“Ibuku? Kenapa dengan Mama? Kenapa justru dia yang akan membusuk di penjara?” tanya Aldo dengan dahi berkernyit. Pria itu juga langsung membalikkan badan. Kedua netranya menatap tajam Bu Siti dan suaminya bergantian.“Ya, karena dia adalah otak semua ini.” Bu Siti menjawab ketus.“Mama? Mama adalah otak semua ini?” tanya Aldo tak percaya.“Ya. Ibumu mengancam kalau Deo akan dia lenyapkan kalau Maya tidak mau mengikuti perintahnya. Pikir olehmu, Aldo! Ibu mana yang akan tega anaknya terancam dalam bahaya? Maya berada dalam dilema. Pergi dari kehidupanmu tapi anaknya selamat, atau tetap berada di sisimu tetapi dia harus kehilangan anak,” papar Bu Siti panjang lebar.Aldo tercekat. Tatapannya kini tertuju kepada Maya. Wanita itu menunduk, menekuri tanah halaman rumah panggung itu. Air bening mulai menetes di pipi putih bak pualam. Sedunya terdengar halus.“Sabar, Sayang!” hibur Agam mengusap bahunya penuh kasih sayang.“Aku tak percaya ini,” gumam Aldo menggeleng lemah.“Kami tidak me
“Tidak! Jangan pernah kau sentuh anakku! Deo anakku, bukan anakmu! Camkan itu!” Aldo berkata kasar.“Mas, aku minta maaf! Aku sangat sayang sama Deo, Mas. Aku melakukan ini karena sayangku pada dia. Aku rela menderita menahan beban rindu demi keselamatannya.” Maya memohon.“Bohong! Kau bohong! Kau pikir aku percaya dengan cerita murahan ini, hah?”“Ini benar, Mas! Mama mengancamku, dia akan mencapur racun ke dalam susu formula Deo di dalam dotnya kalau aku tidak menuruti perintahnya. Aku tidak mau anak kita kenapa napa, Mas. Itu sebab aku menurutinya.”“Kenapa tidak kau katakan padaku? Kenapa kau iyakan saja permintaan ibuku, tanpa merundingkannya denganku!?”“Karena Mama megancam, Mas! Aku harus mengiyakannya menit itu juga. Dia tak mau menunggu meski hanya seperempat menit. Aku terpaksa menurut, Mas.”“Lalu kau pergi dari rumah dengan mobilmu? Begitu? Lalu, tiba-tiba datang kabar padaku bahwa kau kecelakaan? Mobilmu remuk jatuh ke dalam jurang yang begitu dalam. Begitu sampai d
****Security yang berjaga di rumah Aldo segera membukakan pintu gerbang. Ferari hitam itu memasuki halaman rumah. Aldo segera turun, saat mobil sudah berhenti dengan sempurna di car port rumah megah itu.“Langsung naik ke lantai atas! Mulai sekarang kamu tidur di kamar Deo!” perintahnya sambil membukakan pintu mobil buat Rinay.“Baik, Pak,” sahut Rinay patuh, lalu mengikuti langkah Aldo menuju teras. Reni, ibunda Aldo sudah menunggu di sana. Sempat Rinay merasa gelisah, khawatir Tatiana masih ada di sana. Wanita itu mengedarkan pandangan, menarik napas lega karena istri sah suaminya itu ternyata sudah tak ada. Reni hanya sendiri di sana. Dua orang ART yang menyusul, mereka setengah berlari mneyambut kepulangan sang putra majikan.“Kalian ke mana saja, sih? Katanya ada yang tertinggal. Kenapa lama sekali kalau hanya unutk mengambil barang yang tertinggal?” sambut Reni begitu mereka menginjakkan kaki di lantai teras.Aldo tak menjawab, wajah tegangnya kian menghitam menahan emosi yan
“Ya, ini aku, Maya. Maaf, Mas Aldo. Aku nekat datang ke sini karena biar bagaimanapun rahasia besar ini sudah terbongkar. Tak ada gunanya ditutupi lagi.” Perempuan yang berambut ikal sebahu melangkah gontai memasuki ruang keluarga. Wajah kusam serta pakaian penuh debu jalanan melekat di tubuhnya.“Sama siapa kamu ke sini? Kau diantar oleh pasangan mesummu itu?” Aldo mengernyitkan dahi dengan kencang. Matanya liar mencari sosok Agam ke arah depan.“Aku sendirian, Mas. Aku sudah memutuskan hubungan dengan Mas Agam. Dia bukan siapa-siapaku lagi,” kata Maya tegas. Kini dia sudah berdiir tepat di hadapan Reni dan Aldo.“Kamu, Maya? Tidak mungkin! Ini bukan Maya! Kamu bukan, Maya, kan? Tidak ush ngaku-ngaku!” Reni bangkit dari duduknya, langsung mencengkram kuat lengan wanita itu. “Pergi dari sini! Jangan ganggu rumah anakku!” katanya seraya menarik paksa lengan Maya keluar dari ruangan itu.“Aku Maya, Mama! Mama juga tahu, kalau aku ini beneran Maya! Sudahlah, rahasia ini sudah terbon
“Mama tidak akan meninggalkanmu, Aldo! Kau anak laki-laki mama satu-satunya! Biarkan mama tetap tinggal di sini, Nak!” Reni memelas.“Maaf, Ma! Beri aku waktu untuk berpikir. Ini terlalu sulit untuk aku percaya! Tolong, sementara jangan dulu menunjukan wajah Mama di depanku. Bukan maksudku mau durhaka. Tapi, aku sudah terlanjur sangat kecewa.” Aldo memalingkan wajahnya.“Aldo .… Tolong jangan usir Mama! Mama sayang sama kamu, Nak! Semua yang mama lakukan ini untuk kebaikan kamu!” Reni kembali memohon.“Bawa dia pergi!” titah Aldo tegas.“Kita berangkat, Bu!” Anggota Aldo menarik tangan wanita itu dengan paksa.“Semua ini gara-gara kamu, Maya! Kenapa kaum balik ke sini lagi! Aku sudah membayar mahal kepada orang tuamu! Bapakmu sudah aku belikan kebun sawit selebar sepuluh hektar di kampung sana! Kurang apa lagi, hah! Kenapa kalian tidak bisa menjaga rahasia ini! Kau kembali ke sini, untuk apa, Maya! Kau mau kembali menjaid istri Aldo, iya? Dengar, sampai kapanpun, aku tak akan pernah
“Mas Aldo …?” lirih Maya menatap Aldo dengan sorot mata yang kian sayu.“Kenapa? Kau mau membantah? Kau membantah kalau kau sudah tidur dengan laki-laki mesum itu?” cetus Aldo dengan ekspresi kecewa. Maya hanya menunduk. Tak ada kalimat yang bisa dia ucap untuk membela diri. Perkataan Aldo benar adanya. Bahkan sang suami telah menangkap basah sendiri. Aldo menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri saat Maya dan Agam tengan melakukan hubungan yang layaknya dilakukan oleh sepasang suami istri.“Aku memang sangat bahagia karena ternyata kau belum mati, Maya. Aku telah menemukanmu kembali. Namun, sayang sekali. Aku menemukanmu dalam keadaan tengah melakukan perbuatan yang paling hina. Bahkan seorang sundal, masih tau tempat di mana dia boleh melakukan perbuatan itu. Sedang kau? Kau melakukannya di rumah ibumu, di depan mataku, di depanku … Maya … seorang laki-laki yang masih berstatus suamimu!”“Mas …!”“Lima bulan aku menjalani ini, Maya. Lima bulan aku tak henti menangisi kematianmu.
“Baik, malam ini kau kuijinkan menginap di sini. Ingat, hanya untuk malam ini.”Aldo bangkit dari duduknya lalu bergegas meninggalkan Maya yang masih terduduk di lantai ruang keluarga itu. Pria tegap bertubuh sangat atletis itu berjalan menuju tangga. Dengan cepat dia menapaki anak tangga satu demi satu. Kamar Deo adalah tujuannya. Hatinya yang mengarahkan ke sana. Aldo tak paham dengan jelas, apakah itu karena keinginan melihat kondisi Deo setelah pulang dari perjalanan panjang dan melelahkan tadi, atau ada maksud yang lain. Sementara di lantai satu, Maya juga mulai bangkit dari duduknya. Senyum samar terukir di sudut bibirnya. Satu malam yang disediakan oleh Aldo untuknya, akan dia gunakan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya.Dia lalu bangkit, berjalan menuju anak tangga. Dengan langkah hati-hait, dia menapaki satu persatu anak tangga. Kamar utama yang terletak di lantai dua itu, adalah tujuannya. Kamar yang dulu dia tempati bersama Aldo suaminya. Kamar penuh cinta, tempa
“Kenapa kamu teledor sekali?!” Bik Yuni bersungut-sungut saat Aldo sudah melangkah menuju pintu kamar. Pria itu terlihat merah padam karena dipergoki Bik Yuni tengah bersetatap dengan Rinay, pengasuh putranya.“Aku enggak sengaja, Bik. Celana dalamku tercecer saat buru-buur mau mindahin Den Deo ke tempat tidurnya tadi.” Rinay membela diri.“Ngapain kamu pegang-pegang celana dalam?” sesal Bik Yuni.“Aku baru aja selesai mandi, gati baju. Pak Aldo ketuk pintu. Cepat-cepat aku gulung saja pakain bekas kupakai tadi. Engga sadar kalau celanaku tidak tergulung utuh. Bagaimana ini, Bk? Pak Aldo marah enggak, ya? Aku takut dipecat karena udah teledor gini, Bik,” kata Rinay ketakutan.“Ya, kita tunggu saja. Biasanya Pak Aldo itu memnag snagat tegas. Tapi, biasanya juga dia spontan kalau mmenag marah. Buktinya tadi dia tidak bilang apa-apa, kan? Cuma wajahnya saja yang merah padam. Mudah-mudahan tidak sampai memecat kamu. Ya, sudah, kamu makan dulu sana, biar bibik yang jagain Den Deo.”“Ba