Salis menjemput Aghni di rumah Ustadzah Muniroh, teman baiknya. Wanita itu guru privat baca tulis Al-Quran untuk Aghni yang juga sangat pandai dalam Seni Baca Alquran."Bu, mohon maaf sebelumnya. Aghni sempat menanyakan kepada saya, tentang ayahnya. Saya kira Aghni mengalami kebingungan, Bu," ujar Ustadzah Muniroh saat mereka menyempatkan untuk bercakap-cakap terlebih dahulu."Tanya apa memangnya, Ustadzah?" Salis merasa was-was saat mendengar kata 'ayahnya', ada apa lagi dengan Mas Hikam sampai Aghni memilih untuk bicara dengan orang lain."Aghni menanyakan mengapa ayahnya memiliki istri dua. Maaf, Bu," ujar Ustadzah Muniroh dengan wajah prihatin. Namun Salis sama sekali tidak terkejut, Ia justru tertawa kecil."Saya sudah beberapa kali mendapat pertanyaan itu dari Aghni, Ustadzah," ujarnya menjawab pertanyaan tak terucap perempuan di hadapannya."Lalu Bu Salis jawab apa?" Tentu saja respon Salis membuat Ustadzah Muniroh heran."Sebenarnya, yang Aghni inginkan bukanlah jawaban, Ustad
"Sekarang insya Alloh sudah tidak jajan lagi, Ustadzah. Saya yakin Mas Rizki sudah taubat." Salis cepat-cepat meluruskan pembicaraannya tentang Rizki. Ustadzah Muniroh hanya mengangguk-angguk tanpa memberikan penilaian apapun."Setelah cerai, dua tahun kemudian, rujuk. Nah, remaja yang dulu menjalin hubungan gelap dengan Mas Rizki ini mengejar-ngejar lagi." Salis melanjutkan ceritanya."Lalu cerai lagi dengan Bu Fatma?" tebak Ustadzah Muniroh."Tidak, malah Fatma minta Mas Rizki buat nikahin anak itu yang sedang menderita GERD parah." Salis mengangguk yakin."Hah? Gimana itu, Bu?"Ucapan Salis cukup membuat Ustadzah Muniroh terkejut, seorang istri yang membolehkan suaminya menikahi selingkuhannya memang kejadian yang sangat langka. Tetapi di sisi lain Salis yakin bahwa pada saat itu Fatma juga tidak punya pilihan lain demi kesembuhan Fani."Seriusan, Ustadzah. Tapi akhirnya meninggal setelah akad, hari itu juga," ujar Salis dengan prihatin "Ya Alloh, begitu rupanya awal mula Pak Rizk
Dengan tangan bergetar, Rizki membuka buku diary almarhumah istrinya. Kertasnya sudah mulai usang namun tulisannya masih bisa dibaca. Ketika Ia mengintip sekilas, nama dirinya tertulis di beberapa halaman. Rizki menghela nafas dengan dada yang terasa sesak. "Aku akan membacanya nanti," tekadnya. Khawatir akan merusak konsentrasinya pada pekerjaan hari ini, Ia pun memaksakan diri memasukkan buku diary itu ke dalam tasnya. Pintunya diketuk dari luar, Rizki berdeham berkali-kali untuk mengumpulkan kembali fokusnya sebelum mempersilakan karyawannya masuk."Hari ini banyak telepon masuk, Pak. Sepertinya banyak yang tertarik untuk kembali bekerjasama dengan Bapak," ujar sekretarisnya. "Oh iya? Alkhamdulillah, akhirnya perusahaan kita merangkak ke depan lagi," tanggap Rizki sembari menerima sodoran map dari sekretarisnya."Ini apa, beda lagi dari yang kemarin?" ucap Rizki membuka map di tangannya."Iya, Pak. Beda lagi." Sekretarisnya mengangguk."Oke," gumam Rizki singkat. "Tandatangani s
Hubungan Febi dan Mas Alfian masih berjalan meskipun Febi belum sepenuhnya menerima lelaki itu."Dulu aku pernah gabung di Lembaga Pendidikan Non Formal tapi sekarang sudah tidak lagi," gumam Mas Alvian."Kenapa?" Febi menanggapi singkat."Karena di sana aku jadi teringat Fani terus. Fani ikut program paket C supaya bisa daftar kuliah." Mas Alvian pun menceritakan masa lalunya, lebih tepatnya kenangannya dengan gadis itu.Febi menahan napas supaya bibirnya tidak kelepasan melontarkan umpatan. Lagi-lagi tentang Fani. Ia sedikit tahu bahwa dulu Mas Alvian adalah salah satu lelaki di kampus yang juga mengejar-ngejar Fani. Fani memang primadona kampus, tak hanya anak S1 yang mengenalnya, beberapa mahasiswa pascasarjana pun juga mengenalnya."Fani ikut paket C?" Febi bertanya dengan malas demi menunjukkan bahwa dirinya tidak mengabaikan lelaki di hadapannya yang tengah mengajaknya mengobrol."Ya, Ia 'kan nggak lulus SMA. Kayaknya kelas sebelas sudah keluar terus langsung pesantren." Dengan
Rizki merasa heran karena tumben sekali Hikam mengajaknya bertemu di kafe. Ia pun tiba lebih dulu demi menghormati kakak iparnya."Saat aku dan Salis mengantarkan Aghni survey asrama, aku bertemu dengan salah satu teman dari teman kerjaku. Kami tidak terlalu dekat, tapi Ia mengenalku dan aku mengenalnya, Ia seorang wanita," ujar Hikam sembari mengedarkan pandangannya. Rizki yang menyimak ucapan itu mencerna dengan saksama dan mencoba menebak arah topiknya. Tidak biasanya Hikam berbicara tentang perempuan, apalagi perempuan itu hanya teman dari teman kerjanya."Ia pembina asramanya Aghni, Mas?" tanya Rizki."Bukan, mungkin hanya pengurus catering, atau bahkan mungkin bukan siapa-siapa di sana. Tetapi yang jelas kami bertemu. Ia menanyakanmu." Hikam menoleh memandang Rizki."Hah, kok bisa Mas? Maksudnya apa?" Tentu saja ucapan Hikam membuat Rizki terkejut sekaligus bingung."Ia menanyakanmu apakah sudah menikah lagi atau belum," ujar Hikam kemudian."Ya belum lah, Mas. Emang Mas Hikam
"Bagaimana pertemuannya, Riz?" pesan Hikam saat Rizki baru saja akan menghidupkan mesin mobilnya."Mantap, Mas. Aku suka kepribadiannya. Ini baru lagi pulang, Mas," balas Rizki. Sebenarnya Ia ingin bicara lebih banyak tetapi khawatir akan mengganggu konsentrasinya.Rizki merasa lega setelah rasa penasarannya terpenuhi. Ia bisa pulang dan makan malam bersama anak-anaknya dengan lahap. Sesekali Ia bercakap-cakap bersama anaknya tentang sekolah mereka. Rupanya Itsna sudah sangat betah dengan lingkungan barunya di Tempat Penitipan Anak, Ia merengek tidak mau jika Rizki memindahkannya ke Taman Kanak-Kanak."Kalau boleh, aku nanti juga nggak mau naik ke SMP," ucap Ikhda sependapat dengan adiknya."Kakak, Nana, hidup itu selalu ada perubahan. Kita lah yang harus menyesuaikan dan mengembangkan diri. Karena kalau nggak mau, kita bakal kesusahan sendiri. Alloh tidak akan mengubah diri kita, kalau kita nggak ada usaha sendiri," ucap Rizki panjang lebar menasihati anak-anaknya.Saat Rizki tengah
Muniroh tersenyum lega saat Salis kembali datang untuk menjemput Aghni, Ia pun bisa membicarakan berdua tentang pertemuannya dengan Rizki."Kalau kepribadiannya, Ustadzah suka nggak?" tanya Salis. Muniroh mengangguk sebelum menjawab lebih jelas."Alkhamdulillah. Kalau saya ingat-ingat, Pak Rizki itu tipe orang yang mudah menyesuaikan diri dengan sekitar, Bu. Saya rasa itu sangat cukup untuk saya," ujar Muniroh. Ia ingat betul ketika lelaki itu baru saja datang, dirinya tengah membaca buku. Setelah memesan makanan, pembicaraan mereka pun tidak jauh-jauh dari hobi membaca. Semenjak melihat wajah Rizki secara langsung, Muniroh langsung mendapat kesan bahwa Rizki adalah orang yang cerdas. Ia sangat pandai menguasai lingkungan sekitarnya."Hmm, kalau itu mah memang keterampilan wajib yang harus dimiliki seorang pengusaha, Ustadzah. Mas Rizki 'kan pengusaha, tentu saja bisa menyesuaikan diri untuk sekadar ngobrol dengan siapapun," tanggap Salis nampak belum puas. "Saya 'kan baru ketemu sa
"Ibu sudah baca email yang barusan masuk?" Ucapan sekretarisnya membuat Putri mendongak, "Belum, Div. Kalau misal nggak penting-penting amat mending dihapus saja. Forward ke saya yang sekiranya penting, Div," ujar Putri menanggapi dengan santai. "Ini dari Pak Rizki, Bu." Diva mendekatkan wajahnya dan menyodorkan laptop, layar monitornya masih menayangkan isi email dari Rizki."Apa ini?" gumam Putri mengerutkan dahi mulai mencerna isi email tersebut. Rizki menyampaikan surat konfirmasi pembayaran pinjamannya ke email pribadi Putri dengan lampiran beberapa foto bukti. Tanpa pikir panjang, Putri pun meraih gagang telepon di depannya dan memencet rangkaian nomor lalu menunggu panggilannya diangkat."Hallo, ini Delta, Bu. Bisa tolong sambungkan ke Pak Rizki sekarang?" ucap Putri kepada penerima telepon di seberang sana.Putri menunggu beberapa saat dengan perasaan campur aduk, Ia sendiri tidak bisa mendefinisikan hal yang sebenarnya tengah dirasakan. Entah mengapa Ia gelisah ketika Rizk