“Ya, ini aku, Maya. Maaf, Mas Aldo. Aku nekat datang ke sini karena biar bagaimanapun rahasia besar ini sudah terbongkar. Tak ada gunanya ditutupi lagi.” Perempuan yang berambut ikal sebahu melangkah gontai memasuki ruang keluarga. Wajah kusam serta pakaian penuh debu jalanan melekat di tubuhnya.“Sama siapa kamu ke sini? Kau diantar oleh pasangan mesummu itu?” Aldo mengernyitkan dahi dengan kencang. Matanya liar mencari sosok Agam ke arah depan.“Aku sendirian, Mas. Aku sudah memutuskan hubungan dengan Mas Agam. Dia bukan siapa-siapaku lagi,” kata Maya tegas. Kini dia sudah berdiir tepat di hadapan Reni dan Aldo.“Kamu, Maya? Tidak mungkin! Ini bukan Maya! Kamu bukan, Maya, kan? Tidak ush ngaku-ngaku!” Reni bangkit dari duduknya, langsung mencengkram kuat lengan wanita itu. “Pergi dari sini! Jangan ganggu rumah anakku!” katanya seraya menarik paksa lengan Maya keluar dari ruangan itu.“Aku Maya, Mama! Mama juga tahu, kalau aku ini beneran Maya! Sudahlah, rahasia ini sudah terbon
“Mama tidak akan meninggalkanmu, Aldo! Kau anak laki-laki mama satu-satunya! Biarkan mama tetap tinggal di sini, Nak!” Reni memelas.“Maaf, Ma! Beri aku waktu untuk berpikir. Ini terlalu sulit untuk aku percaya! Tolong, sementara jangan dulu menunjukan wajah Mama di depanku. Bukan maksudku mau durhaka. Tapi, aku sudah terlanjur sangat kecewa.” Aldo memalingkan wajahnya.“Aldo .… Tolong jangan usir Mama! Mama sayang sama kamu, Nak! Semua yang mama lakukan ini untuk kebaikan kamu!” Reni kembali memohon.“Bawa dia pergi!” titah Aldo tegas.“Kita berangkat, Bu!” Anggota Aldo menarik tangan wanita itu dengan paksa.“Semua ini gara-gara kamu, Maya! Kenapa kaum balik ke sini lagi! Aku sudah membayar mahal kepada orang tuamu! Bapakmu sudah aku belikan kebun sawit selebar sepuluh hektar di kampung sana! Kurang apa lagi, hah! Kenapa kalian tidak bisa menjaga rahasia ini! Kau kembali ke sini, untuk apa, Maya! Kau mau kembali menjaid istri Aldo, iya? Dengar, sampai kapanpun, aku tak akan pernah
“Mas Aldo …?” lirih Maya menatap Aldo dengan sorot mata yang kian sayu.“Kenapa? Kau mau membantah? Kau membantah kalau kau sudah tidur dengan laki-laki mesum itu?” cetus Aldo dengan ekspresi kecewa. Maya hanya menunduk. Tak ada kalimat yang bisa dia ucap untuk membela diri. Perkataan Aldo benar adanya. Bahkan sang suami telah menangkap basah sendiri. Aldo menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri saat Maya dan Agam tengan melakukan hubungan yang layaknya dilakukan oleh sepasang suami istri.“Aku memang sangat bahagia karena ternyata kau belum mati, Maya. Aku telah menemukanmu kembali. Namun, sayang sekali. Aku menemukanmu dalam keadaan tengah melakukan perbuatan yang paling hina. Bahkan seorang sundal, masih tau tempat di mana dia boleh melakukan perbuatan itu. Sedang kau? Kau melakukannya di rumah ibumu, di depan mataku, di depanku … Maya … seorang laki-laki yang masih berstatus suamimu!”“Mas …!”“Lima bulan aku menjalani ini, Maya. Lima bulan aku tak henti menangisi kematianmu.
“Baik, malam ini kau kuijinkan menginap di sini. Ingat, hanya untuk malam ini.”Aldo bangkit dari duduknya lalu bergegas meninggalkan Maya yang masih terduduk di lantai ruang keluarga itu. Pria tegap bertubuh sangat atletis itu berjalan menuju tangga. Dengan cepat dia menapaki anak tangga satu demi satu. Kamar Deo adalah tujuannya. Hatinya yang mengarahkan ke sana. Aldo tak paham dengan jelas, apakah itu karena keinginan melihat kondisi Deo setelah pulang dari perjalanan panjang dan melelahkan tadi, atau ada maksud yang lain. Sementara di lantai satu, Maya juga mulai bangkit dari duduknya. Senyum samar terukir di sudut bibirnya. Satu malam yang disediakan oleh Aldo untuknya, akan dia gunakan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya.Dia lalu bangkit, berjalan menuju anak tangga. Dengan langkah hati-hait, dia menapaki satu persatu anak tangga. Kamar utama yang terletak di lantai dua itu, adalah tujuannya. Kamar yang dulu dia tempati bersama Aldo suaminya. Kamar penuh cinta, tempa
“Kenapa kamu teledor sekali?!” Bik Yuni bersungut-sungut saat Aldo sudah melangkah menuju pintu kamar. Pria itu terlihat merah padam karena dipergoki Bik Yuni tengah bersetatap dengan Rinay, pengasuh putranya.“Aku enggak sengaja, Bik. Celana dalamku tercecer saat buru-buur mau mindahin Den Deo ke tempat tidurnya tadi.” Rinay membela diri.“Ngapain kamu pegang-pegang celana dalam?” sesal Bik Yuni.“Aku baru aja selesai mandi, gati baju. Pak Aldo ketuk pintu. Cepat-cepat aku gulung saja pakain bekas kupakai tadi. Engga sadar kalau celanaku tidak tergulung utuh. Bagaimana ini, Bk? Pak Aldo marah enggak, ya? Aku takut dipecat karena udah teledor gini, Bik,” kata Rinay ketakutan.“Ya, kita tunggu saja. Biasanya Pak Aldo itu memnag snagat tegas. Tapi, biasanya juga dia spontan kalau mmenag marah. Buktinya tadi dia tidak bilang apa-apa, kan? Cuma wajahnya saja yang merah padam. Mudah-mudahan tidak sampai memecat kamu. Ya, sudah, kamu makan dulu sana, biar bibik yang jagain Den Deo.”“Ba
“Maya?” gumam Aldo tak sadar malah melebarkan daun pintu.Rinay yang baru keluar dari kamar Deo harus melewati kamar Aldo untuk menuju tangga turun. Wanita itu tak sengaja melirik kamar sang majikan sambil berjalan. Repleks langkahnya terhenti sesaat. Pemandangan di dalam sana teramat mengagetkan. Maya, istri sang Bos yang baru saja kembali dalam keadaan tak berbusana, berdiri dengan bebasnya di depan lemari pakain yang tersedia di sana. Sementara Aldo berdiri tegak menatap sang istri dari posisinya.Rinay segera berpaling, menarik napas sejenak menetralkan aliran darahnya yang tiba-tiba berubah cepat. Lalu, dengan berjingkat dia berjalan melnjutkan langkah menuju tangga. Pak Aldo tak boleh tahu, kalau dirinya telah melihat pemandangan vulgar itu. Begitu pikirnya.“Pakaianku semuanya masih tersusun rapi di sini. Persis seperti lima bulan yang lalu saat aku meninggalkannya. Terima kasih, Mas!” ucap Maya menoleh kepada Aldo. Saat itulah baru dia sadar, kalau pintu kamar dalam kead
“Ibu, maaf!” ucap Rinay terkejut.“Ke dapur kamu! Tidak sopan!” ketus Maya seraya menarik kasar lengan Rinay keluar dari kursi yang didudukinya.“Lepaskan dia, Maya! Aku yang memintanya duduk dan makan di situ!” teriak Aldo menghentikan perbuatan Maya.“Kenapa, Mas? Sejak kapan seorang babu boleh makan semeja dengan majikannya? Begini perubahan yang terjadi di rumah ini setelah aku tinggal baru beberapa bulan saja, iya?” sergah Maya. “Kamu, apa lagi yang kamu tunggu! Pergi ke dapur!” perintahnya lagi melotot tajam kepada Rinay.“Baik, Bu.” Rinay hendak berjalan menuju dapur.“Tidak ada yang makan di dapur! Rinay, duduk!” Aldo kembali menghentikan Rinay. Rinay kebingungan. Perintah siapa yang harus dia dengarkan.“Ke dapur!” Tiba-tiba Maya mendorongnya dengan kasar. Hampir saja Rinay terjungkal kalau saja tidak berpegangan pada sudut meja makan. Repleks Aldo mengejarnya.“Cukup, Maya!” bentaknya kepada Maya. Pria itu tampak emosi.“Kamu tidak apa-apa? Kamu duduk saja, ayo! Duduk di
“Oh, orang tua Rinay datang dari kampung?” tanya Aldo mengulang kalimat Bagas.“Bapak dan Ibu … datang?” sergah Rinay terkejut. Wajahnya berubah tegang, ada gelisah, cemas dan berbagai perasaan lainnya yang mengaduk.“Iya, Nay. Bapak sama Ibu datang dari kampung. Mereka tadi langsung ke rumah Papa. Belum sempat bertemu Mama dan Papa memang. Kebetulan Papa dan Mama sedang ada urusan di luar. Jadi, hanya bertemu denganku. Atas saran Bik Lastri, mereka langsung aku antarkan ke rumah putri Bik Lastri yang di Jalan Ladang Bambu. Mereka menunggumu di sana,” tutur Bagas menerangkan.“Kenapa Bapak dan Ibu menyusul ke kota?” lirih Rinay semakin cemas.“Mereka pasti ingin mencarimulah, makanya jangan minggat! Kita ke sana sekarang, ayo!” ajak Bagas hendak menarik tangan Rinay.“Aku akan jalan sendiri!” Rinay menepis tangan Bagas. “Pak, Aldo, saya ijin, ya, saya mau bertemu orang tua saya, sebentar saja. Saya sangat khawatir, pasti mereka sangat cemas,” pamit Rinay kepada Aldo, seraya bang