Saat berjalan-jalan mengitari tetangga di sekitar rumah, Bi Sumi melihat mobil juragan Basuki berhenti di depannya. Arumi ke luar dari mobil dan menggendong Arsen dari stroller. Selama ini, ia baru bisa melihat cucunya sedeka ini. Wajahnya sangat mirip dengan Hamiz, meski begitu, memiliki bibir dan mata seperti Alana. Wajahnya mewarisi Hamiz yang blasteran Arab.”Ma-maaf, Bu Arumi, saya mau pulang,” ucap Bi Sumi, kikuk. Arumi justru tidak mengindahkan ucapan Bi Sumi. Ia segera menggendong Arsen, sedangkan Bi Sumi mengekor di belakang. Ternyata Arumi menuju rumah Alana dan masuk begitu saja membuka gerbang yang tidak dikunci. Bi Sumi merasa tidak enak dengan Alana karena hal ini terjadi meski ia tidak memiliki bayangan begini. Rumah juragan Basuki ada di ujung desa dan tidak terbersit hal ini akan terjadi. Tangan Bi Sumi bergetar. Ia menaiki tangga menuju kamar Alana dan mengetuk pintu dengan tergesa. Pertama kali yang ia lihat adalah wajah Hamiz. Alis tebal Hamiz hampir menyatu men
Alana sudah bangun lebih dulu karena tangisan Arsen. Ia tengah menyusui di samping Hamiz yang tengah tidur. Ia pandangi wajah suaminya yang sedikit tertutup rambut, kembali mengagumi ukiran wajah sempurna Hamiz. ”Mama yakin, Nak, Tuhan menciptakan papa pasti dengan kebahagiaan juga,” gumam Alana.Arsen kembali tidur setelah kenyang, Alana yang kesulitan kembali tidur. Jika sudah bangun, ia akan kesusahan kembali memejamkan mata. Yang ia lakukan hanya, melihat wajah Hamiz dari dekat. Matanya yang lentik, alisnya yang tebal, semuanya tak luput dari pujian yang dilontarkan di hati Alana. Ia benar-benar masih mengagumi Hamiz sejak dulu. Tentang apa yang sudah terjadi, Alana hanya tersenyum mengingatnya.”Sekarang hanya ada kita, Mas.””Jangan liatin aku terus, nanti makin cinta,” ujar Hamiz, suaranya serak.Alana tersenyum. ”Emang udah cinta, Bapak Hamiz.”Hamiz menarik Alana pada pelukan, membawanya pada keindahan cinta yang selama ini mereka rindukan. Tanpa paksaan, tanpa tangisan. Ha
Niko tiba-tiba diam, memandang entah ke mana. Sandra melihat ponsel Niko yang menyala dan terdapat foto perempuan tengah tersenyum lebar. Perempuan itu berambut sebahu, namun dari wajahnya terlihat menyenangkan. Sandra semakin mendekat untuk melihat ponsel Niko, agar lebih jelas melihat potret wanita yang dijadikan wallpaper layar kunci. Niko mengambil ponselnya, Sandra mendengus.”Ngomong-ngomong, siapa itu, pacar kamu?” Sandra membereskan makanan karena Niko tidak mau menghabiskan sup buntut yang keasinan. Wajah Sandra berubah masam.”Apaan, sih,” ujar Niko. Ia risih karena Sandra masih orang lain menurutnya.Sedang bertanya-tanya, mata Sandra kian membesar karena ponsel Niko mendapat panggilan video dari wanita tadi. Ia mengeja nama kontak yang disematkan.”Kenapa?” Wajah Niko masam mengangkat telfon dari Alana. Sandra sedikit mengintip, melihat seorang wanita yang tengah tersenyum menatap Niko sedang berada di sebuah toko kue.”Kita ngobrol nanti di rumah kamu, gimana?” usul Al
Dania sudah diperbolehkan pulang. Jack mendorong kursi roda untuk membawa Dania, kali ini tidak ke apartemen akan tetapi ke rumah jack. Sepanjang Jack mendorong kursi rodanya, Dania hanya diam, pandangannya pun kosong seolah tidak memiliki jiwa. Guratan kurang tidur kentara di wajah cantik Dania.Sejauh ini, Jack belum memberikan sepucuk surat dari Hamiz. Melihat Dania yang sering mengigau memanggil nama Hamiz, membuatnya tidak tega. Ia beranggapan membawa Dania ke rumahnya akan menjadi pelipur dan lebih aman karena ada ibunya yang mengawasi.”Hei, Leo,” sapa Jack.Leo memberikan pelukan untuk Dania, namun tidak menerima balasan. Dania hanya diam, memandang Leo linglung. Kembali menangis, menangkup wajah.”Leo, Sayang. Leo ke rumah dulu ya bantuin nenek.””Kenapa mami nggak mau peluk Leo, Papi? Leo udah mandi, kok,” sahut bocah cilik itu, lugu.Jack menggenggam tangan Leo untuk ikut mendorong kursi roda. Leo tersenyum senang, Jack tidak begitu merasa bersalah karena putranya kembali c
Seluruh dunia Dania serasa berhenti. Langkahnya yang terbiasa melangkah bersama Hamiz beriringan, kini satu langkah itu berbelok karena memiliki tujuan yang berbeda. Dania masih di sana, di rumah Sarah, menangisi Hamiz begitu sesak. Sedangkan Hamiz hanya membatu, tidak menyuruh Dania menghentikan tangis atau menjadi penawar.Bibir Dania bergetar sejak tadi. Berbagai kata permohonan sudah ia katakan, namun tidak ada yang menembus ke relung hati lelaki yang ia cinta. ”Aku harus apa, Miz, sekarang,” kata Dania. Hamiz menyuruh Dania untuk berdiri, berkali-kali ia mengatakan akan mengantar wanita itu pulang. Tidak ada respon berarti dari Dania, justru wanita itu tetap berlutut di hadapan Hamiz.”Kalo emang tau bakal begini, aku nggak bakal mau iyain kamu nikahin anak pembantu itu. Waktu itu ... hati kamu masih sempurna buat aku.” Kenang Dania. Seberapa larut pun dirinya meminta Hamiz datang, ia akan datang. Bahkan berhari-hari Hamiz akan tetap tinggal di apartemennya jika ia meminta. Da
”Maafkan orang tua kamu, agar kamu suatu saat lebih mudah menggapai maaf dari anakmu. Karena menjadi orang tua tidak mudah. Maafkan orang tuamu, meski mereka nggak sesuai seperti yang kamu bayangkan. Maafkan segala yang pernah terjadi di hidup kamu, di masa kecilmu. Orang tuamu pun pasti tidak menginginkan itu.”Alana meresapi ucapan Ustad Malik. Ia memang tengah mengikuti kajian karena Sarah sengaja mengundang ustad ke rumah untuk mengisi pengajian tahunan sembari membagi-bagikan sembako. Seolah relung hati Alana dapat dibaca hingga tema pengajian kali ini tentang orang tua. ”Salahkah aku?” gumamnya. Alana bertanya-tanya. Tidak ada yang ingin memiliki atau menjauh dari orang tua, jika tidak ada yang terjadi. Alana terlalu marah, sejak ibunya memaksa untuk tebal muka menjadi istri seorang Hamiz yang penting bergelimang uang, dan berujung amarahnya tak bisa ditanggulangi lagi saat ibunya menikah dengan Juragan Basuki.Orang yang dulu menjadi sumber kekuatan karena terlalu banyak duka
”Kamu mau souvenir apa nantinya, Alana? Biar mamah yang cari. Intinya, pernikahan kalian ini semuanya ditanggung mamah. Kalian cukup bilang mau dekorasi gimana dan siapa yang mau buat make up-in kamu. Oh iya, kamu ada nggak temen di sini buat jadi braidesmaid? Nanti bilang ke Pak Alex, asisten Oma, biar urusin pembuatan kainnya.”Alana dan Hamiz terkekeh melihat Sarah yang antusias menyelenggarakan pesta resepsi. Sedari tadi, Sarah mendikte Alana dengan pertanyaan seputar resepsi impian Alana. ”Kamu nanti sore fitting ke bunda Anne Avantie buat gaun pengantin sama kamu, ya, Miz? Pokoknya, kamu buat gaun pengantin sesuka kamu yang terpenting masih enak dipandang. Setelah kamu dapet referensinya, bilang mamah biar mamah juga tau selera kamu kali aja ada yang harus dikoreksi,” lanjut Sarah. Hamiz mengusap punggung ibunya sambil terkekeh. ”Mah, ambil napas dulu pelan-pelan. Mamah semangat banget, sih?”Sarah merentangkan tangan agar Alana berdiri dari sofa dan menyambut pelukan hangat b
”Aku harusnya udah masuk buat pemotretan, Miz, tapi Pak Dodo justru ngambil model lain nggak konfirmasi ke aku dulu,” keluh Dania. ”Aku nggak jadi pemotretan hari ini, padahal aku udah persiapin semuanya.”Hamiz memeluk Dania, mengusap punggung wanita ini agar lebih tenang. Dania sudah bangun pagi-pagi sekali seperti jadwal yang ditentukan oleh Pak Dodo untuk pemotretan busana musim panas kali ini. Akan tetapi, sesampainya ia ke studio, Pak Dodo justru menyuruh Dania pergi karena ada model lain yang menggantikannya.”Itu artinya, kamu yang udah cantik ini disuruh jalan-jalan sama aku,” hibur Hamiz. ”Ice cream?”Wanita itu mengangguk. Hamiz menggandeng tangan Dania untuk menjauhi studio foto menuju pantai. Sepanjang perjalanan Dania nampak murung, bahkan yang biasanya selalu memiliki cerita apa pun untuk menghidupkan suasana kini hanya diam. Dania kecewa, sudah lama ia mengidamkan pemotretan busana musim panas kali ini.Mobil Hamiz terparkir rapi, pintu mobil Dania dibuka oleh Hamiz un