Hubungan Febi dan Mas Alfian masih berjalan meskipun Febi belum sepenuhnya menerima lelaki itu."Dulu aku pernah gabung di Lembaga Pendidikan Non Formal tapi sekarang sudah tidak lagi," gumam Mas Alvian."Kenapa?" Febi menanggapi singkat."Karena di sana aku jadi teringat Fani terus. Fani ikut program paket C supaya bisa daftar kuliah." Mas Alvian pun menceritakan masa lalunya, lebih tepatnya kenangannya dengan gadis itu.Febi menahan napas supaya bibirnya tidak kelepasan melontarkan umpatan. Lagi-lagi tentang Fani. Ia sedikit tahu bahwa dulu Mas Alvian adalah salah satu lelaki di kampus yang juga mengejar-ngejar Fani. Fani memang primadona kampus, tak hanya anak S1 yang mengenalnya, beberapa mahasiswa pascasarjana pun juga mengenalnya."Fani ikut paket C?" Febi bertanya dengan malas demi menunjukkan bahwa dirinya tidak mengabaikan lelaki di hadapannya yang tengah mengajaknya mengobrol."Ya, Ia 'kan nggak lulus SMA. Kayaknya kelas sebelas sudah keluar terus langsung pesantren." Dengan
Rizki merasa heran karena tumben sekali Hikam mengajaknya bertemu di kafe. Ia pun tiba lebih dulu demi menghormati kakak iparnya."Saat aku dan Salis mengantarkan Aghni survey asrama, aku bertemu dengan salah satu teman dari teman kerjaku. Kami tidak terlalu dekat, tapi Ia mengenalku dan aku mengenalnya, Ia seorang wanita," ujar Hikam sembari mengedarkan pandangannya. Rizki yang menyimak ucapan itu mencerna dengan saksama dan mencoba menebak arah topiknya. Tidak biasanya Hikam berbicara tentang perempuan, apalagi perempuan itu hanya teman dari teman kerjanya."Ia pembina asramanya Aghni, Mas?" tanya Rizki."Bukan, mungkin hanya pengurus catering, atau bahkan mungkin bukan siapa-siapa di sana. Tetapi yang jelas kami bertemu. Ia menanyakanmu." Hikam menoleh memandang Rizki."Hah, kok bisa Mas? Maksudnya apa?" Tentu saja ucapan Hikam membuat Rizki terkejut sekaligus bingung."Ia menanyakanmu apakah sudah menikah lagi atau belum," ujar Hikam kemudian."Ya belum lah, Mas. Emang Mas Hikam
"Bagaimana pertemuannya, Riz?" pesan Hikam saat Rizki baru saja akan menghidupkan mesin mobilnya."Mantap, Mas. Aku suka kepribadiannya. Ini baru lagi pulang, Mas," balas Rizki. Sebenarnya Ia ingin bicara lebih banyak tetapi khawatir akan mengganggu konsentrasinya.Rizki merasa lega setelah rasa penasarannya terpenuhi. Ia bisa pulang dan makan malam bersama anak-anaknya dengan lahap. Sesekali Ia bercakap-cakap bersama anaknya tentang sekolah mereka. Rupanya Itsna sudah sangat betah dengan lingkungan barunya di Tempat Penitipan Anak, Ia merengek tidak mau jika Rizki memindahkannya ke Taman Kanak-Kanak."Kalau boleh, aku nanti juga nggak mau naik ke SMP," ucap Ikhda sependapat dengan adiknya."Kakak, Nana, hidup itu selalu ada perubahan. Kita lah yang harus menyesuaikan dan mengembangkan diri. Karena kalau nggak mau, kita bakal kesusahan sendiri. Alloh tidak akan mengubah diri kita, kalau kita nggak ada usaha sendiri," ucap Rizki panjang lebar menasihati anak-anaknya.Saat Rizki tengah
Muniroh tersenyum lega saat Salis kembali datang untuk menjemput Aghni, Ia pun bisa membicarakan berdua tentang pertemuannya dengan Rizki."Kalau kepribadiannya, Ustadzah suka nggak?" tanya Salis. Muniroh mengangguk sebelum menjawab lebih jelas."Alkhamdulillah. Kalau saya ingat-ingat, Pak Rizki itu tipe orang yang mudah menyesuaikan diri dengan sekitar, Bu. Saya rasa itu sangat cukup untuk saya," ujar Muniroh. Ia ingat betul ketika lelaki itu baru saja datang, dirinya tengah membaca buku. Setelah memesan makanan, pembicaraan mereka pun tidak jauh-jauh dari hobi membaca. Semenjak melihat wajah Rizki secara langsung, Muniroh langsung mendapat kesan bahwa Rizki adalah orang yang cerdas. Ia sangat pandai menguasai lingkungan sekitarnya."Hmm, kalau itu mah memang keterampilan wajib yang harus dimiliki seorang pengusaha, Ustadzah. Mas Rizki 'kan pengusaha, tentu saja bisa menyesuaikan diri untuk sekadar ngobrol dengan siapapun," tanggap Salis nampak belum puas. "Saya 'kan baru ketemu sa
"Ibu sudah baca email yang barusan masuk?" Ucapan sekretarisnya membuat Putri mendongak, "Belum, Div. Kalau misal nggak penting-penting amat mending dihapus saja. Forward ke saya yang sekiranya penting, Div," ujar Putri menanggapi dengan santai. "Ini dari Pak Rizki, Bu." Diva mendekatkan wajahnya dan menyodorkan laptop, layar monitornya masih menayangkan isi email dari Rizki."Apa ini?" gumam Putri mengerutkan dahi mulai mencerna isi email tersebut. Rizki menyampaikan surat konfirmasi pembayaran pinjamannya ke email pribadi Putri dengan lampiran beberapa foto bukti. Tanpa pikir panjang, Putri pun meraih gagang telepon di depannya dan memencet rangkaian nomor lalu menunggu panggilannya diangkat."Hallo, ini Delta, Bu. Bisa tolong sambungkan ke Pak Rizki sekarang?" ucap Putri kepada penerima telepon di seberang sana.Putri menunggu beberapa saat dengan perasaan campur aduk, Ia sendiri tidak bisa mendefinisikan hal yang sebenarnya tengah dirasakan. Entah mengapa Ia gelisah ketika Rizk
"Karyawanku pernah lihat Mas Rizki makan bareng perempuan di restoran ini," ujar Putri cukup membuat Rizki terkesiap. Rizki menelan makanannya kemudian menenggak air putih. Pertemuannya kali ini dengan Putri sebenarnya untuk membahas hutang Rizki yang masih setengah. "Ya, beliau Ustadzah Muniroh," ucap Rizki menjawab pertanyaan Putri yang dilontarkan secara tidak langsung. "Ustadzah?" Putri mengerutkan dahi seperti tidak percaya. "Kukira karyawan atau kliennya Mas Rizki," lanjut Putri."Bukan, kalau pengusaha, Kau sendiri pasti sudah tahu. Sekarang ini nggak banyak yang mau kerjasama sama aku, Mbak Put. Kau tahu sendiri lah, hutangku banyak," ujar Rizki sembari tertawa getir. "Iya sih, tapi emang apa salahnya sih. Lagian 'kan Mas Rizki sudah bangkit lagi sekarang." Putri mengedikkan bahu. Rizki hanya mengangguk-angguk mendengar ucapan Putri yang selalu membesarkan hatinya.Dalam hati Rizki ingin merahasiakan perihal perjodoha
"Nggak apa-apa, Mas. Ini tadi ada motor nyebrang," gumam Rizki. "Astaghfirulloh. Ya sudah aku matikan dulu telponnya," gumam Hikam. Panggilan pun dimatikan sepihak oleh Hikam.Keganjilan-keganjilan hari ini membuat Rizki tak bisa tidur nyenyak. Ia sangat penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi pada Putri dan Hikam. Namun, Ia tidak berhak mencampuri urusan rumah tangga mereka.Esok paginya ketika Rizki hendak berangkat ke kantor, Hikam mengirim pesan bahwa hari ini Ustadzah Muniroh akan menemuinya saat jam makan siang. Rizki terkesiap dan langsung menghubungi sekretaris untuk melonggarkan jadwalnya di siang hari."Kau bisa ke alamat ini 'kan, Riz?" Hikam mengirimkan screenshot lokasi. "Bisa, Mas," jawab Rizki tanpa pikir panjang, sejauh apapun Ia harus bisa.Seperti kata Hikam, Ia khawatir jika harapannya akan pupus jika dibiarkan berlama-lama. Ia sendiri juga harus mengejar wanita itu. Apa yang Rizki butuhkan di usia yang
"Pak Arman?" gumam Rizki terdengar jelas di telinga Muniroh."Pak Rizki kenal?" ucap Muniroh dengan suara sangat tercekat nyaris tak terdengar. Rizki berbalik menatap Muniroh dengan mengerutkan dahi seolah mengembalikan pertanyaannya. Perlahan, 'lelaki itu' datang mendekati meja mereka. Degup jantung Muniroh semakin kencang tak terkendali, Ia tak kuasa menyembunyikan badannya yang gemetar. "Pak Rizki, umur panjang ya kita bertemu di sini. Kebetulan saya juga mau makan siang," ujar Pak Arman dengan santai, menunjukkan pada Muniroh bahwa mereka sudah saling kenal dekat. "Oh, ini kami juga sedang makan siang. Tumben sekali Pak Arman sendirian, mari duduk sini saja, Pak." Rizki menarik satu kursi untuk duduk lelaki itu."Terima kasih, Pak. Kebetulan saja saya lewat sini, jadi sekalian makan siang. Review di internet sih katanya bagus, saya jadi penasaran." Pak Arman duduk kemudian memanggil waitress dengan isyarat tangan. "Habis