganku agar berhenti melakukan itu.

Terngiang-ngiang bagaimana tawa ria Dania. Terngiang pula ucapan Tuan Hamiz ketika aku berpamitan padanya.

”Cukup tau diri juga ya? Lain kali jangan mimpi terlalu tinggi!” cibir Tuan Hamiz. Tangannya tetap melingkar pada pinggang Dania. ”Tulis nomor rekening kamu, biar saya transfer semua biaya hidup selama setahun.”

Tenggorokanku saat itu benar-benar tercekat. Wajahnya yang tampan tidak memperlihatkan penyesalan. Aku bertekad untuk membencinya. Membencinya sebisaku.

”Saya bertekad untuk membesarkan anak ini sendiri tanpa uang darimu, Tuan. Silakan jalani kehidupan dengan bahagia,” jawabku.

Aku mundur beberapa langkah sambil menunduk untuk menyembunyikan wajah yang memerah menahan tangis.

”Tuan Hamiz ... meski anak ini ada dari kesalahan, tapi anak ini tetap suci. Semoga, Tuan benar-benar akan berbahagia.”

Aku segera berlari untuk memasukkan semua baju-bajuku ke dalam tas, lalu kucari ibu yang ternyata tengah melamun didekat jemuran baju. Aku memeluk ibu dan meminta pulang seperti kata-katanya kemarin.

Kini aku tengah berdiri di bus yang hendak membawaku ke kampung halaman. Kuperhatikan sekeliling, masih menginginkan jika Tuan Hamiz akan berubah mencintaiku dan tergesa datang memintaku kembali pulang.

”Mereka justru sangat bahagia, Alana. Sudah, ayo kita masuk.” Ibu meraih tanganku, menuntunku memasuki bus.

Di dalam bus aku hanya diam menunggu kapan sopir akan melajukan roda empat ini. Setengah jam agaknya berlalu, aku menutup mata mencoba tidur.

”Balik ke rumah!”

Suara ini ...

”Pulang ke rumah! Sudah ada perjanjian hitam di atas putih kalo kamu tinggal di rumah sampai anak itu lahir!”

Nada ketus yang kukenal. Kubuka mataku dan melihat ibu berdiri menampilkan wajah terkejut sepertiku. Tuan Hamiz menjulang tinggi hampir mengenai atap bus.

”Kamu tuli?” imbuh Tuan Hamiz lagi.

Wajahnya nampak tersiksa ada di sini. Tangannya menggenggam tanganku dan menariknya agar aku berdiri. Aku masih dilanda kebingungan karena ... mengapa Tuan Hamiz di sini dan menggenggam tanganku? Bahkan kami berlari karena tiba-tiba hujan turun.

Aku berhenti, melepaskan tanganku. ”Saya mau pulang kampung, Tuan. Tuan Hamiz nggak perlu memikirkan bagaimana bayi ini. Saya akan--”

”Cih. Menurut kamu saya ada di sini karena bayi itu? Perjanjian sudah dibuat. Janji adalah janji,” ujar Tuan Hamiz, suaranya meninggi seakan ia ingin aku mendengar dengan jelas di tengah hujan. ”Pulang sekarang!”

”Maaf, Tuan. Saya mau pulang ke kampung saja.” Aku berbalik badan, namun Tuan Hamiz menggendongku hingga otakku berhenti berpikir. Aku tidak ingin berharap lagi. Aku tidak ingin jatuh lagi atau sekedar mengagumi.

”Tuan! Izinkan saya pulang! Saya nggak menuntut apa-apa. Sobek saja kertas perjanjian itu. Saya mau pulang.”

Aku berteriak bahkan ibu memegangi lengan Tuan Hamiz untuk melepaskan aku. Tuan Hamiz membuka pintu mobil dan mendudukkan aku di kursi depan dekat dengannya. Ibu dan Tuan Hamiz di luar agaknya terlibat cekcok dan tidak lama mereka berdua masuk ke dalam dengan wajah sulit diartikan.

”Tuan!” panggilku.

”Diam!”

Bentakan Tuan Hamiz membuatku bungkam. Nyaliku ciut melihat rahangnya mengeras.

***

Apa ini? Aku bertanya-tanya karena aku dan ibu diturunkan di rumah bercat ungu kombinasi dengan warna putih. Tuan Hamiz melangkah lebih dulu dan membuka pintu. Ibu pun menggenggam tanganku dan membawaku masuk.

”Ini rumahmu. Rumah yang keluargaku janjikan,” ujar Tuan Hamiz. ”Setiap saat kamu bisa saya pantau. Dan sekarang kamu akan saya perlakukan seperti istri sampai anakmu lahir,” imbuhnya.

Belum sembuh kebingunganku, Tuan Hamiz berlari ke mobil dan mengeluarkan koper membawanya ke kamar.

”Selama itu juga, saya tinggal di sini.”

Aku menoleh pada ibu, namun wajahnya sama bingungnya denganku.

”Sudah, lebih baik kamu ganti baju. Nanti biar ibu masakin sesuatu, siapa tau di kulkas ada bahan makanan.”

Aku menuruti apa kata ibu. Tas yang kubawa segera kujinjing, namun aku tidak tahu harus ke kamar yang mana. Aku sekamar bersama Tuan Hamiz? Melihat wajahnya saja sekarang aku takut.

”Sudah saya bilang, kamu bakal saya perlakuin selayaknya seorang istri. Masuk dan rapiin bajumu di lemari. Bajumu juga basah, apa harus aku mandiin juga?”

Aku melotot mendengarnya. Bagaimana bisa sikapnya bisa berubah drastis begini? Kubuka tasku dan memasukkan baju, kemudian menghilang di balik kamar mandi. Ini benar-benar tidak masuk akal. Meski satu jam lalu aku berpikir Tuan Hamiz mendatangiku, tapi ketika Tuan datang, aku merasa akan lebih menderita lagi.

Kuambil napas dalam-dalam, kemudian keluar kamar mandi sambil mengendap. Tuan Hamiz tengah menyusun sesuatu di meja rias, melihatnya memakai celana sependek itu membuatku berteriak spontan.

”Apaan, sih! Kamu aja pernah liat,” katanya.

Mataku kembali melotot dengan bibir menganga. ”Kapan aku melihatnya? Aku justru hanya menangis saat itu.” Aku bergumam karena memang begitulah kenyataannya.

”Saya tau kamu suka saya dari lama. Mungkin menurut kamu, adanya kejadian ini cara cepat kamu dapetin saya,” ujar Tuan Hamiz sambil diiringi tawa.

Aku berbalik badan untuk membalas perkataannya, akan tetapi Tuan Hamiz ternyata sudah berdiri di dekatku hingga dahiku terbentur dadanya. Kuusap dahi dan Tuan Hamiz lagi-lagi hanya tertawa.

”Tuan, soal surat perjanjian. Lupain surat itu. Nggak pa-pa kalau Tuan Hamiz nikah sama Dania.” Aku membuka obrolan karena aku memang curiga setengah mati melihat sikapnya melunak begini. Tidak mungkin kan, Tuhan mengabulkan doaku secepat kilat?

Tuan Hamiz berdiri setelah duduk dari ranjang. Ia mendatangiku hingga aku tersudut di tembok. Aku yang setinggi bahunya harus mendongak jika ingin melihat wajah Tuan Hamiz.

”Saya memang berencana nikah sama Dania, tapi setelah urusan saya selesai karena Dania nggak mau dipoligami,” jawab Tuan Hamiz.

Aku merutuki diri karena telah bertanya, pada akhirnya aku kembali merasakan perih.

”Saya seorang lelaki yang tepat janji. Nggak masalah, hanya setahun. Dan selama itu, jangan jatuh cinta sama saya.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status