“Mas Aldo …?” lirih Maya menatap Aldo dengan sorot mata yang kian sayu.“Kenapa? Kau mau membantah? Kau membantah kalau kau sudah tidur dengan laki-laki mesum itu?” cetus Aldo dengan ekspresi kecewa. Maya hanya menunduk. Tak ada kalimat yang bisa dia ucap untuk membela diri. Perkataan Aldo benar adanya. Bahkan sang suami telah menangkap basah sendiri. Aldo menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri saat Maya dan Agam tengan melakukan hubungan yang layaknya dilakukan oleh sepasang suami istri.“Aku memang sangat bahagia karena ternyata kau belum mati, Maya. Aku telah menemukanmu kembali. Namun, sayang sekali. Aku menemukanmu dalam keadaan tengah melakukan perbuatan yang paling hina. Bahkan seorang sundal, masih tau tempat di mana dia boleh melakukan perbuatan itu. Sedang kau? Kau melakukannya di rumah ibumu, di depan mataku, di depanku … Maya … seorang laki-laki yang masih berstatus suamimu!”“Mas …!”“Lima bulan aku menjalani ini, Maya. Lima bulan aku tak henti menangisi kematianmu.
“Baik, malam ini kau kuijinkan menginap di sini. Ingat, hanya untuk malam ini.”Aldo bangkit dari duduknya lalu bergegas meninggalkan Maya yang masih terduduk di lantai ruang keluarga itu. Pria tegap bertubuh sangat atletis itu berjalan menuju tangga. Dengan cepat dia menapaki anak tangga satu demi satu. Kamar Deo adalah tujuannya. Hatinya yang mengarahkan ke sana. Aldo tak paham dengan jelas, apakah itu karena keinginan melihat kondisi Deo setelah pulang dari perjalanan panjang dan melelahkan tadi, atau ada maksud yang lain. Sementara di lantai satu, Maya juga mulai bangkit dari duduknya. Senyum samar terukir di sudut bibirnya. Satu malam yang disediakan oleh Aldo untuknya, akan dia gunakan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya.Dia lalu bangkit, berjalan menuju anak tangga. Dengan langkah hati-hait, dia menapaki satu persatu anak tangga. Kamar utama yang terletak di lantai dua itu, adalah tujuannya. Kamar yang dulu dia tempati bersama Aldo suaminya. Kamar penuh cinta, tempa
“Kenapa kamu teledor sekali?!” Bik Yuni bersungut-sungut saat Aldo sudah melangkah menuju pintu kamar. Pria itu terlihat merah padam karena dipergoki Bik Yuni tengah bersetatap dengan Rinay, pengasuh putranya.“Aku enggak sengaja, Bik. Celana dalamku tercecer saat buru-buur mau mindahin Den Deo ke tempat tidurnya tadi.” Rinay membela diri.“Ngapain kamu pegang-pegang celana dalam?” sesal Bik Yuni.“Aku baru aja selesai mandi, gati baju. Pak Aldo ketuk pintu. Cepat-cepat aku gulung saja pakain bekas kupakai tadi. Engga sadar kalau celanaku tidak tergulung utuh. Bagaimana ini, Bk? Pak Aldo marah enggak, ya? Aku takut dipecat karena udah teledor gini, Bik,” kata Rinay ketakutan.“Ya, kita tunggu saja. Biasanya Pak Aldo itu memnag snagat tegas. Tapi, biasanya juga dia spontan kalau mmenag marah. Buktinya tadi dia tidak bilang apa-apa, kan? Cuma wajahnya saja yang merah padam. Mudah-mudahan tidak sampai memecat kamu. Ya, sudah, kamu makan dulu sana, biar bibik yang jagain Den Deo.”“Ba
“Maya?” gumam Aldo tak sadar malah melebarkan daun pintu.Rinay yang baru keluar dari kamar Deo harus melewati kamar Aldo untuk menuju tangga turun. Wanita itu tak sengaja melirik kamar sang majikan sambil berjalan. Repleks langkahnya terhenti sesaat. Pemandangan di dalam sana teramat mengagetkan. Maya, istri sang Bos yang baru saja kembali dalam keadaan tak berbusana, berdiri dengan bebasnya di depan lemari pakain yang tersedia di sana. Sementara Aldo berdiri tegak menatap sang istri dari posisinya.Rinay segera berpaling, menarik napas sejenak menetralkan aliran darahnya yang tiba-tiba berubah cepat. Lalu, dengan berjingkat dia berjalan melnjutkan langkah menuju tangga. Pak Aldo tak boleh tahu, kalau dirinya telah melihat pemandangan vulgar itu. Begitu pikirnya.“Pakaianku semuanya masih tersusun rapi di sini. Persis seperti lima bulan yang lalu saat aku meninggalkannya. Terima kasih, Mas!” ucap Maya menoleh kepada Aldo. Saat itulah baru dia sadar, kalau pintu kamar dalam kead
“Ibu, maaf!” ucap Rinay terkejut.“Ke dapur kamu! Tidak sopan!” ketus Maya seraya menarik kasar lengan Rinay keluar dari kursi yang didudukinya.“Lepaskan dia, Maya! Aku yang memintanya duduk dan makan di situ!” teriak Aldo menghentikan perbuatan Maya.“Kenapa, Mas? Sejak kapan seorang babu boleh makan semeja dengan majikannya? Begini perubahan yang terjadi di rumah ini setelah aku tinggal baru beberapa bulan saja, iya?” sergah Maya. “Kamu, apa lagi yang kamu tunggu! Pergi ke dapur!” perintahnya lagi melotot tajam kepada Rinay.“Baik, Bu.” Rinay hendak berjalan menuju dapur.“Tidak ada yang makan di dapur! Rinay, duduk!” Aldo kembali menghentikan Rinay. Rinay kebingungan. Perintah siapa yang harus dia dengarkan.“Ke dapur!” Tiba-tiba Maya mendorongnya dengan kasar. Hampir saja Rinay terjungkal kalau saja tidak berpegangan pada sudut meja makan. Repleks Aldo mengejarnya.“Cukup, Maya!” bentaknya kepada Maya. Pria itu tampak emosi.“Kamu tidak apa-apa? Kamu duduk saja, ayo! Duduk di
“Oh, orang tua Rinay datang dari kampung?” tanya Aldo mengulang kalimat Bagas.“Bapak dan Ibu … datang?” sergah Rinay terkejut. Wajahnya berubah tegang, ada gelisah, cemas dan berbagai perasaan lainnya yang mengaduk.“Iya, Nay. Bapak sama Ibu datang dari kampung. Mereka tadi langsung ke rumah Papa. Belum sempat bertemu Mama dan Papa memang. Kebetulan Papa dan Mama sedang ada urusan di luar. Jadi, hanya bertemu denganku. Atas saran Bik Lastri, mereka langsung aku antarkan ke rumah putri Bik Lastri yang di Jalan Ladang Bambu. Mereka menunggumu di sana,” tutur Bagas menerangkan.“Kenapa Bapak dan Ibu menyusul ke kota?” lirih Rinay semakin cemas.“Mereka pasti ingin mencarimulah, makanya jangan minggat! Kita ke sana sekarang, ayo!” ajak Bagas hendak menarik tangan Rinay.“Aku akan jalan sendiri!” Rinay menepis tangan Bagas. “Pak, Aldo, saya ijin, ya, saya mau bertemu orang tua saya, sebentar saja. Saya sangat khawatir, pasti mereka sangat cemas,” pamit Rinay kepada Aldo, seraya bang
****Di ruang makan, Aldo terlihat tak tenang. Melepas Rinay pergi bersama Bagas, serasa seperti melepas seekor ikan segar ke mulut kucing jantan yang tengah lapar. Pikiran buruk melintas, membuat pria itu uring uringan.“Aku tidak akan bisa tenang kalau ini dibiarkan,” resahnya seraya menekan tombol intercom. “Ikuti mobil Bagas! Jaga Rinay, lapor padaku apapun yang terjadi!” ucapnya memberi perintah.Sementara di luar, Bagas dan Rinay sudah sampai di halaman.“Masuklah!” kata Bagas membukakan pintu mobil buat Rinay.“Aku di belakang saja,” tolak Rinay membuka pintu kabin tengah. Namun gagal, pintu itu sengaja dikunci oleh Bagas.“Di sini saja, cepat! Pak Aldo tidak memberi kamu banyak waktu, bukan?” tukas Bagas memaksa.Rinay terpaksa mengalah. Dia masuk ke dalam mobil di jok depan. Bagas menutup pintu dengan sedikit kencang. Pria itu lalu memutar masuk dari pintu kanan mobil di jok depan, tepat di belakang kemudi mobil. Fotuner putih itu lalu melaju dengan kecepatan pelan, ke
“Lepaskan aku, Mas!” Rinay berusaha memberontak.“Tidak! Dengarkan aku dulu makanya! Kamu harus ikut aku sebentar saja. Sampai jam sebelas malam waktu yang diberikan oleh Pak Aldo, bukan? Kita gunakan waktu itu! Aku akan membawamu ke hotel terdekat! Aku sangat merindukan kamu, Nay! Aku merindukan tubuhmu! Aku mau ngeluarin, Nay! Seperti dulu, tolong, Sayang!” Bagas memeluk erat pinggang Rinay. Menciumi punggung dan tengkuk wanita itu dengan penuh nafsu.“Aku tidak mau! Aku jijik sama kamu, Mas! Lepaskan aku! Biarkan aku turun!” Rinay tetap berusaha memberontak. Gerakan itu membuat pelukan Bagas berpindah ke bagian pinggang. Tangan Bagas melingkar dan mecekal perut Rinay dengan sangat kencang.“Jangan di perutku, Mas! Jangan pencet perutku! lepaskan perutku!” teriak Rinay memohon. Dia khawatir janin di dalam rahimnya kenapa napa. Itu membuat gerakannya untuk memberontak terpaksa terhenti.“Kenapa perutnya, Sayang?” tanya Bagas menarik nafas lega. Dia berhasil menaklukkan Rinay. Wan