Emily memandang sepasang pengantin yang baru saja selesai mengucapkan janji setia itu dengan perasaan hancur. Sepasang pengantin itu adalah Sandra, kakaknya dan Tomy, laki-laki yang telah beberapa tahun kemarin jadi kekasihnya. Mereka adalah dua orang yang sangat Emily sayangi yang ternyata tega mengkhianatinya.
Rasanya terlalu kejam bagi Emily yang harus menerima kenyataan kalau Sandra ternyata hamil karena hubungannya dengan Tomy selama ini di belakangnya. Emily merasa dunianya hancur! Bagaimana mungkin mereka tega menjalin cinta di belakangnya seperti itu? Bahkan hubungan yang mereka lakukan teramat jauh hingga menyebabkan Sandra hamil. Dua bulan sudah usia kandungannya. Dan mau tidak mau Sandra memang harus segera dinikahkan dengan Tomy, laki-laki yang telah menghamilinya.
Ketika Sandra dan Tomy mengungkapkan tentang pengkhianatan mereka itu, Emily merasa seperti dihantam gada raksasa hingga dia hancur berkeping-keping. Remuk tak berbentuk seperti gelas kristal yang dihempaskan kuat-kuat ke lantai. Tapi Emily cuma bisa menangis meski pun sesungguhnya dia ingin menjerit dan mencaci-maki keduanya. Ini jahat! Benar-benar jahat! Tak tahukah mereka seperti apa rasa sakit yang Emily rasakan? Rasa hatinya lebih perih dari pada dihujami dan dikoyak oleh ratusan belati! Bahkan Emily merasa lebih baik dia dijemput saja oleh kematian! Biar berakhir segala pedih dan luka ini! Biar sempurna kekalahan ini!
Ah, isak tangis ibunya menyadarkan Emily dari keinginan bodoh yang tadi menggoda hatinya. Mati? Tidak, nanti dulu! Bukankah kematian adalah sesuatu yang menakutkan? Dipendam dalam tanah yang gelap dan dingin! Sendirian, hanya ditemani oleh cacing-cacing tanah yang menjijikan! Tidak, Emily tak jadi menginginkan kematian. Meski pun perih luka yang telah mereka goreskan, tapi Emily menginginkan nyawanya tetap melekat di badan. Biarlah, mungkin dia memang harus bertahan.
Dengan berlinang air mata, Emily menatap pada wajah orangtuanya yang tampak lesu dihempas kecewa. Pengakuan putri sulung mereka itu benar-benar seperti pukulan keras buat mereka. Ini aib yang memalukan sekaligus perbuatan teramat jahat karena mereka semua tahu jika Tomy adalah kekasih Emily. Betapa teganya Sandra merebut Tomy dari adiknya itu. Dan betapa jahatnya Tomy mengkhianati Emily seperti itu. Mereka berdua benar-benar tak berperasaan!
Tapi tak ada yang bisa dilakukan selain menikahkan mereka secepatnya. Sebab kehamilan Sandra tak bisa menunggu hingga luka Emily sembuh. Jangan sampai kehamilan itu menjadi bahan gunjingan orang dan membuat keluarga mereka tercoreng dan malu. Jadi pada akhirnya Emily harus mengalah dan merelakan Tomy menikahi Sandra demi menyelamatkan nama baik keluarga mereka.
Dengan pasrah, Emily mencoba mengumpulkan serpihan hatinya dan merekatkannya kembali meski tak bisa lagi menjadi utuh. Ada luka yang masih basah, ada koyakan luka yang masih menganga lebar. Tapi Emily harus kuat. Di depan semua orang, luka hati itu tak boleh terlihat. Emily harus menyimpannya rapat-rapat dan berpura-pura kalau pernikahan itu tak membuatnya terluka. Senyum manis Emily pun terasa getir. Emily merasa hari itu aktingnya begitu sempurna hingga (mungkin) semua tamu yang datang melihat jika dia pun ikut bahagia.
"Bolehkah aku menangis?" tanya kedua mata Emily yang tak tahan harus membendung air mata.
"Tidak! Jangan! Tunggulah sampai kita berada di kamar hingga tak ada orang yang melihat linangan air matamu dan jeritanku," hati Emily menyahuti.
"Kapankah? Aku tak tahan lagi, aku ingin menangis!"
Akhirnya Emily pun masuk ke dalam kamarnya dan meluapkan segala sedihnya di sana. Dia menangis dan bersembunyi seperti seekor hewan kecil yang terluka. Biar, tinggalkan saja pesta sialan itu! Aku tak tahan untuk terus tersenyum sementara hatiku menangis!
Emily membiarkan air matanya terkuras habis. Dia terus bersembunyi, tak peduli pada keramaian di luar sana. Pesta itu bukan untukku. Kebahagiaan mereka adalah luka bagiku. Biarlah aku bersembunyi dulu di sini. Jika nanti hati telah siap, aku akan keluar lagi untuk melihat kebahagiaan mereka.
Tiba-tiba terdengar ponselnya berbunyi. Benda pilih yang diletakannya di atas meja riasnya itu pun terus berbunyi memberitahukan kalau ada satu panggilan masuk. Dengan malas Emily mengangkat ponselnya itu dan melihat nama si penelepon yang tertera di layarnya. Monik. Ah, rupanya sahabatnya itu yang menelepon. Pasti Monik telah menyadari kalau dia tak ada lagi di tengah pesta itu. Dan pasti Monik telah mencarinya kemana-mana tapi tak menemukannya hingga akhirnya dia menelepon ke hp Emily. Emily tahu jika sahabatnya itu sangat mengkhawatirkannya.
"Halo, Mil, lo ada dimana? Dari tadi gue cariin lo tapi lo nggak ada," kata Monik bernada cemas.
"Gue ada di kamar, Nik. Nggak usah khawatir, gue baik-baik aja," sahut Emily di sela tangisnya.
"Mil, lo nangis?" tanya Monik ketika mendengar suara Emily yang serak.
Ya, Monik, tentu aja gue nangis! Apa gue harus tertawa? Hati Emily seolah menjerit mendengar pertanyaan dari Monik itu.
"Gue cuma lagi luapin kesedihan gue," sahut Emily.
"Gue temenin lo, ya? Gue cuma nggak mau kalau lo sendirian, Mil," kata Monik yang merasa sangat khawatir dengan Emily.
"Nggak usah, Nik, terima kasih. Tapi gue lagi pengen sendiri sekarang. Kalau nanti gue udah siap, gue pasti akan keluar lagi," tolak Emily segera.
"Tapi sungguh lo baik-baik aja?"
"Ya, sebentar lagi gue keluar," sahut Emily memberi janji yang belum tentu bisa dia tepati. Sebentar lagi? Tidak, Emily masih ingin menangis dan menguatkan hatinya dulu. Sebab melihat senyum bahagia Sandra dan Tomy, sungguh membuatnya terluka.
"Ya udah kalau begitu gue tunggu lo di luar, ya. Gue duduk di halaman samping sama Edo," kata Monik kemudian. Edo adalah kekasih Monik yang juga sahabat Emily.
"Ya," sahut Emily pendek. Lalu setelah itu, percakapan itu pun berakhir. Emily kembali melanjutkan tangisnya.
Entah berapa lama Emily menangis. Tapi dia sudah merasa lelah sekarang. Emily pun menghentikan tangisnya. Dia segera ke kamar mandi dan membersihkan riasan wajahnya yang rusak terkena air mata. Lalu segera pula merapikan riasannya itu dan berusaha menutupi sembab di kedua matanya karena menangis tadi. Tak boleh terlihat kalau dia habis menangis. Bisa-bisa menimbulkan bahan gosip hangat di kalangan tamu undangan. Apa lagi sebagian dari mereka tahu kalau selama ini Tomy berpacaran dengannya.
Emily pun melangkah pelan keluar kamar. Dia berbaur dengan para tamu undangan yang tampak semakin ramai memenuhi rumah orangtuanya ini. Tapi Emily berjalan ke halaman depan, bukannya ke halaman samping untuk menjumpai Monik yang sedang menunggunya di sana.
Dari teras depan, Emily bisa dengan jelas melihat kursi pelaminan dimana Sandra dan Tomy sedang duduk bersanding di sana. Sepasang pengantin itu tampak begitu bahagia. Ah, sepertinya mereka telah benar-benar melupakan hati Emily. Wajah mereka tampak sangat bahagia seolah mereka tak melukai sekeping hati dengan pernikahan mereka ini.
Merasa tak tahan melihat semua itu, Emily pun perlahan melangkah pergi. Dia hanya ingin menghindari pesta itu. Berusaha melindungi hatinya dari sakit yang lebih parah lagi.
Emily terus berjalan menjauhi rumahnya dan pesta meriah itu. Oh, rasanya Emily tak ingin lagi kembali ke sana. Terbayang dalam kepalanya tentang hari esok yang pasti akan lebih parah lagi. Sebab karena kehamilannya itu, orangtua mereka melarang Sandra untuk pindah dari rumah itu. Mereka khawatir melepas Sandra dengan kehamilan pertamanya itu. Lantas apa jadinya dengan hati Emily jika dia harus serumah dengan Tomy dan Sandra?
Oh, tuhan, yang pasti hatiku akan sakit sepanjang hari. Dan bagaimana aku bisa menyembuhkan luka hatiku jika setiap hari aku harus menjadi saksi atas kebahagiaan mereka? Rasanya memang tidak masuk akal jika menyatukan aku dan mereka di bawah satu atap.
Kaki Emily pun terus melangkah menyusuri jalanan yang telah diguyur lampu jalan. Tak terasa hari mulai beranjak malam. Langit keemasan di sebelah barat sana telah berubah menjadi gelap. Bayang-bayang bulan pun telah terlihat. Emily yang sedang diselimuti oleh kesedihan itu pun terus berjalan tak tentu arah. Yang ada di dalam kepalanya cuma satu. Pergi menjauh dari Tomy dan Sandra hingga dia tak harus melihat kebahagiaan mereka.
Malam kian larut. Emily tak tahu sudah berapa lama dia berjalan. Yang dia tahu kakinya terasa sakit sekarang. Rasanya seperti tak bisa dipakai untuk menopang tubuhnya lagi. Dengan segera Emily mencari tempat untuk duduk. Dia memandang sekeliling dengan perasaan bingung dan takut.Emily melihat kalau dia berada di tempat yang belum pernah dia datangi sebelumnya. Saat ini dia berada di sebuah jalan raya yang tidak terlalu besar. Jalan itu ramai dilalui kendaraan bermotor. Tapi di kanan dan kiri jalanan itu tampak berjejer rumah-rumah dan juga toko-toko. Emily tahu jika dia tidak mungkin terlalu jauh dari rumahnya. Tapi dia tak mengenali tempat ini karena memang rasanya belum pernah dia lewati sebelumnya.Aku masih bisa kembali pulang. Ini pasti belum terlalu jauh dari rumah papa. Tapi..., aduh, kakiku sakit! Dan lagi rasanya aku memang tidak ingin pulang. Aku tidak mau melihat Sandra dan Tomy!Emily pun melihat ada sebuah bangku kayu di depan sebuah toko yan
Emily berjalan tertatih mengikuti langkah kaki laki-laki jangkung bernama Abi itu. Kakinya masih terasa sakit untuk dipakai berjalan. Sedangkan Abi melangkah cepat di depan seakan tak menimbang rasa pada Emily yang berjalan tertatih di belakangnya.Abi yang berjalan di depan tahu jika Emily kesulitan mengikuti langkahnya. Beberapakali dia menoleh ke belakang dan berhenti agar Emily tak terlalu jauh tertinggal. Ketika Emily telah mendekat, Abi pun kembali melanjutkan langkahnya dan membiarkan Emily yang kembali tertinggal di belakang.Emily berusaha untuk tidak tertinggal terlalu jauh. Dia menahan sakit kakinya dan berlari-lari kecil mengikuti langkah Abi. Sebetulnya Emily merasa kesal dengan sikap Abi yang terkesan acuh. Tapi dia tak bisa berteriak marah pada laki-laki itu karena dialah satu-satunya penolong baginya. Jadi Emily hanya diam dan terus berjalan mengikuti.Sekali lagi Abi menoleh. Dia melihat pada Emily yang telah tertinggal cukup jauh. Dengan berusaha
Malam itu Emily tidur bersama Inung di kamar Abian. Sedangkan Abian tidur di kamar sebelah yang biasanya kosong. Laki-laki itu mengalah. Dia memberikan Emily kamar yang lebih nyaman untuk ditempati. Dan lagi tempat tidur yang ada di kamar Abian itu besar. Bisa ditempati berdua dengan Inung. Sedangkan di kamar sebelah yang kosong, tempat tidurnya berukuran kecil. Tak kan mungkin ditempati berdua. Biarlah, tak apa. Toh cuma satu malam saja. Besok pagi Emily sudah akan kembali ke rumahnya.Kembali ke rumah? Benarkah? Rasanya Emily masih berpikir dua kali untuk pulang. Karena malam ini saja dia tak dapat tidur sedikit pun. Rasa sakit hati dan kecewa membuatnya terjaga sepanjang malam. Tiap kali matanya terpejam, bayang-bayang pengkhianatan Sandra dan Tomy pasti akan jelas terlihat. Dan Emily akan kembali merasakan sakit dan perih pada hatinya.Sudah tahu sakit, kenapa terus dibayangkan? Ya, kenapa terus dibayangkan? Mungkin karena Emily tak bisa untuk melupakan. Mungkin ka
Emily bangun saat matahari sudah bersinar hangat. Di luar rumah pun sudah terdengar ramai oleh aktivitas warga dan orang yang berlalu lalang. Terdengar ramai suara anak-anak yang bermain, juga tukang sayur keliling yang terus berseru memanggil ibu-ibu pelanggannya, serta berisik suara motor yang melintas. Sepertinya cuma Emily yang baru saja bangun karena ternyata Inung pun sudah tak ada lagi di sampingnya.Emily mencoba mengingat kiranya jam berapa dia tertidur. Pastinya hampir pagi karena jam tiga dini hari saja dia masih terjaga dan asyik mendengarkan suara detak jarum jam dinding sambil melepas pikirannya mengembara tak tentu arah. Dan rasanya Inung pun baru tidur saat menjelang pagi. Karena setelah mendengarkan cerita Emily semalam, dia pun sibuk menenangkan Emily yang kembali menangis.Dengan mata yang masih mengantuk, Emily beranjak bangun dari tidurnya. Dia melangkah keluar dari kamar dan sedikit bingung mendapati rumah yang sepi.Kemana Abian dan Inung? Se
Sejauh inikah aku berjalan? Emily merasa kalau dia sudah cukup lama duduk di atas motor yang dikendarai Adam dengan kecepatan sedang itu. Bahkan rasanya debu-debu jalanan pun sudah tebal menutup pori-porinya. Pantas saja kakinya sakit serasa otot-ototnya membesar dan hampir meledak semalam.Emily tak bisa menepiskan ingatannya pada apa yang menjadi alasan dia pergi meninggalkan rumahnya kemarin sore. Hatinya pun semakin diselimuti oleh rasa ragu. Emily tahu apa yang akan terjadi dengan hatinya jika dia kembali. Sakit!Remuk dan terkoyak, mana yang lebih baik? Keduanya sama menyakitkan dan sama menyiksa. Satu paduan rasa yang membuat orang ingin bercumbu dengan kematian dan meninggalkan hidup. Dan jika sekarang Emily masih bertahan untuk hidup, itu karena dia takut pada kematian. Bukan karena dia hebat, secepat itu bisa berdamai dengan kenyataan.Emily memejamkan matanya sesaat. Mencoba meresapi rasa perih yang menyakitkan itu. Dan ketika dia membuka mata, dua bu
Selesai melayani seorang pelanggan yang datang berbelanja, Inung duduk dan menyeruput kopi susunya dengan nikmat. Kemudian untuk beberapa saat lamanya dia terdiam, seolah sedang termenung memikirkan sesuatu. Sementara itu Abian sedang sibuk memasukan roti ke dalam panggangan. Laki-laki tampan itu menoleh sekilas pada Inung yang sedang termenung. Tapi kemudian dia kembali asyik melanjutkan pekerjaannya membuat roti dibantu oleh seorang pemuda bernama Dion, yang sudah dua tahun ini bekerja di toko roti miliknya itu.Abian menoleh lagi karena didengarnya Inung menghela napas panjang. Diperhatikannya sepupunya itu yang masih duduk termenung sambil bertumpu tangan di atas meja. Inung seperti orang yang sedang dibebani satu masalah. Sejak pagi tadi dia terlihat asyik melamun dan tak banyak bicara seperti biasanya. Tapi ketika berangkat tadi dia tampak biasa saja, pikir Abian bingung. Lantas kenapa sekarang mendadak jadi melamun terus begini?"Nung," panggil Abian pada Inung.
Emily menatap Abian sambil terisak pelan. Dia bingung bagaimana cara menjelaskan pada Abian tentang alasannya tak jadi pulang. Rasanya Abian tak akan bisa mengerti luka hatinya yang terasa perih. Laki-laki itu tak akan mungkin membenarkan perbuatannya ini. Dia pasti akan marah. Tapi sungguh Emily merasa rumah Abian adalah tempat yang ternyaman baginya saat ini. Karena setidaknya Emily tahu kalau Abian adalah seorang laki-laki yang baik. Dan di rumah laki-laki baik itulah dia bisa bersembunyi."Emily, jelaskan pada saya kenapa kamu nggak jadi pulang?" tanya Abian lagi sedikit mendesak. Wajah laki-laki itu tampak serius dan tegas.Emily menggeleng pelan."Jelaskan, Emily. Saya nggak bisa mengerti cuma dengan gelengan kepala kamu," kata Abian lagi bernada tak sabar."Bi!" bentak Inung pelan. "Biar dia tenang dulu. Jangan didesak begitu."Abian pun mendesah kesal. Bocah cengeng, pikirnya. Tapi tak urung diturutinya juga kata-kata Inung itu. Dia t
"Cuma beberapa hari aja, Bi," bujuk Inung.Abian tak menyahut. Dia menatap Emily dengan pandangan yang tajam. Sementara Emily cuma bisa diam. Dia merasa dipaku dengan tatapan tajam itu.Apakah yang ada dalam kepala laki-laki itu? Apakah yang dia pikirkan tentang aku? Pasti di matanya aku hanyalah seorang gadis bodoh yang cengeng. Yang meratap sedih karena kehilangan cinta. Tapi sesungguhnya bukan cinta yang membuatku terluka seperti ini. Tapi dikhianati oleh orang terkasihlah yang membuatku jatuh. Perasaan dikhianati itulah yang sungguh menyakitkan dan membuatku ingin lari dari kenyataan."Berapa lama waktu yang kamu butuhkan, Emily?" Abian kembali melontarkan pertanyaan itu.Emily pun menggeleng pelan. Pertanyaan itu memang seakan tak mempunyai jawaban. Sebab tak akan ada orang yang tahu kapan hatinya bisa kembali kuat setelah dihantam oleh pukulan yang sehebat itu?"Saya bukannya jahat. Saya cuma nggak mau dapat teguran dari Pak RT atau bahkan di