“Sayang, jujur, aku sangat rindu,” bisik Bagas sembari meremas penuh kerinduan bokong Rinay. Segera Rinay menepisnya dengan kasar. Betapa dia ingin berbuat lebih kasar, tetapi Deo masih belum lelap betul tidurnya. Dia tak ingin tidur Deo kembali terganggu. Wanita itu masih harus berjuang menahan sabar. “Kau juga pasti sudah sangat merindukaan permainan panas kita, bukan? Nanti malam aku datang, ya, Sayang! Tapi ingat satu hal, kita harus sembunyi-sembunyi untuk sementara ini. Tidak boleh ada yang tahu. Perlu kamu tahu, sebenarnya aku tidak mencintai Tatiana. Aku terpaksa menikahinya, Sayang! Kelak aku akan menjelaskan semua ini padamu.” Bagas berusaha merayu Rinay. “Percayalah, Sayang! Aku janji, pelan-pelan akan mencari cara untuk menceraikan Tatiana. Setelah itu, aku akan menikahimu secara sah. Kamu setuju kan, Sayang? Enggak apa-apa meski sekarang kamu bekerja sebagai babu dulu di sini, untuk menutupi hubungan kita. Aku janji akan menjadikanmu Nyonya nantinya, kamu mau, ya? K
“Pak Aldo, Bapak, maaf!” repleks Bagas melepas cengkraman dan kungkungannya di tubuh Rinay. Rinay mengibas-ngibaskan kedua pergelangan tangannya. Kebas, dan sedikit membiru. “Ada apa ini?” tanya Aldo sambil berjalan masuk. Netranya meneliti wajah putranya yang masih tertidur lelap di atas ranjang pasien. Pria itu meras sangta lega, putranya baik-baik saja. Lalu segera dia alihkan tatapan memindai wajah Bagas dan wajah Rinay secara bergantian. Netranya memicing seolah sedang mencari kejelasan. “Maaf, Pak Aldo, saya … saya ke sini hanya ingin menjenguk putra Bapak, tapi … pembantu Bapak ini bersikap tidak sopan pada saya. Itu sebab saya emosi, sekali lagi maaf, Pak!” Bagas menundukkan kepala di hadapan Aldo. “Sebentar, wajah Anda, sepertinya tidak asing, Anda … Anda … bukankah Anda menantu Om Hendrawan? Suami Tatiana?” Aldo mengernyitkan kening. “I-iya, Pak Aldo. Saya Bagas, Bagaskara. Suami Tatiana. Terima kasih masih ingat pada saya.” Aldo tersenyum lebar, merasa bangga kare
“Apanya yang tidak mungkin, Pak?” selidik Aldo sengaja membuat Bagas makin tersudut. “Em, ini, perempuan ini, kan, cuma babu. Masa iya, dia calon istri seorang pengusaha property nomor satu seperti Anda? Ah, Pak Aldo pasti bercanda …! Ini pasti hanya canda, kan, Ah, Pak Aldo … bisa aja candanya! Bisa membuat orang spot jantung ini namanya. Hehehe ….” tawa dibuat-buat itu tak mengurangi ketegangan di wajah Bagas. “Saya tidak bercanda! Bahkan sekarang saya sedang ingin membicarakan tanggal lamaran dan resepsi pernikahan sebelum saya datangi orang tuanya di kampung nanti. Jadi, kalau Anda tidak keberatan, tolong tinggalkan kami!” tegas Aldo lugas. “Oh!” Bagas tercekat. Kedua cahaya netranya meredup. Masih tak percaya dengan apa yang dia dengar. Rasa takut kehilangan Rinay mulai mengaduk perasaan. Haruskah dia katakan sekarang kepada Aldo kalau Rinay adalah istri sirinya? “Tunggu apa lagi, Pak Bagas? Haruskah saya meminta bodyguard saya untuk menunjukkan jalan keluar buat Anda!” Al
“Kamu baik-baik saja?” tanya Aldo saat Rinay sudah keluar dari toilet. Netranya memindai wajah wanita itu. “Saya baik, Pak. Maaf, saya sempat membuat masalah. Maaf juga karena saya telah lancang mengaku kalau saya adalah ….” Kalimat Rinay terjeda. Wajah pucatnya menunduk dalam. Ketakutan kembali mendera. Kedua mata sayunya menekuri lantai. “Kenapa kau mengaku sebagai calon istriku?” Aldo melanjutkan kalimat Rinay. “I-iya, saya lancang, Pak. Maaf!” Rinay terbata-bata. “Saya tidak bilang kamu lancang! Saya hanya bertanya, kenapa kau mengaku seperti itu?” Suara Aldo meninggi, dia memang typekal orang yang tak bisa bertele-tele. Emosinya bisa tersulut kalau disuruh berpikir apalagi menerka nerka. “Sa-saya terpaksa, Pak. Soalnya dia … dia … dia mau ngusir saya dari ruangan ini. Katanya saya enggak pantas. Jadi, saya nekat aja bilang kalau saya calon istri Bapak,” terang Rinay masih terbata-bata. “Lalu, kenapa dia mau menampar kamu?” cecar Aldo lagi makin membuat Rinay gugup. “Itu
“Ya, kenapa ada Tatiana? Heri, putar balik!” perintah Aldo mengagetkan Rinay dan sang supir. “Kenapa Pak Aldo seolah paham kalau aku tak ingin bertemu Tatiana?” batin Rinay bertanya-tanya. Namun, dia bersyukur, kali ini dia lepas lagi dari pergokan Tatiana. “Putar balik, ini, Pak?” tanya Heri, sang supir kebingungan. “Iya, putar balik!” Mobil itu segera berputar arah dengan pelan. Tatiana dan Reni yang sudah menyambut di teras depan melongo kebingungan. Tatiana bahkan langsung mengejar ke halaman. “Tunggu! Mas! Mas Aldo!” teriaknya seraya mengetuk-ngetuk jendela samping kanan, tepat di sebelah Aldo. Heri menginjak pedal rem. Mobil berhenti. Repleks Rinay menoleh ke samping kiri. Berharap Tatiana tak melihat wajahnya dengan jelas. “Kenapa kalian gak jadi turun, mau ke mana lagi, Mas?” tanya Tatiana, saat kaca jendela mobil diturunkn sedikit oleh Aldo. “Ada yang ketinggalan, maaf, kami buru buru! Heri, jalan!” jawab Aldo dan langsung memberi perintah kepda Heri. “Kenapa ka
Mobil melaju perlahan, jalanan desa yang berlubang dan banyak air tergenang karena musim hujan, membuat Heri harus mengemudikan mobil dengan hati hati. “Eeeemmmh .…” Rinay menggeliat. Kedua matanya mengerjab. Mobil yang berguncang karena jalanan berlubang membuatnya terjaga. “Eh, aku ketiduran. Den Deo di mana?” tanyanya panik seraya menoleh ke samping. “Oh … dia sama Bapak? Maaf, saya benar-benar teledor, Pak,” ucapnya merasa bersalah. “Tidak apa-apa, kamu kurang tidur selama berjaga di rumah sakit!” Aldo menenangkan hatinya. “Sini Den Deonya, Pak!” kata Rinay meraih tubuh Deo kembali. “Tidak usah, biar saya gendong saja!” Rinay mengangguk. “Bentar lagi kita sampai di makam Mama. Setelah dari makam Mama, kita ke rumah nenek dan kakek. Pasti mereka senang sekali bertemu kamu.” Aldo berucap di dekat telinga Deo yang masih saja terlelap. Rinay menatap ayah dan anak itu dengan penuh haru. Seorang ayah yang membesarkan anaknya sendirian. Repleks dia merba perutnya. Terasa pe
Racauan itu semakin meyakinkan Aldo. Itu ciri khas Maya bila sudah meracau kala mereka bersama. Dulu, saat Maya masih ada. Ini tidak benar. Aku sudah gila! Ini tidak benar. Ini hanya halusinasiku! Tidak ada Maya di dalam sana! Tidak mungkin ada! Aldo tiba-tiba berjalan cepat ke arah pintu masuk rumah, menggenggam handel pintu dengan kencang, lalu sekali sentak, dia dorong dengan kuat. Nanar, Aldo terbelalak kaget. Netranya menemukan pemandangan yang teramat menyakitkan di sofa panjang, di ruang tamu rumah panggung itu. Sepasang manusia tak berbusana sedang menyatu dengan begitu eratnya. Nuansa asmara membalut keduanya. “Maya …,” lirih Aldo menyebut nama itu. Lututnya tiba-tiba lemas, dia terduduk di lantai papan berlapis karpet rumah itu. “Mas!” Perempuan di sofa panjang repleks mendorong kasar dada pria yang masih menindihnya. Kaget, membuat pria pasangannya itu mematung tanpa tahu harus berbuat apa. Untung si perempuan masih memiliki kesadaran. Meski kaget setengah mati
“Nak Aldo?” Sebuah sepeda motor memasuki halaman. Sepasang suami istri berusia setengah baya langsung menghampiri. Mereka adalah orang tua Maya. Bu Siti dan Pak Kamil. “Nak Aldo, kami ditelepon oleh tetangga, katanya ada keributan di rumah ini. Ternyata Nak Aldo yang datang. Ya, Allah, ini cucuku, ya? Deo … sini, Sayang!” Bu Siti dan suaminya langsung memburu Deo. Aldo tak melarang saat kedua orang tua itu meraih Deo dari gendongan Rinay. Mereka memeluk dan menciumi kening dan pipi Deo dengan penuh kerinduan. Tetapi Deo langsung menjerit saat dipisahkan dari gendongan Rinay. Terpaksa mereka mengembalikan Deo lagi kepada Rinay. “Kamu pengasuhnya, ya?” tanya Bu Siti kepada Rinay. “Ben ….” “Tidak, dia adalah calon istriku, pengganti Maya!” potong Aldo memutus kalimat Rinay. Semua tersentak kaget mendengar pengakuan itu. Rinay juga terperanjat, namun dia tak berani membantah. Deo sibuk menenangkan Deo di dalam gendongannya. Heri sudah selesai membuat susu, dia berlari dari mob