****Di ruang makan, Aldo terlihat tak tenang. Melepas Rinay pergi bersama Bagas, serasa seperti melepas seekor ikan segar ke mulut kucing jantan yang tengah lapar. Pikiran buruk melintas, membuat pria itu uring uringan.“Aku tidak akan bisa tenang kalau ini dibiarkan,” resahnya seraya menekan tombol intercom. “Ikuti mobil Bagas! Jaga Rinay, lapor padaku apapun yang terjadi!” ucapnya memberi perintah.Sementara di luar, Bagas dan Rinay sudah sampai di halaman.“Masuklah!” kata Bagas membukakan pintu mobil buat Rinay.“Aku di belakang saja,” tolak Rinay membuka pintu kabin tengah. Namun gagal, pintu itu sengaja dikunci oleh Bagas.“Di sini saja, cepat! Pak Aldo tidak memberi kamu banyak waktu, bukan?” tukas Bagas memaksa.Rinay terpaksa mengalah. Dia masuk ke dalam mobil di jok depan. Bagas menutup pintu dengan sedikit kencang. Pria itu lalu memutar masuk dari pintu kanan mobil di jok depan, tepat di belakang kemudi mobil. Fotuner putih itu lalu melaju dengan kecepatan pelan, ke
“Lepaskan aku, Mas!” Rinay berusaha memberontak.“Tidak! Dengarkan aku dulu makanya! Kamu harus ikut aku sebentar saja. Sampai jam sebelas malam waktu yang diberikan oleh Pak Aldo, bukan? Kita gunakan waktu itu! Aku akan membawamu ke hotel terdekat! Aku sangat merindukan kamu, Nay! Aku merindukan tubuhmu! Aku mau ngeluarin, Nay! Seperti dulu, tolong, Sayang!” Bagas memeluk erat pinggang Rinay. Menciumi punggung dan tengkuk wanita itu dengan penuh nafsu.“Aku tidak mau! Aku jijik sama kamu, Mas! Lepaskan aku! Biarkan aku turun!” Rinay tetap berusaha memberontak. Gerakan itu membuat pelukan Bagas berpindah ke bagian pinggang. Tangan Bagas melingkar dan mecekal perut Rinay dengan sangat kencang.“Jangan di perutku, Mas! Jangan pencet perutku! lepaskan perutku!” teriak Rinay memohon. Dia khawatir janin di dalam rahimnya kenapa napa. Itu membuat gerakannya untuk memberontak terpaksa terhenti.“Kenapa perutnya, Sayang?” tanya Bagas menarik nafas lega. Dia berhasil menaklukkan Rinay. Wan
“Nay! Rinay … kamu dengar suara saya, Rinay ….” tanya Aldo panik saat melihat Rinay tak lagi merintih. Wanita yang tergolek di sampingnya itu hanya diam, tak ada sahutan.“Rinay! Kamu kesakitan banget, ya? Rinay … jawab aku! Rinay ….”Tetap tak ada sahutan. Rinay pingsan.Bagai kesetanan Aldo melarikan mobilnya. Lima belas menit kemudian, dia menemukan sebuah rumah sakit besar. Mobil dia arahkan langsung ke depan UGD.“Cepat, Suster! Tolong cepat!” teriaknya begitu menepikan mobilnya.Dua orang petugas rumah sakit datang sambil mendorong sebuah bankar. Tubuh Rinay mereka pindahkan ke atas bed dorong itu. Lalu dengan tergesa, mereka dorong bankar memasuki ruang UGD.“Bertahan, ya, Rinay! Kamu akan baik-baik saja! Bertahan, ya!” pinta Aldo tak sadar menggenggam telapak tangan Rinay. Pria itu ikut berjalan dengan langkah panjang mengikuti roda nakar yang berputar. Matanya tak lekang menatap wajah Rinay yang kini semakin megapas. Bibir wanita itu yang biasanya terlihat begitu ranum
“Ya, istri Anda hamil, Pak Aldo.” Doter David mengulang informasinya.“Ha-hamil?” sergah Aldo tercekat. Sontak pria berusia tiga puluh dua tahun itu menoleh ke arah bankar. Rinay masih terbaring lemah di sana.“Em, selamat, ya? Tapi, maaf, kenapa Bapak terlihat kaget?” Dokter David memindai lekat wajah Aldo.“Dia … dia …. Oh, namanya Rinay, dia pengasuh anak saya. Bukan istri saya,” kata Aldo masih menatap Rinay di bankar.“Maaf, saya kira istri Pak Aldo. Karena terakhir saya dengan kabar kalau Bu Maya sudah meninggal. Saya turud berduka cita, Pak Aldo.”“Terima kasih, Dok. Tapi, Maya sudah kembali. Dia tidak meninggal dalam kecelakaan itu.”“Loh, begitukah? Lalu?”“Dia selamat. Seseorang menyelamatkannya dari maut.”“Syukurlah kalau begitu.”“Tapi kami akan berpisah. Karena dia akan menikah dengan pria yang menyelematkannya itu.”“Oh, semoga Pak Aldo tabah dan ihklas.”“Saya sudah ihklas. Sekarang yang menjadi pikiran saya justru wanita itu.” Aldo menunjuk Rinay dengan dagunya. Set
“Kenapa? Apa kata Bik Yuni? Pasti Maya yang memaksanya menelpon kamu, kan?” tuduh Aldo langsung curiga.“Bukan sepertinya, Pak. Kata Bik Yuni Den Aldo nangis gak berenti berenti.” Rinay yang masih begitu lemah terlihat tegang.“Deo? Deo menangis saja?” sergah Aldo ikut tegang.“Ba-baik, Bik! Aku segera pulang. Tolong tenangkan dulu Den Deonya, ya!” kata Rinay menutup telepon. Itu mengejutkan Aldo.“Ada tiga perempuan di rumah, tapi tak ada yang bisa menenangkan Deo?” sesalnya memukul kasur bankar.“Saya mau pulang! Tolong panggilkan perawat untuk melepas jarum infus ini! Tolong panggilkan, Pak!” kata Rinay memohon.“Apa? Kamu tidak dengar tadi aku biilang apa? Habiskan dulu satu botol infus ini, baru kau boleh pulang!” Suara Aldo meninggi. Kekesalannya kepada orang yang menjaga Deo di rumah, tak sadar dia limpahkan kepada Rinay.“Saya sudah kuat, Pak! Den Aldo bru saja keluar dari rumah sakit. Saya enggak mau di kenapa-napa! Tolong panggilin perawat, atau aku tairk paksa aja jarum inf
“Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa kamu sampai pingsan tadi, Sayang?” Bagas tak perduli dengan keberadaan Aldo, dia langsung saja menerobos masuk dan mendekati bangkar.“Berhenti memanggilku ‘Sayang’! Kita bukan siapa-siapa! Jangan ganggu aku lagi!” Rinay berkata dengan tegas. Aldo masih berdiri kaku di dekat pintu. Tangannya merogoh intercom di saku celana.“Di mana kalian? Kenapa bajingan ini bisa masuk ke ruangan Rinay?!” bentaknya emosi lalu segera mengembalikan benda itu lagi ke dalam saku. Dia tatap tajam Bagas yang sedang berusaha meraih tangan Rinay.“Nay, jangan begini! Kamu itu masih istri aku! Berapa kali lagi harus aku katakan, Nay!” Bagas meraih telapak tangan Rinay. Segera wanita itu menepisnya. Namun, Bagas tetap memaksa. Gerakan Rinay yang terbatas membuat Bagas berhasil meraih dan menggenggam tangannya dengan erat.“Lepaskan, Mas! Jangan sentuh aku!” bentak Rinay menolak. Namun, Bagas dengan kencang mencengkramnya.“Hey! Lepaskan! Berapa kali lagi kubilang janga
“Apa maksudmu Rinay masih hamil?” tanya Aldo heran. Pria itu mengernyitkan keningnya dengan kencang.“Rinay! Jawab dengan jujur, aku mau mendengar dari mulutu! Bagaimana bisa kau masih hamil, Nay?!” Bagas mengguncang bahu Rinay diiringi tatapan tajam.“Sakit, Mas!” sergah Rinay meringis.“Jadi kau sebenranya sudah tahu kalau dia hamil? Dan kau bertanya kenapa dia masih hamil? Maksudmu apa?” Aldo melepas cengkraman tangan Bagas di bahu Rinya.“Pak Aldo, saya masih menghormati Anda sebagai mitra bisnis perusahaan mertua saya yang paling kompeten. Tolong jangan pancing saya bersikap kurang ajar! Ini urusan saya dengan istri saya, tolong jangan ikut campur!,” bentak Bagas.“Rinya, bicaralah! Apa maksud kalimat laki-laki tengik ini?” Aldo tak menghiraukan perkatan Bagas.“Bukan urusan kamu, bangsat!” Bagas mendorong bahu Aldo. Keributan kembali terjadi. Kedua laki-laki itu saling pukul, saling tendang. Mereka bergumul di lantai ruangan.Dua orang perawat yang mendengar dari meja jaga d
“Hati-hati jalannya! Aku tak mungkin menuntunmu, kau harus bisa jalan sendiri!” kata Aldo begitu mereka tiba di rumah.“Baik, Pak,” sahut Rinay pelan. Pelan dia turunkan kaki kirinya, berpegangan [ada daun pintu mobil, dia turunkan lagi kaki kanannya. “Auuw!” ringisnya bersender ke dinding mobil. Jemarinya memijit kening.“Kau kenapa? Aku sudah bilang hati-hati, bukan?” sergah Aldo spontan. Tangannya terjulur hendak memegangi bahu Rinay.“Tidak usah, Pak! Saya bisa jalan sendiri! Saya hanya pusing sedikit!” tolak Rinay cepat.“Hem, bagus! Aku akan panggilkan Ningrum untuk membantumu masuk! Tunggu di sini!” titah Aldo menarik tangannya kembali. Pria itu buru-buru berjalan masuk. Namun, belum juga sampai di ruamg tamu, sudah terdengar suara tangis Deo yang mengoar.Setengah berlari pria itu menapaki anak tangga menuju ke lantai dua. Dia lalu bergegas menuju kamar putranya.“Deo!” panggilnya menyerbu masuk ke dalam kamar.“Kamu sudah pulang, Mas?” Maya menyambutnya dengan wajah pani