"Ibu sudah baca email yang barusan masuk?" Ucapan sekretarisnya membuat Putri mendongak, "Belum, Div. Kalau misal nggak penting-penting amat mending dihapus saja. Forward ke saya yang sekiranya penting, Div," ujar Putri menanggapi dengan santai. "Ini dari Pak Rizki, Bu." Diva mendekatkan wajahnya dan menyodorkan laptop, layar monitornya masih menayangkan isi email dari Rizki."Apa ini?" gumam Putri mengerutkan dahi mulai mencerna isi email tersebut. Rizki menyampaikan surat konfirmasi pembayaran pinjamannya ke email pribadi Putri dengan lampiran beberapa foto bukti. Tanpa pikir panjang, Putri pun meraih gagang telepon di depannya dan memencet rangkaian nomor lalu menunggu panggilannya diangkat."Hallo, ini Delta, Bu. Bisa tolong sambungkan ke Pak Rizki sekarang?" ucap Putri kepada penerima telepon di seberang sana.Putri menunggu beberapa saat dengan perasaan campur aduk, Ia sendiri tidak bisa mendefinisikan hal yang sebenarnya tengah dirasakan. Entah mengapa Ia gelisah ketika Rizk
"Karyawanku pernah lihat Mas Rizki makan bareng perempuan di restoran ini," ujar Putri cukup membuat Rizki terkesiap. Rizki menelan makanannya kemudian menenggak air putih. Pertemuannya kali ini dengan Putri sebenarnya untuk membahas hutang Rizki yang masih setengah. "Ya, beliau Ustadzah Muniroh," ucap Rizki menjawab pertanyaan Putri yang dilontarkan secara tidak langsung. "Ustadzah?" Putri mengerutkan dahi seperti tidak percaya. "Kukira karyawan atau kliennya Mas Rizki," lanjut Putri."Bukan, kalau pengusaha, Kau sendiri pasti sudah tahu. Sekarang ini nggak banyak yang mau kerjasama sama aku, Mbak Put. Kau tahu sendiri lah, hutangku banyak," ujar Rizki sembari tertawa getir. "Iya sih, tapi emang apa salahnya sih. Lagian 'kan Mas Rizki sudah bangkit lagi sekarang." Putri mengedikkan bahu. Rizki hanya mengangguk-angguk mendengar ucapan Putri yang selalu membesarkan hatinya.Dalam hati Rizki ingin merahasiakan perihal perjodoha
"Nggak apa-apa, Mas. Ini tadi ada motor nyebrang," gumam Rizki. "Astaghfirulloh. Ya sudah aku matikan dulu telponnya," gumam Hikam. Panggilan pun dimatikan sepihak oleh Hikam.Keganjilan-keganjilan hari ini membuat Rizki tak bisa tidur nyenyak. Ia sangat penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi pada Putri dan Hikam. Namun, Ia tidak berhak mencampuri urusan rumah tangga mereka.Esok paginya ketika Rizki hendak berangkat ke kantor, Hikam mengirim pesan bahwa hari ini Ustadzah Muniroh akan menemuinya saat jam makan siang. Rizki terkesiap dan langsung menghubungi sekretaris untuk melonggarkan jadwalnya di siang hari."Kau bisa ke alamat ini 'kan, Riz?" Hikam mengirimkan screenshot lokasi. "Bisa, Mas," jawab Rizki tanpa pikir panjang, sejauh apapun Ia harus bisa.Seperti kata Hikam, Ia khawatir jika harapannya akan pupus jika dibiarkan berlama-lama. Ia sendiri juga harus mengejar wanita itu. Apa yang Rizki butuhkan di usia yang
"Pak Arman?" gumam Rizki terdengar jelas di telinga Muniroh."Pak Rizki kenal?" ucap Muniroh dengan suara sangat tercekat nyaris tak terdengar. Rizki berbalik menatap Muniroh dengan mengerutkan dahi seolah mengembalikan pertanyaannya. Perlahan, 'lelaki itu' datang mendekati meja mereka. Degup jantung Muniroh semakin kencang tak terkendali, Ia tak kuasa menyembunyikan badannya yang gemetar. "Pak Rizki, umur panjang ya kita bertemu di sini. Kebetulan saya juga mau makan siang," ujar Pak Arman dengan santai, menunjukkan pada Muniroh bahwa mereka sudah saling kenal dekat. "Oh, ini kami juga sedang makan siang. Tumben sekali Pak Arman sendirian, mari duduk sini saja, Pak." Rizki menarik satu kursi untuk duduk lelaki itu."Terima kasih, Pak. Kebetulan saja saya lewat sini, jadi sekalian makan siang. Review di internet sih katanya bagus, saya jadi penasaran." Pak Arman duduk kemudian memanggil waitress dengan isyarat tangan. "Habis
"Terima kasih atas kesempatannya, maksud kedatangan kami sekeluarga adalah untuk meminang putri tunggal Pak Omar, yang sudah saya kenal sejak beberapa bulan lalu. Saya meminang putri Bapak untuk menjadi pendamping hidup saya." Alvian bicara panjang lebar menyampaikan maksudnya.Hari ini Alvian akhirnya datang bersama keluarga kecilnya untuk melamar Febi setelah Ia dan Febi sepakat untuk serius menuju jenjang pernikahan. Tidak sia-sia perjuangan dan pengorbanannya, akhirnya gadis itupun luluh dan menerimanya. "Ya, saya terima maksud baik Nak Alvian. Tetapi apapun keputusannya nanti tetap ada di tangan anak saya. Toh, nantinya juga kalian berdua yang akan menjalani pernikahan ini 'kan?" Pak Omar menerima dengan baik maksud kedatangan Alfian. Alfian mengangguk yakin, sementara Pak Omar menoleh ke arah anaknya yang juga mengangguk. "Baik lah, lamaran Nak Alfian untuk menikahi anak saya, saya terima. Silakan dilanjutkan ta'arufnya," ujar Pak Omar.
Bilik 3×3 meter yang menjadi ruang kerja Muniroh kini terasa seperti labirin. Lelaki itu duduk di meja sembari menyilangkan kakinya. Muniroh mundur selangkah karena begitu terkejutnya."Terlalu mudah untuk menemukanmu kembali, Muniroh," seringai lelaki itu."Hubungan kita sudah selesai, Mas. Tidak ada yang perlu kita bicarakan," sahut Muniroh dengan bibir gemetar."Memang. Lalu, sekarang Kau menghinaku dengan menikahi rekan kerjaku?" Pak Arman turun dari meja dan melangkahkan kakinya perlahan mendekati Muniroh. "Ap-apa maksudnya, saya kira tidak ada hubungannya. Saya menikahi Pak Rizki atas dasar suka sama suka, bukan karena Anda, Mas." Muniroh mengerutkan dahi saking bingungnya dengan pola pikir mantan suaminya.Muniroh berani bersumpah bahwa Ia tidak memiliki maksud buruk kepada siapapun dalam menikahi Rizki. Namun, tetap saja lelaki itu merasa terhina. Bagaimana bisa? Pak Arman tersenyum kecut, Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Muniroh
Hikam mengembuskan napas kasar merebahkan punggungnya di ranjang berukuran kingsize. Langit-langit kamar yang bernuansa kuning keemasan dengan sebuah lampu besar menggantung, sangat berbeda dengan kamar yang biasa ia tempati untuk tidur. Tentu saja, ini adalah kamar milik Putri yang dulu ditempati wanita itu bersama Reza.Apapun yang ada di ruangan ini serba mewah dan indah, kecuali gairah Putri yang malam ini seperti nihil. Hikam tak tahu alasan yang pasti. Namun, tetap saja terasa mengganjal karena tidak seperti biasanya. "Rizki udah melunasi pinjamannya?" tanyanya dengan bergumam. "Belum, baru setengahnya. Memangnya kenapa, Mas?" jawab Putri tanpa mengalihkan pandangannya dari cermin lebar di hadapannya. Tangannya dengan tak berselera menyisir rambut panjangnya helai demi helai."Ya sudah," ucap Hikam sambil kembali mengembuskan napas kasar. Putri yang memberikan pinjaman itu, tetapi ia tidak bisa membiarkan Rizki menunda pelunasann
Dua hari setelah nekat pergi ke rumah Ustadzah Muniroh karena firasatnya buruk, Rizki akhirnya mengkhitbah perempuan itu secara resmi di hadapan masing-masing keluarga besar. "Mas Hikam belum bisa dihubungi?" tanya Abah dengan wajah cemas. "Belum, mungkin lagi di jalan, Bah," jawab Rizki sambil merapikan rambutnya. Tak kehabisan akal, Rizki mengirimkan pesan suara ke Hikam, Salis, dan Putri sekaligus. Lelaki itu seharusnya menjadi pengantar lamaran sesuai janjinya. Namun, sejak malam tadi handphone Hikam tidak bisa dihubungi."Kita berangkat saja dulu, nanti biar Mas Hikam nyusul. Ayo Ikhda." Rizki segera bergegas karena dua jam lagi acara akan dimulai di rumah Ustadzah Muniroh.Benar saja, di tengah perjalanan mobil Hikam menyusul tepat di belakangnya. Rizki bernapas lega karena sebenarnya ia khawatir jika terjadi sesuatu pada lelaki itu. Mereka pun sampai di waktu yang tepat."Mas Hikam sakit?" Rizki sedikit terkejut melihat