"Mas, pasti setelah ini keluargaku akan menanyakan lagi tentang acara silaturahmi," kata Senja setelah mereka berdua berbaring di kamar siang itu setelah Salat Zhuhur."Nanti malam aku akan bicara sama Ibu. Aku sudah memutuskan kalau lebih baik kita berterus terang saja. Kurasa ini jauh lebih baik. Ibu pasti bisa memahami, apalagi kita besok isbat nikah juga ke KUA. Jadi beliau tak akan ragu lagi."Senja mengangguk. Pendapat suaminya ada benarnya juga. Untuk apa ditutupi dan mau sampai kapan begini. Mereka juga nggak akan kembali mengulang membayar orang untuk pura-pura jadi kerabat. Ini akan lebih membuat keluarganya kecewa jika tahu. "Apa perlu membayar orang lagi, Mas?" tanya Senja tampak ragu. Sebab ini hal konyol yang tak mungkin dilakukan lagi.Sabda tersenyum. "Tentu semua tak sebercanda ini lagi, Sayang. Bisa saja kamu ini," jawab Sabda sambil meraih dagu istrinya, lantas mencium bibir itu."Sudah, kamu istirahat dulu. Nanti malam kita bicara dengan ibu."Senja memeluk lengan
Malam hening dan tenang. Suara kodok masih bersahutan. Mereka masih duduk di atas sajadah setelah selesai Salat berjamaah. Senja juga masih memakai mukenanya."Lusa aku akan menemui Papa di kantornya. Aku harus mengajak beliau bicara mengenai masalah tadi siang. Aku juga akan menemui mama jika ada kesempatan.""Kesempatan harus dicari, Mas. Jangan hanya menunggu saja. Kata ibu tadi, kalau bisa aku harus bertemu beliau juga. Harus tetap menjalin silaturahmi."Sabda memandang istrinya. "Ibu benar. Tapi kamu belum tahu Mama itu bagaimana. Kamu sedang hamil, aku tak ingin mama menyakitimu meski hanya dengan kata-katanya." Senja memperhatikan suaminya yang sedang bicara. Sepertinya Sabda tidak akan mengizinkannya bertemu dengan mama mertuanya. Senja akan nurut. Sebab Sabda yang lebih tahu bagaimana mamanya. Di raihnya Senja dalam dekapan. Sabda benar-benar tidak ingin mamanya mengamuk ketika Senja datang. Dengan dirinya saja Bu Airin bisa secuek itu, bagaimana sikapnya pada Senja? Bisa j
Perasaan Senja berkecamuk tidak menentu. Ada cemas, was-was, dan juga takut. Takut bakalan terjadi keributan antara Sabda dan Arga. Di dalam sana, ia yakin Arga tidak sendirian. Mungkin berdua dengan tunangannya.Genggaman tangan Arga makin erat saat mengucapkan salam dan melangkah memasuki pintu. Di ruang keluarga itu sepi. "Ndoro Putri sama Ndoro Kakung ada di ruang santai belakang, Den Sabda," seorang ART setengah baya muncul dari dalam dan memberitahu Sabda. Wanita itu juga mengangguk sopan pada Senja.Sabda mengajak istrinya ke belakang, tanpa melepaskan genggaman tangannya. Mereka melewati ruangan demi ruangan besar dengan desain interior yang di dominasi warna emas dan putih. Mewah dan elegan.Ketika Sabda dan Senja muncul di pintu yang menghubungkan antara ruang dalam dan ruang santai di bagian belakang, membuat keempat orang di sana sontak menoleh pada Sabda dan Senja.Tidak hanya Arga dan Citra saja yang kaget, Kakek dan Neneknya pun terkejut. Kedua orang yang telah berusia
Bagi Sabda sendiri sebenarnya tidak bermaksud memanas-manasi, dia melakukan itu secara natural karena Senja memang masih sungkan. Maklum baru pertama kali bertemu Kakek dan neneknya. Di samping ada beban yang dibawa, hubungan yang tidak tahu bisa diterima apa tidak oleh mereka."Kakek ingin kalian segera menikah. Mau nunggu apalagi. Kalian sudah sama-sama cukup umur. Kami juga masih ingin melihat kalian menggendong anak-anak kalian."Sabda memilih diam dulu. Jika ia memberitahu mereka sekarang, sudah pasti terjadi keributan antara dirinya dan Arga. Dan Arga pun diam, tidak membicarakan kenyataan yang sebenarnya. Kedua pria itu tidak ingin kakek dan nenek mereka melihat keributan yang bisa saja berakhibat fatal. Jika terjadi apa-apa, keduanya akan disalahkan oleh keluarga besar.Selesai makan, mereka tidak langsung pulang. Sabda menemani kakeknya yang kembali ke kandang burung. Citra bicara dengan Bu Tedjo, sedangkan Senja minta izin untuk Salat Zhuhur lebih dulu. Cukup lama ia berdiam
Mobil terparkir dan turunlah dua orang dari sana. Pak Dipta dan Bu Yola tampak kaget saat melihat Sabda dan Senja berdiri di dalam joglo. Wanita itu menatap Senja tak berkedip. Bagaimana bisa mereka di sana? Apakah mertuanya sudah tahu hubungan mereka? Sabda merangkul bahu istrinya dan mengajaknya menyambut kedatangan Om dan Tantenya. Mereka menyalami dua orang yang masih heran melihat Sabda dan Senja ada di rumah kakeknya."Apa kabar, Om?" sapa Sabda pada Pak Dipta. "Baik. Kalian sudah lama di sini?""Sudah sejak siang tadi, Om."Bu Yola tidak menyapa sama sekali pada mereka, wanita itu langsung menyalami dan mendekati kedua mertuanya. Kedatangannya bersama sang suami ke sana untuk membicarakan rencana pernikahan Arga setelah lebaran nanti. Dan dia yakin kalau Arga dan calon menantunya tadi pasti bertemu dengan Sabda dan Senja."Yola, ini istrinya Sabda. Sudah hamil sebelas minggu." Bu Tedjo bicara pada menantunya. Bu Yola tersenyum seraya menatap sekilas pada Senja. Hanya sejenak,
"Ma. Aku ke sini bersama Senja. Dia ditemani Bumi di luar. Apa sekali saja mama tak ingin melihat cucu mama yang masih berada di perutnya. Dia pinter lho, nggak rewel dan menyusahkan mamanya. Anteng juga saat di ajak bekerja. Kadang aku pengen menemani dia yang mengalami morning sickness. Tapi hingga sekarang, tak pernah dia mengalami itu. Persis seperti cerita mama waktu hamil aku dulu, 'kan?"Sabda tidak lelah bicara meski mamanya masih diam saja. Sebagai anak dia menempatkan posisi yang bersalah karena menikah diam-diam, tanpa minta restu terlebih dahulu. Sebagai anak dia tidak bisa menuruti keinginan orang tuanya untuk menikah dengan gadis pilihan mereka. Sabda tidak membenarkan sikapnya sendiri, demi memperbaiki hubungannya dengan orang tua, terutama dengan mamanya."Keluarga Senja mau umroh bareng-bareng, Ma. Bahkan rencana mau mengajak kami juga. Tapi karena Senja hamil dan takut dia kelelahan dan terjadi apa-apa, akhirnya aku dan Senja tak jadi ikut."Bu Airin kali ini benar-b
Senja membuatkan segelas air hangat untuk suaminya. Belakangan ini dia mengurangi minum teh. Paling hanya sekali di pagi hari saja. Di kantor juga minum air mineral. Terkadang kopi jika ia merasa ngantuk berat.Selesai Salat Asar, Sabda memandang istrinya yang sedang duduk di atas tempat tidur sambil memperhatikan kotak yang ada di tangannya. "Coba di buka!" kata Sabda setelah duduk di sebelah istrinya."Mas saja yang buka." Senja memberikan kotak pada suaminya. Dia jadi takut untuk membukanya sendiri. Pikirannya jadi menduga ke mana-mana."Nggak ada apa-apa. Sayang, yang buka. Kan aku temani di sini," jawab Sabda santai, tanpa curiga dan was-was. Sebenarnya Senja juga heran karena suaminya tidak menunjukkan rasa penasaran.Dengan tangan gemetar dan rasa penasaran, Senja segera mengoyak bungkusan yang dikemas sangat rapi. Sabda memerhatikan. Satu benda warna merah di bentangkan Senja, ia kaget melihat baju tidur yang sangat indah dan seksi di tangannya. Lingerie."Wow!'" seru Sabda sa
Sudah beberapa hari ini Citra mengabari kalau telah mengambil cuti. Di pingit katanya. Mereka juga mengurangi komunikasi di telepon. Cuman beberapa hari sebelumnya saja sempat bertemu untuk fitting baju pengantin. Banyak perubahan untuk gaun yang akan dipakai Citra. Menjelang menikah berat badannya susut beberapa kilo. Tampaknya dia juga terbebani dengan pernikahan itu. Seperti dirinya juga, tapi semua harus tetap berlanjut. Jika ingin semua aman sentosa damai sejahtera. Dan sampai sekarang pun Citra tidak memberitahu siapa pria yang disukainya. Arga tidak peduli jika itu akan tetap jadi rahasia.Bahkan Arga tidak peduli lagi dengan perasaannya, apa yang diinginkannya. Sebab apa yang dimau tak akan mungkin di dapatkan lagi. Tanpa sengaja ketika melihat Sabda mengusap perut Senja di rumah sang kakek, sewaktu reuni keluarga lebaran kemarin saja hampir membuatnya gila dan menggebrak meja. Pemandangan yang menyakitkan.Senja telah sempurna dimiliki, bahkan mungkin rasa untuknya tak ada la