“Maya?” gumam Aldo tak sadar malah melebarkan daun pintu.Rinay yang baru keluar dari kamar Deo harus melewati kamar Aldo untuk menuju tangga turun. Wanita itu tak sengaja melirik kamar sang majikan sambil berjalan. Repleks langkahnya terhenti sesaat. Pemandangan di dalam sana teramat mengagetkan. Maya, istri sang Bos yang baru saja kembali dalam keadaan tak berbusana, berdiri dengan bebasnya di depan lemari pakain yang tersedia di sana. Sementara Aldo berdiri tegak menatap sang istri dari posisinya.Rinay segera berpaling, menarik napas sejenak menetralkan aliran darahnya yang tiba-tiba berubah cepat. Lalu, dengan berjingkat dia berjalan melnjutkan langkah menuju tangga. Pak Aldo tak boleh tahu, kalau dirinya telah melihat pemandangan vulgar itu. Begitu pikirnya.“Pakaianku semuanya masih tersusun rapi di sini. Persis seperti lima bulan yang lalu saat aku meninggalkannya. Terima kasih, Mas!” ucap Maya menoleh kepada Aldo. Saat itulah baru dia sadar, kalau pintu kamar dalam kead
“Ibu, maaf!” ucap Rinay terkejut.“Ke dapur kamu! Tidak sopan!” ketus Maya seraya menarik kasar lengan Rinay keluar dari kursi yang didudukinya.“Lepaskan dia, Maya! Aku yang memintanya duduk dan makan di situ!” teriak Aldo menghentikan perbuatan Maya.“Kenapa, Mas? Sejak kapan seorang babu boleh makan semeja dengan majikannya? Begini perubahan yang terjadi di rumah ini setelah aku tinggal baru beberapa bulan saja, iya?” sergah Maya. “Kamu, apa lagi yang kamu tunggu! Pergi ke dapur!” perintahnya lagi melotot tajam kepada Rinay.“Baik, Bu.” Rinay hendak berjalan menuju dapur.“Tidak ada yang makan di dapur! Rinay, duduk!” Aldo kembali menghentikan Rinay. Rinay kebingungan. Perintah siapa yang harus dia dengarkan.“Ke dapur!” Tiba-tiba Maya mendorongnya dengan kasar. Hampir saja Rinay terjungkal kalau saja tidak berpegangan pada sudut meja makan. Repleks Aldo mengejarnya.“Cukup, Maya!” bentaknya kepada Maya. Pria itu tampak emosi.“Kamu tidak apa-apa? Kamu duduk saja, ayo! Duduk di
“Oh, orang tua Rinay datang dari kampung?” tanya Aldo mengulang kalimat Bagas.“Bapak dan Ibu … datang?” sergah Rinay terkejut. Wajahnya berubah tegang, ada gelisah, cemas dan berbagai perasaan lainnya yang mengaduk.“Iya, Nay. Bapak sama Ibu datang dari kampung. Mereka tadi langsung ke rumah Papa. Belum sempat bertemu Mama dan Papa memang. Kebetulan Papa dan Mama sedang ada urusan di luar. Jadi, hanya bertemu denganku. Atas saran Bik Lastri, mereka langsung aku antarkan ke rumah putri Bik Lastri yang di Jalan Ladang Bambu. Mereka menunggumu di sana,” tutur Bagas menerangkan.“Kenapa Bapak dan Ibu menyusul ke kota?” lirih Rinay semakin cemas.“Mereka pasti ingin mencarimulah, makanya jangan minggat! Kita ke sana sekarang, ayo!” ajak Bagas hendak menarik tangan Rinay.“Aku akan jalan sendiri!” Rinay menepis tangan Bagas. “Pak, Aldo, saya ijin, ya, saya mau bertemu orang tua saya, sebentar saja. Saya sangat khawatir, pasti mereka sangat cemas,” pamit Rinay kepada Aldo, seraya bang
****Di ruang makan, Aldo terlihat tak tenang. Melepas Rinay pergi bersama Bagas, serasa seperti melepas seekor ikan segar ke mulut kucing jantan yang tengah lapar. Pikiran buruk melintas, membuat pria itu uring uringan.“Aku tidak akan bisa tenang kalau ini dibiarkan,” resahnya seraya menekan tombol intercom. “Ikuti mobil Bagas! Jaga Rinay, lapor padaku apapun yang terjadi!” ucapnya memberi perintah.Sementara di luar, Bagas dan Rinay sudah sampai di halaman.“Masuklah!” kata Bagas membukakan pintu mobil buat Rinay.“Aku di belakang saja,” tolak Rinay membuka pintu kabin tengah. Namun gagal, pintu itu sengaja dikunci oleh Bagas.“Di sini saja, cepat! Pak Aldo tidak memberi kamu banyak waktu, bukan?” tukas Bagas memaksa.Rinay terpaksa mengalah. Dia masuk ke dalam mobil di jok depan. Bagas menutup pintu dengan sedikit kencang. Pria itu lalu memutar masuk dari pintu kanan mobil di jok depan, tepat di belakang kemudi mobil. Fotuner putih itu lalu melaju dengan kecepatan pelan, ke
“Lepaskan aku, Mas!” Rinay berusaha memberontak.“Tidak! Dengarkan aku dulu makanya! Kamu harus ikut aku sebentar saja. Sampai jam sebelas malam waktu yang diberikan oleh Pak Aldo, bukan? Kita gunakan waktu itu! Aku akan membawamu ke hotel terdekat! Aku sangat merindukan kamu, Nay! Aku merindukan tubuhmu! Aku mau ngeluarin, Nay! Seperti dulu, tolong, Sayang!” Bagas memeluk erat pinggang Rinay. Menciumi punggung dan tengkuk wanita itu dengan penuh nafsu.“Aku tidak mau! Aku jijik sama kamu, Mas! Lepaskan aku! Biarkan aku turun!” Rinay tetap berusaha memberontak. Gerakan itu membuat pelukan Bagas berpindah ke bagian pinggang. Tangan Bagas melingkar dan mecekal perut Rinay dengan sangat kencang.“Jangan di perutku, Mas! Jangan pencet perutku! lepaskan perutku!” teriak Rinay memohon. Dia khawatir janin di dalam rahimnya kenapa napa. Itu membuat gerakannya untuk memberontak terpaksa terhenti.“Kenapa perutnya, Sayang?” tanya Bagas menarik nafas lega. Dia berhasil menaklukkan Rinay. Wan
“Nay! Rinay … kamu dengar suara saya, Rinay ….” tanya Aldo panik saat melihat Rinay tak lagi merintih. Wanita yang tergolek di sampingnya itu hanya diam, tak ada sahutan.“Rinay! Kamu kesakitan banget, ya? Rinay … jawab aku! Rinay ….”Tetap tak ada sahutan. Rinay pingsan.Bagai kesetanan Aldo melarikan mobilnya. Lima belas menit kemudian, dia menemukan sebuah rumah sakit besar. Mobil dia arahkan langsung ke depan UGD.“Cepat, Suster! Tolong cepat!” teriaknya begitu menepikan mobilnya.Dua orang petugas rumah sakit datang sambil mendorong sebuah bankar. Tubuh Rinay mereka pindahkan ke atas bed dorong itu. Lalu dengan tergesa, mereka dorong bankar memasuki ruang UGD.“Bertahan, ya, Rinay! Kamu akan baik-baik saja! Bertahan, ya!” pinta Aldo tak sadar menggenggam telapak tangan Rinay. Pria itu ikut berjalan dengan langkah panjang mengikuti roda nakar yang berputar. Matanya tak lekang menatap wajah Rinay yang kini semakin megapas. Bibir wanita itu yang biasanya terlihat begitu ranum
“Ya, istri Anda hamil, Pak Aldo.” Doter David mengulang informasinya.“Ha-hamil?” sergah Aldo tercekat. Sontak pria berusia tiga puluh dua tahun itu menoleh ke arah bankar. Rinay masih terbaring lemah di sana.“Em, selamat, ya? Tapi, maaf, kenapa Bapak terlihat kaget?” Dokter David memindai lekat wajah Aldo.“Dia … dia …. Oh, namanya Rinay, dia pengasuh anak saya. Bukan istri saya,” kata Aldo masih menatap Rinay di bankar.“Maaf, saya kira istri Pak Aldo. Karena terakhir saya dengan kabar kalau Bu Maya sudah meninggal. Saya turud berduka cita, Pak Aldo.”“Terima kasih, Dok. Tapi, Maya sudah kembali. Dia tidak meninggal dalam kecelakaan itu.”“Loh, begitukah? Lalu?”“Dia selamat. Seseorang menyelamatkannya dari maut.”“Syukurlah kalau begitu.”“Tapi kami akan berpisah. Karena dia akan menikah dengan pria yang menyelematkannya itu.”“Oh, semoga Pak Aldo tabah dan ihklas.”“Saya sudah ihklas. Sekarang yang menjadi pikiran saya justru wanita itu.” Aldo menunjuk Rinay dengan dagunya. Set
“Kenapa? Apa kata Bik Yuni? Pasti Maya yang memaksanya menelpon kamu, kan?” tuduh Aldo langsung curiga.“Bukan sepertinya, Pak. Kata Bik Yuni Den Aldo nangis gak berenti berenti.” Rinay yang masih begitu lemah terlihat tegang.“Deo? Deo menangis saja?” sergah Aldo ikut tegang.“Ba-baik, Bik! Aku segera pulang. Tolong tenangkan dulu Den Deonya, ya!” kata Rinay menutup telepon. Itu mengejutkan Aldo.“Ada tiga perempuan di rumah, tapi tak ada yang bisa menenangkan Deo?” sesalnya memukul kasur bankar.“Saya mau pulang! Tolong panggilkan perawat untuk melepas jarum infus ini! Tolong panggilkan, Pak!” kata Rinay memohon.“Apa? Kamu tidak dengar tadi aku biilang apa? Habiskan dulu satu botol infus ini, baru kau boleh pulang!” Suara Aldo meninggi. Kekesalannya kepada orang yang menjaga Deo di rumah, tak sadar dia limpahkan kepada Rinay.“Saya sudah kuat, Pak! Den Aldo bru saja keluar dari rumah sakit. Saya enggak mau di kenapa-napa! Tolong panggilin perawat, atau aku tairk paksa aja jarum inf