Share

Bab 3. Aku Ikhlas

Pikiran Rumi kembali berkelana pada hal-hal yang bersifat "dewasa". Seketika itu, detak jantung di dalam dadanya berubah cepat. Gadis itu merasa gugup, dengan wajah yang terasa memanas.

Ketukan pintu itu terdengar lagi dan sukses membuat Rumi yang sedang bergelut dengan pikirannya itu berjingkat kaget.

"I-iya, sebentar," sahut Rumi.

Gadis itu berjalan ke arah pintu sambil melilitkan handuk ke kepala. Ketika pintu terbuka, Rumi spontan bernapas lega. Bukan Hanan yang muncul di balik pintu kamarnya, melainkan wanita paruh baya yang terlihat seperti asisten rumah tangga.

"Ada apa, Bu?" tanya Rumi sopan.

Wanita paruh baya itu tersenyum simpul lalu berkata, "Panggil saya Mbok Min saja, Non. Saya cuma pembantu di rumah ini.”

Rumi tersenyum ragu-ragu. Memang apa salahnya dia memanggil wanita paruh baya itu dengan sebutan “Bu”? Biarpun hanya asisten rumah tangga, tetapi wanita itu terlihat lebih tua dibandingkan ibu pantinya. Dan Rumi sudah biasa dengan panggilan “Bu” untuk wanita seusia mereka, tak peduli apa pun statusnya.

“Oya, Bu Aida nyuruh saya manggil Non Rumi untuk ikut makan malam,” ujar Mbok Min sambil menunjuk arah belakang dengan ibu jarinya.

"Makan malam?" cicit Rumi.

"Iya, Non. Anggota keluarga yang lain sudah menunggu di meja makan," jelas Mbok Min.

"Oh, i-iya, Mbok. Saya akan segera ke sana," kata Rumi selanjutnya.

Gadis itu merasa canggung untuk berkumpul dengan keluarga suaminya. Rumi merasa tidak layak berada di antara orang-orang kaya itu. Namun, mau tidak mau dia harus menyesuaikan diri dengan keadaan di rumah ini. Karena dia sudah setuju untuk menerima pinangan Aida.

Setelah merapikan penampilan, Rumi segera pergi ke ruang makan. Gadis itu berjalan ragu-ragu mendekat ke arah keluarga yang tengah berkumpul di sana. Masih ada orang tua Aida dan Hanan di rumah itu yang juga ikut makan malam. Sehingga membuat Rumi merasa semakin canggung dan tidak nyaman.

"Nah, itu Rumi," seloroh Aida saat melihat madunya datang.

Rumi tersenyum kaku. Gadis itu tampak kikuk dan bingung harus melakukan apa. Melihat seluruh anggota keluarga berkumpul seperti itu, membuat si gadis gemetar. Diam-diam, kedua tangan Rumi meremas bagian samping tunik yang dikenakannya. Di dalam hati, Rumi tak henti merapalkan afirmasi positif agar kakinya tidak goyah. Sungguh! Tidak lucu jika dia terjatuh karena sendi-sendi di kakinya lemas gara-gara rasa gugup. Pasti akan sangat merepotkan jika harus mengarang alasan agar kekonyolan itu terdengar masuk akal.

"Maaf, membuat kalian menunggu," ucap Rumi dengan suara pelan dan sedikit bergetar. Setelah mengumpulkan segenap keberanian, akhirnya Rumi berhasil membuka suara.

Aida tersenyum kecil lalu berujar, "Enggak, kok. Hanan juga belum turun. Ayo, duduk, Rum!"

Gadis itu mengangguk. Saat dia hendak melangkah, tiba-tiba saja Hanan berjalan mendahuluinya, hingga membuat gadis itu terkejut. Untung saja tidak ada yang memperhatikan. Rumi pun bergegas melanjutkan langkah dan duduk di kursi yang ditunjuk Aida.

Hanan duduk di kursi yang biasa dia tempati tanpa banyak bicara. Dia bahkan tidak sedikit pun menoleh pada Rumi yang duduk di kursi sebelahnya, seolah gadis itu tidak benar-benar ada di sana.

"Ambilin nasi untuk Hanan, Rum," titah Aida dengan senyum di bibirnya.

Seketika itu, Hanan melirik protes pada Aida. Tergambar raut tidak senang saat sang istri pertama meminta Rumi melayani dirinya. Namun, tatapan balasan dari Aida mampu menjinakkannya.

Rumi pun tidak menyangka bahwa Aida akan memintanya melakukan hal itu. Dia melirik pada Hanan dan melihat lelaki itu tampak tidak senang.

"Mbak Aida saja yang mengambilkannya," kata Rumi sambil tersenyum kaku. Jujur dia takut melihat raut tak bersahabat Hanan.

Aida melemaskan bahu dengan ekspresi kecewa.

"Aku kan sudah sering. Sekarang kamu yang ambilin, ya," pinta Aida dengan raut memohon.

Ingin menolak, tetapi sungkan. Ekspresi Aida membuat Rumi tidak sanggup untuk berkata “tidak”. Akhirnya, Rumi melakukan apa yang Aida perintahkan. Dia mengambil nasi untuk Hanan.

“Cukup!” kata Hanan sedikit ketus.

“Lauknya mau yang mana?” tanya Rumi takut-takut.

Hanan melepas napas keras lalu menjawab sambil menunjuk udang saus, “Itu saja.”

Rumi mengangguk lalu mengambilkan lauk untuk sang suami. Saat dia bertanya apa lagi yang Hanan inginkan sebagai lauk, gadis itu malah mendapat ucapan ketus. Sontak saja, anggota keluarga yang lain langsung menegur Hanan dan meminta Rumi mengambil makanan untuk diri sendiri.

“Jangan kasar sama istri!” tegur Rifkah—ibunya.

Hanan tidak membalas dan lebih memilih menyantap makan malam dalam diam. Percuma juga dia membela diri, karena semua jari pasti akan menunjuk kepadanya.

Selama makan malam itu, para orang tua terlihat saling pandang. Hanya Aida yang terlihat paling riang. Para orang tua tahu betul bahwa senyum yang terlukis di bibir Aida hanyalah sebuah kepalsuan. Namun, mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain memberi dukungan.

Usai makan malam, Hanan dan Aida sempat berdebat tentang di mana Hanan akan tidur malam ini. Lelaki itu ingin tetap tidur bersama Aida. Namun, Aida memintanya untuk tidur bersama Rumi.

"Han, ini malam pertama kalian. Pergi ke kamar Rumi dan berikan haknya sebagai istrimu," kata Aida.

"Aku nggak bisa. Aku belum siap, Da. Bukankah kita sudah membicarakan masalah ini? Aku bersedia menikah lagi, tetapi untuk urusan itu, tunggu sampai aku siap." Hanan bersikeras menolak.

"Jangan begitu dong, Han. Itu namanya kamu nggak adil," protes Aida.

"Bukankah aku juga sudah pernah bilang kalau aku nggak yakin bisa bersikap adil?" Hanan mengungkit perdebatan mereka yang telah lalu. "Aku tahu kamu terluka, Da. Please, jangan membuatku semakin merasa bersalah," mohon lelaki itu dengan raut sedih sambil memegang kedua bahu Aida.

"I'm okay. Aku sudah memikirkan masalah ini berulang kali." Aida menurunkan tangan sang suami lalu menggenggamnya. Dia tatap kedua netra lelaki itu lekat-lekat, lalu berkata dengan senyum hangta, "Lakukan kewajiban kamu, Han. Aku ikhlas.”

Hanan balas menatap lekat-lekat kedua mata Aida. Lelaki itu meneguk ludah. Entah mengapa, senyum yang terukir di bibir istrinya terasa begitu menyayat hati. Hanan seolah tak rela untuk membiarkan istrinya tidur seorang diri. Namun, Aida terus mendesak bahkan setengah mengusirnya dari kamar. Hingga mau tak mau, lelaki itu pun pergi ke peraduan istri keduanya.

"Jangan lupa berdoa," pesan Aida pada suaminya.

Setelah itu, Aida menutup pintu. Wanita itu bersandar pada papan kayu tersebut sambil menyentuh dada. Bibirnya tampak bergetar, kala mengembuskan napas panas yang mengundang air mata untuk meleleh di pipi.

Deru napas Aida berubah semakin berat, hingga rasanya begitu tercekat. Perlahan, tubuh wanita itu merosot, bersimpuh di lantai sambil menyandarkan kepala pada pintu. Tubuhnya terasa begitu lemas dan Aida tergugu seorang diri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status