Tiga hari dirawat di ruangan ICU, Deo menunjukkan kemajuan begitu pesat. Deo sudah mulai bisa bersuara. Saat dia mencari keberadaan Rinay, tangisnya sudah terdengar. Wajah kapasnya sudah berwarna. Tubuh kurus keringnya sudah mulai berisi. Deo, bayi malang itu sudah terlihat seperti bayi yang sebenarnya. Tak henti Aldo mengucap syukur. Mengucap terima kasih yang begitu besar kepada Rinay, meski di dalam hati saja. Ya, Aldo tak bersuara. Hari ini Deo dipindahkan ke ruang rawat. Aldo sengaja meminta ruang VIP eksekutif, bukan VIP biasa. Tak peduli berapa yang akan dia keluarkan. Baginya, nyawa sang putra adalah segala-galanya. “Mama nungguin Deo bareng pembantu itu, ya! Aku mau ke kantor hari ini. Aku sudah tenang sekarang meski harus meninggalkan Deo.” Aldo berpamitan pada ibunya. “Namanya Rinay, Al! Enggak sopan kalau kamu menyebutnya pembantu terus! Nanti dia tersinggung, lho!” Reni mencoba mengingatkan. Kini dia yakin, kalau putranya tak ada rasa kepada Rinay. Buhka
“Sayang, siapa yang mengirim pesan aneh, ini?” ulang Bagas meningikan volume suara. “Itu, itu tante aku. Kembaliin, sini, Mas!” Tangan Tatiana menggapai-gapai. Begitu khawatir kalau sampai membaca chat sebelum sebelumnya. “Tante? Kenapa aku tidak kenal? Tante seperti apa dia? Kenapa nama profilnya ‘Calon Mertua’?” Bagas menyipitkan kedua matanya, menuntut kejujuran dari mulut istrinya. “Itu cuma iseng, Mas! Kami memang suka bercanda, gitu. Dia juga manggil aku calon menantu. Cuma bercanda doang!” Tatiana berusaha menjawab sewajar mungkin. “Lalu, apa maksud pesannya ini? Cepat selesaikan pernikahanmu! Apa yang diselesaikan?” “Oh, itu … itu maksudnya anu ….” “Anu apa? Kenapa kamu gugup?” “Udahlah, Mas! Gitu aja jadi masalah, sih! Pagi pagi udah cari ribut!” “Kamu yang bikin masalah pagi-pagi! Pokoknya kamu harus jelaskan, apa maksud chat kalian ini! Pernikahan kita tidak ada masalah, Tian! Kenapa calon mertuamu ini bilang cepat selesaikan? Apa yang kalian rencanakan? Siapa sebe
“Permisi …! Ini ruangan rawat putra Pak Aldo?” Bagas mengetuk halus pintu ruangan, menekan handel dan mendorong halus daun pintu itu. Seorang wanita yang tengah menunggui sang pasien, sontak berbalik. Dia merasa seperti mengenal pemilik suara itu. “Iya ben ….” sahutnya dengan suara bergetar. Spontan kalimat itu menggantung begitu mendapati seorang pria yang sangat ia kenal. “Mas Bagas! Ka-kamu?” sergahnya tak percaya. Kedua netranya memicing, degup jantung di dalam dada berpacu tidak normal. Khawatir, gelisah mengaduk perasaan. “Rinay? Ini kamu?” Bagas melangkah masuk, memindai penampilan Rinay dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tubuh indah ideal yang biasanya hanya berbalut kaos oblong lengan panjang dan dipadukan dengan rok lebar sepanjang tumit kaki, kini terlihat sangat berbeda saat mengenakan gaun indah meski sederhana sebatas lutut. Tubuh proporsional itu tampak makin seksi dengan dada yang kian membusung pengaruh hamil muda. Apalagi saat menatap wajah cantik tanpa
“Sayang, jujur, aku sangat rindu,” bisik Bagas sembari meremas penuh kerinduan bokong Rinay. Segera Rinay menepisnya dengan kasar. Betapa dia ingin berbuat lebih kasar, tetapi Deo masih belum lelap betul tidurnya. Dia tak ingin tidur Deo kembali terganggu. Wanita itu masih harus berjuang menahan sabar. “Kau juga pasti sudah sangat merindukaan permainan panas kita, bukan? Nanti malam aku datang, ya, Sayang! Tapi ingat satu hal, kita harus sembunyi-sembunyi untuk sementara ini. Tidak boleh ada yang tahu. Perlu kamu tahu, sebenarnya aku tidak mencintai Tatiana. Aku terpaksa menikahinya, Sayang! Kelak aku akan menjelaskan semua ini padamu.” Bagas berusaha merayu Rinay. “Percayalah, Sayang! Aku janji, pelan-pelan akan mencari cara untuk menceraikan Tatiana. Setelah itu, aku akan menikahimu secara sah. Kamu setuju kan, Sayang? Enggak apa-apa meski sekarang kamu bekerja sebagai babu dulu di sini, untuk menutupi hubungan kita. Aku janji akan menjadikanmu Nyonya nantinya, kamu mau, ya? K
“Pak Aldo, Bapak, maaf!” repleks Bagas melepas cengkraman dan kungkungannya di tubuh Rinay. Rinay mengibas-ngibaskan kedua pergelangan tangannya. Kebas, dan sedikit membiru. “Ada apa ini?” tanya Aldo sambil berjalan masuk. Netranya meneliti wajah putranya yang masih tertidur lelap di atas ranjang pasien. Pria itu meras sangta lega, putranya baik-baik saja. Lalu segera dia alihkan tatapan memindai wajah Bagas dan wajah Rinay secara bergantian. Netranya memicing seolah sedang mencari kejelasan. “Maaf, Pak Aldo, saya … saya ke sini hanya ingin menjenguk putra Bapak, tapi … pembantu Bapak ini bersikap tidak sopan pada saya. Itu sebab saya emosi, sekali lagi maaf, Pak!” Bagas menundukkan kepala di hadapan Aldo. “Sebentar, wajah Anda, sepertinya tidak asing, Anda … Anda … bukankah Anda menantu Om Hendrawan? Suami Tatiana?” Aldo mengernyitkan kening. “I-iya, Pak Aldo. Saya Bagas, Bagaskara. Suami Tatiana. Terima kasih masih ingat pada saya.” Aldo tersenyum lebar, merasa bangga kare
“Apanya yang tidak mungkin, Pak?” selidik Aldo sengaja membuat Bagas makin tersudut. “Em, ini, perempuan ini, kan, cuma babu. Masa iya, dia calon istri seorang pengusaha property nomor satu seperti Anda? Ah, Pak Aldo pasti bercanda …! Ini pasti hanya canda, kan, Ah, Pak Aldo … bisa aja candanya! Bisa membuat orang spot jantung ini namanya. Hehehe ….” tawa dibuat-buat itu tak mengurangi ketegangan di wajah Bagas. “Saya tidak bercanda! Bahkan sekarang saya sedang ingin membicarakan tanggal lamaran dan resepsi pernikahan sebelum saya datangi orang tuanya di kampung nanti. Jadi, kalau Anda tidak keberatan, tolong tinggalkan kami!” tegas Aldo lugas. “Oh!” Bagas tercekat. Kedua cahaya netranya meredup. Masih tak percaya dengan apa yang dia dengar. Rasa takut kehilangan Rinay mulai mengaduk perasaan. Haruskah dia katakan sekarang kepada Aldo kalau Rinay adalah istri sirinya? “Tunggu apa lagi, Pak Bagas? Haruskah saya meminta bodyguard saya untuk menunjukkan jalan keluar buat Anda!” Al
“Kamu baik-baik saja?” tanya Aldo saat Rinay sudah keluar dari toilet. Netranya memindai wajah wanita itu. “Saya baik, Pak. Maaf, saya sempat membuat masalah. Maaf juga karena saya telah lancang mengaku kalau saya adalah ….” Kalimat Rinay terjeda. Wajah pucatnya menunduk dalam. Ketakutan kembali mendera. Kedua mata sayunya menekuri lantai. “Kenapa kau mengaku sebagai calon istriku?” Aldo melanjutkan kalimat Rinay. “I-iya, saya lancang, Pak. Maaf!” Rinay terbata-bata. “Saya tidak bilang kamu lancang! Saya hanya bertanya, kenapa kau mengaku seperti itu?” Suara Aldo meninggi, dia memang typekal orang yang tak bisa bertele-tele. Emosinya bisa tersulut kalau disuruh berpikir apalagi menerka nerka. “Sa-saya terpaksa, Pak. Soalnya dia … dia … dia mau ngusir saya dari ruangan ini. Katanya saya enggak pantas. Jadi, saya nekat aja bilang kalau saya calon istri Bapak,” terang Rinay masih terbata-bata. “Lalu, kenapa dia mau menampar kamu?” cecar Aldo lagi makin membuat Rinay gugup. “Itu
“Ya, kenapa ada Tatiana? Heri, putar balik!” perintah Aldo mengagetkan Rinay dan sang supir. “Kenapa Pak Aldo seolah paham kalau aku tak ingin bertemu Tatiana?” batin Rinay bertanya-tanya. Namun, dia bersyukur, kali ini dia lepas lagi dari pergokan Tatiana. “Putar balik, ini, Pak?” tanya Heri, sang supir kebingungan. “Iya, putar balik!” Mobil itu segera berputar arah dengan pelan. Tatiana dan Reni yang sudah menyambut di teras depan melongo kebingungan. Tatiana bahkan langsung mengejar ke halaman. “Tunggu! Mas! Mas Aldo!” teriaknya seraya mengetuk-ngetuk jendela samping kanan, tepat di sebelah Aldo. Heri menginjak pedal rem. Mobil berhenti. Repleks Rinay menoleh ke samping kiri. Berharap Tatiana tak melihat wajahnya dengan jelas. “Kenapa kalian gak jadi turun, mau ke mana lagi, Mas?” tanya Tatiana, saat kaca jendela mobil diturunkn sedikit oleh Aldo. “Ada yang ketinggalan, maaf, kami buru buru! Heri, jalan!” jawab Aldo dan langsung memberi perintah kepda Heri. “Kenapa ka