»»»»
"Dari mana aja lo, baru pulang?" Cia tak mendengarkan dan langsung berjalan menuju lift untuk pergi ke kamarnya. Rumah Cia memanglah sangat besar. Ada 4 lantai yang terbagi menjadi beberapa ruangan. Termasuk ruang gym dan juga kolam renang. Dava Vergion, adalah Kakak tiri Cia. Mereka memang tidak pernah akur sejak kecil. Usia mereka tidak beda jauh, hanya selisih beberapa bulan. Dava lahir lebih dulu di bandingkan Cia. Namun, Cia tak pernah menganggap Dava sebagai saudaranya.
"Padahal besok sekolah, tapi jam segini baru balik!" Dava menggerutu. Cowok tinggi dengan manik abu-abu indah itu memang bukan asli orang Indoensia. Dava blasteran Inggris-Indonesia, yang mana, Ibunya adalah orang Inggris sedangkan Ayahnya asli dari Jakarta. Dava juga tidak lahir di Indonesia, tempat kelahirannya berada di Negara Australia, tentu saja itu di saat kedua orang tuanya sedang melakukan dinas di sana.
Dava orang yang sopan dan baik, walaupun kadang terkesan dingin. Namun, Dava sering perhatian pada Cia, walaupun perhatian itu di tolak mentah-mentah oleh sang adik tiri. Ayah Dava, yaitu Radith Abraham, menikah lagi dengan Ibunya Cia yang berstatus Janda semenjak 10 tahun yang lalu. Saat usia Dava dan Cia 7 tahun. Dava sangat senang ketika di beri tahu akan memiliki adik perempuan. Sayangnya, begitu dia bertemu dengan Cia, kesan pertama mereka sangat tidak baik, di mana Cia memukul kepala Dava dengan mainan yang dia miliki. Dava menangis kencang kala itu, tapi semua itu tidak memuat Dava membenci Cia, justru Dava semakin ingin mendekati adiknya. Sayangnya, Cia memasang dinding kokoh di sekitarnya semenjak 10 tahun yang lalu, Dava tidak bisa mendekat, atau bahkan berjalan berdampingan dengan Cia. Cara satu-satunya agar Dava bisa bicara dengan Cia adalah dengan mendebatnya dan membuat Cia marah.
»»»»
Pagi hari saatnya untuk berangkat ke sekolah. Dava sudah bersiap di atas motornya saat dirinya melihat mobil baru terparkir di garasi bawah. Dava tidak ingat bahwa Radith membeli mobil baru. Dava tau bahwa Ayahnya tidak terlalu suka dengan mobil sport, dan yang ada di hadapannya sekarang adalah jenis Lamborghini Urus yang Dava tau harganya mencapai 8,5 Milyar rupiah. Dava yakin, mobil itu bukan milik Ayahnya, karena untuk apa juga dia membelinya.
"Minggir!" Cia tiba-tiba muncul di sampingnya dan sudah siap dengan seragamnya. Rok yang terlalu pendek itu selalu membuat Dava kesal.
"Nggak usah pake rok aja Ci, sekalian!" Protes Dava.
"Suka-suka gue lah. Minggir, gue mau berangkat!" Cia membuka kunci mobil dengan remot. Dan saat itulah, Dava tau bahwa mobil itu milik Cia. Walaupun terlihat tidak perduli, Dava sebenarnya sangat perduli pada Cia, cowok manik abu itu selalu resah dan khawatir pada adiknya. Dia dan Cia di berikan uang Jajan yang cukup besar setiap bulannya oleh Radith. Mereka bahkan bisa membeli sebuah kapal kecil dengan uang jajan mereka.
"Lo ganti mobil lagi?"
"Terserah gue!" Cia masuk ke dalam mobil sebelum Dava bertanya lebih banyak hal padanya.
"Lo jual mobil yang kemaren?" Dava masih ingat, mobil berwarna merah yang kemarin di pakai Cia.
"Berisik!" Cia meninggalkan Dava yang masih tampak penasaran dengan mobil baru yang di kendari adiknya.
»»»»
Sesampainya di sekolah, Cia langsung berjalan menuju kelas. Siapa yang tidak tau Elcia, si preman sekolah yang sering membuat masalah. Bahkan, di sekolah, Cia sering dengar kalimat 'jangan liat matanya. Nanti lo di pukul.' Entah siapa yang menyebarkan rumor semacam itu di sekolah. Memangnya, Cia itu tukang pukul, memukul seseorang hanya karena mereka bertatapan. Sangat aneh.
Di sekolah, Cia tidak memiliki teman dekat, satupun. Entah itu pria, atau wanita. Bagi Cia, mereka hanyalah seekor lalat pengganggu yang akan membuat Cia dalam masalah.
"Pagi anak-anak!" Cia sudah duduk di kursinya. Menatap sang guru yang baru saja masuk ke dalam kelas.
"Pagi, Bu guru!" jawab para murid serempak.
"Cia, semua sudah mengumpulkan tugas, hanya kamu yang belum, sekarang apa lagi alasan kamu?" Cia membuka tasnya.
"Udah kok, Bu!" Cia berdiri, dengan langkah pasti berjalan ke depan kelas dan menyerahkan tugas miliknya pada Bu Mia, selaku guru Fisika di kelas itu.
"Bagus, lain kali, kerjakan tepat waktu. Yang lain mengerjakan tepat waktu. Hanya kamu yang selalu terlambat!"
"Iya, Bu!" Cia kembali duduk di kursinya. Namun sayangnya, baru saja ia duduk, ponsel miliknya bergetar menandakan ada pesan masuk. Cia membuka pesan itu.
'Ke belakang sekolah sekarang! Atau Nuca mati!'
Cia menggebrak meja dengan kencang. Matanya berkilat merah menahan amarah. Sudah sering dia di ancam, bukan sekali dua kali. Tetapi, baru kali ini ada yang mengancamnya tentang Nuca. Berani sekali orang ini!
"Cia, ada apa ..." belum selesai pertanyaan dari Mia sang guru Fisika. Cia sudah berlari keluar dari kelas, dengan cepat pergi ke arah belakang sekolah. Jika dia di ancam, Cia akan biasa saja, tapi ini Nuca.
"Udah gue duga!" Cia menatap dua orang yang berdiri sambil tersenyum ke arahnya.
"Dateng juga lo!" kata salah satunya. Cowok dengan rambut memanjang melewati telinga itu menatap dengan tatapan menantang pada Cia.
"Pasti, dia kan sayang banget sama anaknya!"
"Brengsek!" Tanpa menunggu lama. Cia berlari dan langsung menendang cowok dengan tindik di telinga yang langsung terjatuh ke atas rumput. "Ngomong sekali lagi, biar gue hajar lo!" Cia meninju wajah Dirga, cowok yang tadi mengirim pesan pada Cia.
"Bang*at!" Dirga mendorong Cia dengan cukup keras, hingga gadis itu terpental kebelakang. Hide, teman Dirga segera menyerang Cia, tapi Cia dengan cepat menghindar dan berhasil. Saat mereka kembali ingin baku hantam, seorang guru datang untuk melerai perkelahian. Dirga dan Hide berlari meninggalkan Cia yang masih berdiri mengatur napasnya yang tersengal.
"Cia! Kamu tidak apa-apa? Siapa mereka?" Cia menoleh dan menatap guru BK yang kebetulan lewat tadi, dia memang sedang berkeliling untuk mencari anak-anak yang melanggar aturan.
"Bukan apa-apa. Pak, gue cabut dulu!" Cia langsung berlari ke arah kelas untuk mengambil tasnya. Sebaiknya, dia pergi untuk menenangkan pikirannya.
Cia berhasil mengambil tas yang berada di dalam kelas tanpa harus bersusah payah. Dia tak takut pada guru, bahkan jika dia di hukum atau di scors dia malah senang. Walaupun, Mia sempat meneriaki dirinya, tapi hanya dengan satu tatapan tajam milik Cia, Mia langsung diam. Sudah jelas, Cia itu sangat sulit diatur, bahkan oleh guru sekalipun.
Cia masuk ke dalam mobil dan langsung membuat suara gaduh karena suara dari knalpot mobilnya. Satpam yang sedang membuka gerbang menoleh, Cia yang melihat itu langsung menerobos keluar begitu Gerbang selesai di buka, dan saat itu, sebuah mobil hammer h3 juga akan masuk, dan tak sengaja menyerempet mobil Cia. Suara berdecit keras terdengar karena Cia mengerem mobilnya dengan mendadak.
"Sial!" Cia segera keluar dari dalam mobil. Sebuah goresan panjang membekas di bagian samping hingga ke belakang mobilnya. Cia berjalan cepat menuju ke arah mobil yang menyerempetnya tadi.
"Keluar lo!" Cia menendang pintu mobil itu. Dan saat itulah, seorang cowok berparas korea muncul dari dalam mobil. "Lo bisa nyetir nggak sih!" Bentaknya tak terima.
"Lo yang salah, lo yang teriak!" Cowok itu dengan acuh mengambil tas dari bagian penumpang belakang, dan ingin pergi begitu saja. Namun, Cia langsung menendang betis si cowok dengan kencang, membuat cowok itu mengaduh kesakitan.
"Dasar nggak bertanggung jawab!" Cia terkekeh pelan.
"Lo mau gue ganti rugi? Berapa?"
"Sialan!"
««««
To be Continue .....
»»»»"Lo mau gue ganti rugi? Berapa?" Cowok itu mengambil dompet dari sakunya dan ingin mengambil uang dari sana."Sialan!" Cia memaki, "gue nggak butuh duit lo, waktu gue kebuang cuma ngadepin manusia kayak lo!" Cia mengulurkan kunci mobilnya pada cowok itu. Si cowok hanya diam dan menaikkan sebelah alisnya. "Lo bego? Benerin mobil gue sampe mulus kayak semula. Besok harus lo balikin!" Cia menarik tangan cowok itu dan meletakkan kunci mobilnya di sana. Dan segera, setelah itu menuju mobil miliknya untuk mengambil tas juga ponsel yang masih tertinggal di sana untuk memanggil ojek online, setidaknya kendaraan itu yang saat ini banyak berkeliaran di dekat sekolahnya.»»»» Cia menatap datar laptop di hadapannya. Seorang pria duduk di sampingnya dengan wajah dua kali lipat lebih datar dari Cia."Bang, lo yakin?" Cia menata
»»»» Dava bangun untuk bersekolah pagi ini. Dan seperti biasa, cowok itu akan mengecek keberadaan sang adik yang memang sangat sulit dia temui, walaupun mereka tinggal dalam satu rumah yang sama."Pagi, Sayang. Udah mau berangkat?" Diana, ibu tiri Dava menyapnya. Dava tersenyum membalas sapaan sang Mama."Ma, Cia belum turun?""Dia udah berangkat tadi pagi." Dava tampak kecewa. Sejujurnya, waktu yang paling tepat untuk melihat Cia itu hanya saat pagi hari. Karena, setiap malam, Cia selalu pulang larut. Tak ada yang bisa melarang Cia di rumah, tentu saja aksi melompat dari lantai 2 rumah itu menjadi peringatan untuk mereka, bahwa Cia adalah orang yang nekat. Bisa saja Cia akan kabur dari rumah dan tidak akan kembali, jika mereka melarang keras kelakuan Cia selama ini."Ya udah, Ma. Dava berangkat dulu!" Diana tersenyu
»»»» Bolos adalah hal biasa bagi Cia. Tetapi, pagi ini, setelah perkelahiannya dengan cowok bernama Yejun, Cia malas keluar. Mood untuk membolosnya jadi berkurang, alhasil, Cia memilih untuk tidur di kelas, dengan membaringkan kepalanya di atas meja. Saat guru datang, Cia masih terlelap dalam tidurnya, hingga sang guru yang baru saja masuk segera mendekati Cia. Guru itu menggeleng pelan, lalu memukul pelan kepala Cia dengan buku paket di tangannya."Kamu ke sekolah niat belajar apa niat tidur!" Tegur sang guru. Cia yang tidurnya terganggu dengan malas bangun sambil menguap."Apa sih, Pak! Ganggu aja!" Cia mengucek sebelah matanya, dan saat itu, tatapannya beradu dengan manik mata hitam milik seorang gadis yang berdiri di depan kelas."Hari ini, kita kedatangan murid baru!" Guru laki-laki bernama Firman itu berjalan kembali ke arah mejanya. "Silahkan perkenalkan diri kamu!""Terima kasih, Pak!" Gadis dengan kuncir kuda itu tersenyum dengan semangat. "Hallo semua, Nama gue Azkian
»»»» Cia berangkat sekolah dengan tenang seperti biasa. Setelah sampai di kelas, suasana yang tadinya berisik langsung tenang. Para teman sekelas Cia bisa menebak bahwa saat ini, mood Cia sedang tidak baik. Dan itu, bisa berakibat tidak baik juga untuk mereka, jadi mereka memilih untuk diam dan sibuk dengan kegiatan masing-masing."Pagi, Cia!" sapa Kian ceria. Semua yang ada di kelas kembali terkejut dengan perilaku Kian. Kenapa bisa, dengan mudahnya Kian menyapa Cia dalam keadaan seperti itu?Cia tanpa menjawab segera meninggalkan kelas, dan dengan bodohnya, Kian mengikuti kemana Cia pergi. Cia sedang malas berdebat atau semacamnya, tingkat kejahilannya berkurang pagi ini. Tetapi, justru itu yang membuat aura mencekam dari dirinya, jika Cia tidak jahil, maka di pastikan dia sedang dalam mode brutal.Kian yang masih mengikuti langkah Cia tampak bingung, si
»»»» Dava hanya bisa menatap Aqila yang berjalan menjauhinya dalam diam. Aqila akan pergi ke Jepang hari ini, dan itu sudah membuatnya sedih. Dava melangkah pergi dari bandara setelah memastikan pesawat yang di tumpangi Aqila lepas landas. Dengan langkah kaki malasnya, Dava menuju sepeda motor yang terparkir apik di parkiran bandara.Pulang adalah keinginan Dava setelah mengantar Aqila, sebelum dia melihat mobil Cia yang tengah melaju di depannya. Dava sebenarnya takut pada Cia, takut jika Cia akan pergi selamanya dari kehidupan keluarga mereka, jika Dava ikut campur dengan urusan Cia. Namun, rasa penasaran cowok itu sudah pada batasnya. Cia sudah terlalu banyak menyembunyikan sesuatu darinya dan keluarga mereka. Dava akan mencari tau perlahan tentang adiknya yang sejak dulu selalu menyembunyikan apapun darinya."Dia ngapain?" Dava menghentikan laju sepeda motornya
»»»» Cia duduk malas di balik kursi kemudi. Wajahnya datar sambil menahan amarah yang sudah ada di ubun-ubun. "Turun sekarang!" Cia menatap cowok di sampingnya itu dengan geram, "gue bilang, turun sekarang!" Bentaknya penuh penekanan."Nggak, sebelum lo jelas in apa yang lo lakuin di sini dan siapa Om-Om yang sama lo barusan!""Itu nggak ada urusannya sama lo, jadi sekarang lo turun, atau lo gue gebukin di sini!""Gue pilih yang kedua, asal lo jawab pertanyaan gue!" Cia melotot. Ingin sekali dia memukuli wajah Dava yang menyebalkan itu."Serah lo!" Cia akhirnya diam. Menyalakan mesin mobilnya dan segera meninggalkan parkiran hotel. Dava hanya duduk diam di samping Cia, tak tau apa yang Cia lakukan di hotel tadi. Yang jelas, Dava merasa harus mengawasi Cia mulai sekarang."Lo mau kemana?" Cia tak
»»»» Cia membuka matanya, bersiap mandi untuk sekolah. Saat gadis itu selesai bersiap dan ingin keluar dari kamar, Cia di kejutkan dengan kehadiran Dava yang sudah menunggunya, dengan satu kalimat menyebalkan bagi Cia. "Gue nebeng ya!" "Siapa lo!" Cia langsung pergi meninggalkan Dava. "Motor gue di bengkel." "Terus?" "Ya ... gue nebeng sama lo lah!" "Ogah!" "Ayolah, Ci. Sekali ini doang! Ya mungkin pulang juga!" "Taxi banyak!" Cia memencet tombol lift yang berada di depannya. Saat terbuka, ada Radith di sana. Bersama Diana yang juga sudah siap dengan baju kerjanya. "Gue maunya sama lo!" Cia tak menjawab lagi. Memilih diam sambil menunggu lift sampai di lantai dasar. Dia tak suka berdekatan dengan Radith, apalagi Diana. &nbs
»»»» Suara dari seberang telfon masih terdengar. Namun, Cia sudah ingin mengakhiri panggilan itu. Ceramah panjang dari Ferry sudah dia dengar semenjak kemarin, Cia sangat pusing mendengarnya. "Besok malem gua ada acara!" Tanpa maksud tujuan, Cia mengatakan hal itu. 'Acara apa? Paling juga nongkrong sama Rajawali!' "Enggak!" Elak Cia ketus. 'Terus?' "Acara makan malem keluarga!" Cia mengutuk dirinya dalam hati. Namun, beberapa saat kemudian, ide brilian merasuki otaknya. 'Boong banget! Udah nggak usah alasan. Pokoknya, besok malem kita berangkat, jam 8 lo harus udah sampe bandara.' "Gue nggak boong bang! Besok gue vc deh kalo nggak percaya!" 'Gue nggak percaya, bisa aja lo boongin gue, nyewa orang buat jadi sodara sama bokap lo. Gue kan nggak pernah ket