Gadis itu tidak bisa mengehentikan senyum yang terus tercetak di bibir mungilnya, selama tiga bulan lamanya dia menunggu waktu ini, di mana Dira tersingkir dalam kehidupan Abi dan kini sudah tiba waktu itu. "Terima kasih Tuhan semua doa yang aku panjatkan kini Engkau mengabulkannya," ucap Nadya. Jemari gadis itu langsung memegang benda pipih untuk memberikan kabar pada sang ibu. Tidak membutuhkan waktu lama bagi sang ibu mengangkat telepon darinya. "Bu," sapa Nadya pada wanita yang sudah mengandungnya selama sembilan bulan itu. "Ada apa Sayang. Dari nada bicaramu sepertinya kamu sedang bahagia," ucap Lita yang berada di seberang sana. "Iya, Bu. Aku senang sekali, karena Kak Abi sudah mengusir Dira dari apartemen," ucap Nadya memberikan informasi pada Lita. "Benarkah, selamat Sayang. Sebentar lagi kamu akan menjadi Nyonya Sander. Tapi Ibu penasaran bagaimana bisa Dira diusir Abi?" Tanpa basa-basi lagi Nadya langsung menceritakan semua yang terjadi pada Dira dan dirinya. Tanpa me
Abi baru saja tiba di apartemen miliknya. Bola mata lelaki itu mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Dia mengakui jika apartemen itu benar-benar bersih meskipun terlihat sangat sepi.Abi ingat kejadian tadi pagi saat dirinya mengusir Dira. "Apa dia sudah pergi? Atau dia masih bertahan di apartemen ini?" Abi mencoba untuk mendekati kamar Dira. Ada setitik harapan di hati lelaki itu jika Dira akan memasang muka tebal untuk tetap tinggal di apartemen miliknya ini. Namun, sayangnya saat lelaki itu membuka kamar Dira, dia menemukan jika kamar itu kosong. "Apa yang kamu harapkan Abi, tentu saja dia akan pergi bersama dengan lelaki itu," gumam Abi memasang muka kecewa. Sesaat kemudian lelaki itu mencoba lagi untuk mengecek lemari, berharap jika sang istri hanya belum pulang di jam seperti ini. Dia ingat ucapan sang istri jika sudah mendapatkan pekerjaan. Namun, lagi dan lagi Abi nampak kecewa dia menemukan isi lemari itu kosong yang artinya Dira memang sudah pergi dari apa
"Hallo, Sayang. Apa kamu merindukan aku?" tanya Nadya yang baru saja menerima panggilan dari Abi. Sejak tadi Abi sudah memutari jalanan ibu kota guna mencari Dira. Namun, sayangnya nihil, Abi sama sekali tidak menemukan petunjuk dimana Dira kini berada. Hingga akhirnya dia menghubungi Nadya. "Iya, aku sangat merindukanmu. Rasanya baru saja berpisah, tapi aku selalu memikirkan dirimu," ucap Abi sedikit berbasa-basi. Dia tahu jika dirinya langsung pada tujuannya untuk menanyakan apakah Dira pulang ke rumah, tentu saja sang kekasih akan murka."Kamu kenapa tiba-tiba jadi romantis seperti ini? Baiklah apa yang kamu inginkan, Sayang?" tanya Nadya yang tahu karakter Abi. Kini dalam benak wanita itu timbul rencana untuk dia bisa mendapatkan tanda tangan yang tadi sempat tertunda. "Tapi sebelum aku mengabulkan apa yang kamu inginkan bisakah kamu memberikan tanda tangan pada dokumen klien kita. Aku tadi memperhatikan dirimu sama sekali tidak konsentrasi," imbuh Nadya sebelum Abi menjawab pe
Di luar ruangan Abi masih setia menunggu kabar dari dokter yang menangani Dira. Lebih tepatnya kabar dari musuh bebuyutannya. "Argh, sial! Kenapa dari sekian banyak dokter harus dia yang menangani Dira?" umpat Abi yang masih tidak rela jika Rico yang memberikan pelayanan untuk istrinya itu dan bodohnya dia tadi kenapa menerima saja. Abi kini bangkit dari tempat duduknya. Kaki jenjang lelaki itu kini berjalan mondar-mandir seperti tidak tenang. "Awas saja kalau dia main-main," ucap Abi mengepalkan kedua tangannya. Beberapa saat berlalu kini Rico baru saja keluar dari tempat di mana Dira mendapatkan perawatan. "Apa yang terjadi padanya?" tanya Abi dengan nada acuh tak acuh. "Apalagi kalau bukan kecapekan. Namanya juga penyakit tunawisma kan? Ah, iya. Setelah selesai perawatan aku akan menampung Dira," balas Rico. Jujur saja lelaki itu ingin memberitahu keadaan Dira yang sesungguhnya. Namun, lagi dan lagi Dira tidak ingin ada yang mengetahui tentang penyakitnya ini. Rico ing
Dira mengembangkan senyumnya. Baru kali ini wanita itu bersyukur saat sedang sakit. Iya, ternyata Abi tidak banyak mengucapkan kata dia justru langsung memperlihatkan dengan tindakan. Lelaki itu mungkin sadar jika Dira kelaparan lalu dia menawarkan bubur untuk makan malamnya. "Kenapa kamu senyum-senyum seperti itu?" tanya Abi saat tanpa sengaja memergoki Dira yang terus tersenyum sembari memandang dirinya. "Tidak, aku merasa rumah sakit ini seperti hotel bintang lima. Apa aku boleh berlama-lama di sini?" jawab Dira. Dira baru saja dipindahkan ke ruang rawat VIP sesuai permintaan Abi. Tidak hanya itu, lelaki itu kini bersama dengan Dira dan dengan telaten menyuapi dirinya. "Tinggalkanlah di sini, mungkin ginjal kamu yang akan menjadi jaminannya," ketus Abi. Meskipun begitu Abi merasa senang, tapi perasannya juga bercampur aduk seperti permen nano-nano saat bersama Dira saat ini. Ada rasa menggebu untuk bisa menjaga dia, tapi di lain sisi masih ada rasa benci pada wanita itu. Seket
Rico memandang lekat wajah Dira yang kini tengah menatap kosong ke arah pintu. Lelaki itu bisa membayangkan bagaimana perasaan Dira saat ini. Masih jelas terdengar di gendang telinga lelaki itu saat kata cibiran dan umpatan dilontarkan oleh Abi untuk wanita itu. "Dasar murahan! Kamu bilang jika kamu itu istriku, tapi lihatlah kamu saat ini saling mengungkapkan kata cinta dengan lelaki lain. Aku tidak pernah mengharap kamu hadir atau benar-benar ingin menjadi istriku, Andira Sabit. Tapi jujur aku sangat kecewa. Kamu benar-benar murahan dan wanita sial yang pernah aku kenal!" Rico mengingat setiap bait kata yang diucapkan Abi untuk Dira. Tidak heran jika saat tadi wanita itu berkata tidak berharap jika Abi memberikan belas kasian untuknya demi mempertahankan harga dirinya. "Dira," ucap Rico memanggil nama wanita itu agar fokusnya kembali. "Apa aku begitu memalukan dan sangat murahan?" tanya Dira meminta pendapat dari Rico dia sama sekali tidak bisa menerima semua perlakuan Abi. Dia
Di rumah sakit."Pa, Mama baik-baik saja. Hanya saja darah tinggi Mama naik," ucap Miranda melalui sambungan telepon. Wanita paruh baya itu baru saja selesai melakukan pemeriksaan. Beberapa hari yang lalu dia sering mengeluh sakit kepala. Sementara di seberang sana, Fauzan baru saja menghela napas lega. Meskipun dia sedikit kesal dengan sang istri karena dirinya ingin menemani ke rumah sakit, tapi ditolak oleh sang istri. "Kalau begitu Mama kapan pulang. Apa perlu Papa meminta Abi untuk menjemput Mama?" tanya Fauzan. "Tidak perlu, Pa. Kan sudah ada supir, sudahlah Pa. Mama tidak apa-apa, setelah ini pasti akan kembali sehat. Ini juga gara-gara menantu kita itu makanya Mama sering migrain," jawab Miranda.Sejak pertemuan dengan Dira waktu itu, Miranda selalu memikirkan hubungan Abi dengan Dira. Satu setengah bulan yang diminta Dira tentu saja ada maksud dibalik itu semua. Miranda mengingat betapa licik wanita itu, dia ingin memperingatkan Abi. Namun, sang anak sepertinya sudah bers
Kaki wanita paru baya itu tak lagi mampu menopang berat badannya. Rasa bersalah kini menyelimuti hatinya. "Apa yang sudah aku lakukan? Aku menghancurkan hidupnya?" tanya Miranda pada dirinya sendiri. Satu kalimat yang kini terus tersemat bagaikan pengingat untuknya. Kalimat yang diucapkan Dira. Aku juga tidak pernah berharap bisa menikah dengan keluarga Sander. "Lalu kenapa dia mau menikah saat itu? Ada apa sebenarnya di keluarga Sabit ini?" Miranda memikirkan semua hal yang kini menjadi teka-teki di benaknya. Semakin Miranda memikirkan semuanya kepalanya kembali berdenyut nyeri. "Sepertinya aku harus segera menemui Abi. Aku harus bertanya padanya, kali ini aku tidak boleh membuat keputusan begitu saja, apalagi keadaan Dira sekarang seperti itu." Miranda kini menahan rasa nyerinya dia langsung membulatkan tekad untuk menemui Abi di perusahaan. Namun, saat kaki wanita itu ingin melangkah meninggalkan rumah sakit. Suara Dira terdengar di gendang telinganya sontak membuatnya terkeju