Belum dua tahun, Jingga sudah harus merasakan mulas dan ‘nikmatnya’ melahirkan.Semua rasa yang Jingga dapatkan saat melahirkan Javas saja masih bisa dia ingat dengan jelas.Semua ini gara-gara Biru yang memaksakan kehendak ingin menyusul Davian dan Cinta dalam urusan anak.Sungguh, sampai detik ini Jingga dendam kesumat kepada suami lucknut-nya itu. Jadi ketika sekarang dia merasakan kontraksi yang hebat dalam masa pembukaan sebelum melahirkan, Jingga hanya bisa diam membungkam mulutnya dan enggan menatap wajah Biru.Mata Jingga terpejam semenjak dia memasuki ruangan ini.“Sayang …,” lirih Biru sembari mengusap kepala Jingga.Sengaja Jingga memejamkan matanya sebagai bentuk protes dan tentu saja Biru sebagai suami yang sudah hidup bersama Jingga selama kurang lebih tiga tahun tentunya tahu kalau sang istri tengah memendam kesal.“Sayang, tahan ya … sabar ….” Biru memberi semangat.Kelopak mata Jingga kontan terbuka, melotot pada Biru.“Sabar … sabar … tahan … tahan … coba deh kamu r
“Udaaah … udaaah, jangan cengeng ah … kamu itu laki-laki, udah besar juga!” Mami mengusap-ngusap punggung Biru yang masih belum berhenti meraung di pangkuannya.“Jingganya udah siuman tuh, kamu temui dia sekarang,” ujar papi agar Biru berhenti menangis.Jadi semenjak Jingga tidak sadarkan diri tadi usai melahirkan anak mereka, Biru menangis tersedu seperti anak kecil, dan sekarang ketika Jingga sudah siuman, bukannya segera menemui istrinya malah menangis di pangkuan mami.Semua rasa bercampur menjadi satu tapi penyesalan mendominasi, tubuh Biru sampai lemas sekali.Dia menegakan punggung, mengusap air mata di wajah menggunakan punggung tangan, jangan sampai kedua mertuanya dan Jingga tahu kalau dia barus selesai menangis kejer.Biru pikir akan kehilangan Jingga, bila sampai terjadi maka dia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri.“Badan aja gede, nangis kaya anak kecil … setiap orang yang lewat taman ini pasti noleh ngeliat kamu, disangkanya kamu ditinggal meninggal istri.”“Pii
“Cintaaaa … ini Bara nangis, kamu susui dulu.” Mami masuk ke dalam kamar Cinta yang sedang tidur siang bersama Kiana.“Aduh Miiii, ‘kan ada susu formula … pake susu formula aja … Cinta ngantuk, nanti malem harus begadang.”Cinta malah balas merengek.“Cinta … susu formula itu dikasih sama Bara kalau ASI kamu lagi enggak ada aja, perjanjiannya Bara minum susu formula karena nyusunya kalau anak laki-laki ‘kan memang banyak, bukan karena kamu males menyusui.” Mami mengomel membuat pening kepala Cinta.“Miiii … Ssttt … Ssttt … berisik Mi, Kiana lagi bobo.” Cinta menempelkan telunjuknya di bibir dengan mata masih terpejam seakan rugi bila membuka mata karena mungkin nanti ngantuknya bisa hilang.“Kamu itu ya, bikin anak aja terus … tapi ngurus enggak mau.” Mami masih ngomel seiring langkahnya keluar kamar membawa Bara yang tengah menangis karena lapar.“Nan … buatkan susu formula untuk Bara lalu bawa ke bawah,” titah Mami yang mendapat anggukan dari Nanny.Secepat kilat Nanny pergi ke kama
Davian menarik langkah menjauh dari ruang televisi, meniti anak tangga untuk tiba di kamar.Sesampainya di kamar, kegelapan menyambutnya.Samar dia melihat Cinta dan Kiana berbaring di atas ranjang.“Sayang, udah lewat maghrib lho … masa belum bangun?” Davian berujar lembut saat Cinta menggeliat karena terusik lampu kamar yang dinyalakan Davian membuat ruangan itu terang benderang.“Kan aku nanti malem begadang, Mas.” Cinta menyahut dengan suara parau.“Pappiii … Papapiiii.” Kiana yang ikut bangun langsung mendudukan tubuhnya sembari memanggil sang papi.“Waaah, Kakak udah bisa manggil Papi?” Cinta begitu takjub.“Coba panggil, Buundaaa … Bun … daaaa.” Cinta menuntun, ingin juga disebut oleh Kiana.Tapi Kiana hanya bisa menggerakan bibirnya tanpa suara.“Yaaaah, kamu pilih kasih …,” kata Cinta sembari menjawil hidung Kiana lalu turun dari tempat tidur.“Mas, panggil Nanny-nya Kiana ya … suruh mandiin sama kasih makan Kiana… aku mau mandi dulu,” titah Cinta kepada suaminya seraya melen
“Loh Nan, anak-anak kenapa nangis?” Bunda yang baru saja datang langsung menuju lantai dua karena mendengar suara tangis cucu-cucunya.“Ini Bu, tadi Bara bangun karena popoknya penuh … terus nangis karena mungkin masih ngantuk, Kiana jadi kebangun karena berisik mendengar suara tangis Bara, Kiana yang masih ngantuk juga jadi ikutan nangis,” tutur Nanny-nya Bara karena Nanny-nya Kiana sedang membuat susu formula.“Cinta mana?” Bunda bertanya, beliau menggendong Kiana yang menangis dari atas ranjangnya.Nanny-nya Kiana langsung memberikan botol susu kepada Kiana juga Bara yang digendong oleh Nanny-nya begitu dua botol susu formula itu selesai dia buat.“Ibu di kamar,” jawab Nanny-nya Bara.“Lagi ngapain?” Bunda bertanya lagi.Nanny Bara melirik kepada Nanny Kiana, keduanya lantas menggelengkan kepala setelah mengalihkan tatap pada bunda.“Kamu panggil donk, siapa tahu enggak denger.” Bunda jadi gemas.“Enggak berani, Bu … takut ganggu.” Nanny Kiana yang berani bicara seperti itu.“Masa
“Baik Pak, Baik … saya akan coba koordinasi dengan tim ….” Jingga mengangkat tangan lalu mengayunkannya.Gesture tubuh Jingga mengusir Nanny yang sedang menggendong putri mereka yang tengah menangis tertangkap jelas oleh indra penglihatan Biru ketika dia baru saja masuk ke dalam kamar.Biru menatap Jingga tidak suka, sang istri hanya menatapnya sebentar lantas pergi ke balkon melanjutkan percakapan dengan bosnya yang sekilas Biru tangkap dari cara bicara Jingga.“Buat susu formula ya, Nan … sini, Zia saya gendong.” “Iya, Pak ….” Nanny-nya Zia memberikan Zia yang masih menangis kencang kepada Biru.“Sayang … sayang Papi … laper ya sayang?” Biru menggerakan tubuhnya berharap Zia berhenti menangis karena perhatiannya teralihkan oleh guncangan tubuh sang papi.Namun hingga Nanny kembali membawa botol susu, tangis Zia barulah berhenti.Mulut Zia mengisap kencang dot dari botol susu dengan mata terpejam.Jejak buliran kristal di bawa mata tampak mengalir ke sisi wajah.Biru menatap iba pa
Cinta memutuskan melanjutkan kuliah tahun ini agar bisa terbebas dari tugasnya mengasuh Kiana dan Bara.Seharian ini Cinta dibantu orang suruhan papi menyelesaikan administrasi di kampus.Dia duduk di samping pria yang usianya hanya terpaut lima tahun di atas Biru.Cinta memanggilnya dengan sebutan om Ridho.“Om … lama banget ya.” Cinta menghentakan kakinya merengek.“Sabar sebentar … walau papi kamu Jendral … kita enggak bisa seenaknya,” ujar om Ridho yang sebenarnya dia juga lelah menjadi Baby sitter Cinta hari ini.“Huuufffttt.” Cinta menyandarkan punggung, kepalanya menengadah dengan mata terpejam.“Cinta beli kopi dulu ya, Om mau enggak?” Cinta yang bokongnya sudah panas setelah berjam-jam duduk di sana pun bangkit dari kursi.“Mau donk,” kata om Ridho menyahut.Cinta pergi dan tidak lama kembali membawa dua cup berisi kopi di tangan.“Udah beres Om?” Cinta bertanya sembari memberikan satu cup kopi.“Belum, Cintaaa … tuuuh, orang-orang di sini juga masih pada nunggu … sama kaya k
“Eeeh … ketemu lagi.” Suara berat yang familier di telinga Cinta itu membuat Cinta mengangkat pandangan dari buku yang sedang dia baca. “Raja? Kamu di kelas ini juga?” Mata Cinta membulat, senyumnya lebar sekali. Raja menganggukan kembali, membalas senyum Cinta dengan senyum bahagia yang sama sembari menyimpan tas di atas meja. “Udah ada teman belum?” Raja berbisik. “Belum, biarin aja lah … lagian cuma empat semester.” Raja mengangguk setuju. Tidak lama dosen datang dan seisi kelas langsung hening tenggelam dalam materi yang sedang dibahas. Tanpa terasa tiga SKS mereka lalui, ada jeda dua jam hingga mata kuliah selanjutnya dimulai. “Mau ke mana sekarang?” Raja bertanya seraya memasukan MacBook ke dalam tas. “Makan dulu lah, laper.” Cinta mengerutkan wajah. Dia memang lapar sekali karena tidak sempat sarapan, tadi pagi buru-buru pergi ke kampus setelah menyusui Bara. “Ayo, kita makan.” Raja bangkit dari kursi. Mereka berdua langsung jadi bestie karena tidak ada lagi teman se