Share

Bab 5. Makmum yang Lain

Nyaris tidak tidur semalaman, membuat mata Aida terlihat bengkak. Wanita itu menoleh lalu meraba permukaan ranjang yang kosong. Dingin, pertanda sudah lama ditinggalkan oleh seseorang yang seharusnya berbaring di sana.

Ah, Aida lupa.

Seseorang yang biasa berbaring di sana sedang menunaikan kewajiban terhadap madunya.

Sudut batin Aida berdenyut nyeri. Wanita itu meneguk ludah dengan susah payah. Lalu, dia sentuh dada dengan telapak tangan, di mana jantungnya berdetak cepat.

"Jangan lemah, Aida. Kamu pasti bisa melewati semua ini. Ikhlas, kuncinya hanya ikhlas, Aida. Semua ini demi kebahagiaan rumah tanggamu.” Aida menarik napas dalam-dalam, berusaha menetralkan kegelisahan dan kegusaran yang dirasakannya.

Wanita itu lantas bangkit, beringsut mundur dan duduk bersandar pada headboard. Aida terlihat beberapa kali menarik napas dalam lalu mengembuskannya secara perlahan. Setelah merasa lebih baik, wanita itu lantas menurunkan kaki ke lantai. Dia pergi mengambil wudu, lalu melaksanakan salat malam.

Cukup lama, Aida tenggelam dalam doa, memohon untuk dikuatkan hatinya. Aida tak beranjak dari sajadah, hingga adzan subuh berkumandang. Bibirnya tak henti melafalkan zikir sebagai tameng untuk menghindari bisikan setan yang dapat melemahkan hatinya.

Persis setelah adzan subuh berhenti berkumandang, wanita itu menoleh ke arah pintu. Lagi-lagi hatinya tercubit, saat sebuah harap tumbuh di dalam hati bahwa lelaki yang biasa menjadi imamnya itu akan muncul dari sana.

"Sekarang bukan aku saja makmumnya," lirih Aida dengan nada getir.

Wanita itu menundukkan kepala sambil memejamkan mata. Setelah beristigfar beberapa kali, Aida lantas melaksanakan salat subuh seorang diri.

Selesai salat, Aida keluar dari kamar. Dia butuh kegiatan yang bisa mengalihkan pikirannya dari Hanan. Memasak sarapan adalah pilihan Aida. Wanita itu pergi ke dapur dan menyibukkan diri di sana.

"Lho, Bu Aida kenapa di sini?" Mbok Min tergopoh-gopoh mendekat. "Biar saya saja, Bu," imbuhnya seraya mengulurkan tangan untuk mengambil alih pekerjaan Aida.

Sebenarnya bukan sekali dua kali, Aida memasak bersama Mbok Min. Hanya saja, Mbok Min merasa ada yang tidak biasa dari sang Nyonya. Beberapa hari terakhir, Aida begitu sibuk mengurus segala keperluan pernikahan Hanan. Tenaga dan pikiran pasti terkuras, hingga akhirnya terlaksana acara dengan lancar seperti kemarin. Dan dalam kondisi lelah seperti itu, biasanya Aida menyerahkan semua urusan rumah tangga pada asisten. Akan tetapi, pagi ini Aida sudah terlihat menyibukkan diri dengan pisau dan daging.

"Nggak apa-apa, Mbok. Hari ini aku pengin masak menu spesial," kata Aida sambil tersenyum lebar, menutupi batinnya yang gusar.

Mbok Min ikut tersenyum, tetapi batin wanita paruh baya itu merasakan keprihatinan terhadap sikap Aida. Dia merasa kasihan, tetapi takut untuk mengungkapkan.

"Ibu mau masak daging?" Mbok Min melihat daging sapi yang masih terbungkus plastik di atas meja pantry. "Mau dimasak apa, Bu? Biar saya bantu."

"Umh, mending Mbok Min ngerjain yang lain aja, deh. Urusan dapur biar aku yang handle," titah Aida.

"Tapi, Bu–"

"Sudah, Mbok Min nyuci atau ngerjain apa kek. Biar nggak makan gaji buta," tukas Aida tak serius.

Sungguh, Aida butuh sesuatu yang membuatnya sibuk hingga tak sempat memikirkan hal selain apa yang dia kerjakan. Sebab itulah, dia meminta Mbok Min agar tidak membantunya.

Mbok Min pun tidak berani membantah. Wanita itu segera pamit meninggalkan dapur dan mengambil pekerjaan yang lain.

Di tengah-tengah aktivitasnya menyiapkan sarapan, Aida dikejutkan oleh kehadiran seseorang. Sebuah suara telah berhasil merusak benteng yang susah payah Aida bangun di dalam benaknya.

"Sibuk banget Nyonya Rumah yang satu ini," selorohnya.

Aida terkejut hingga nyaris saja jarinya teriris pisau. Wanita itu memutar badan dan melihat Kenan berjalan ke arahnya dengan senyum mengejek yang sangat menyebalkan.

"Ngapain kamu masih di sini? Bukannya kamu–"

"Sudah pulang?" potong Kenan sambil mendengkus pelan.

Aida berpaling muka dengan bola mata yang berotasi jengah. Aida benci mengakui, tetapi memang tebakan Kenan tepat seperti apa yang dia pikirkan. Sejak meninggalkan lelaki itu di ruangan kemarin, Aida tidak lagi melihat sang adik ipar. Bahkan ketika keluarga berkumpul untuk makan malam, Kenan juga tidak terlihat batang hidungnya. Aida mengira bahwa lelaki itu sudah pulang. Sampai dia melihat Kenan muncul lagi di dapurnya.

Kenan tersenyum miring, menatap Aida yang enggan melihat padanya. Lalu, pandangan Kenan turun pada bahan makanan yang sedang disiapkan oleh wanita itu.

"Tongseng sapi. Ah, makanan paling favorit. Apalagi kalau yang masak kamu," seloroh Kenan.

Aida menggigit bibir dalamnya kuat-kuat. Sekali lagi tebakan Kenan benar. Dia memang ingin memasak tongseng sapi. Entah bagaimana lelaki itu berhasil menerkanya.

"Ken, mending kamu keluar, deh. Jangan ganggu aku, atau aku panggil Hanan ke sini," usir Aida sembari mengancam si lelaki.

Kenan mendengkus lalu menahan tawa dengan cara melipat bibir. Ancaman Aida membuatnya merasa geli.

"Panggil saja," tantang lelaki itu setelahnya. Kenan menarik sudut bibir ke bawah seraya mengedikkan bahu tak acuh. "Aku nggak yakin dia bakal ke sini. Bukankah dia lagi sama istri mudanya?" lanjut lelaki itu.

"Kamu!" Aida menggeram dengan bibir menipis. Ucapan Kenan benar-benar menguras kesabarannya. Dalam sekejap saja, gusar dan gelisah itu telah berganti dengan rasa kesal dan marah.

Senyum serupa seringai licik, terukir di sudut bibir Kenan. Melangkah semakin dekat pada Aida, lelaki itu lantas berkata, "Kasihan sekali mantan pacarku ini."

Aida mundur satu langkah. Dia acungkan pisau daging di tangannya untuk memberi peringatan pada Kenan agar tidak berbuat macam-macam padanya.

"Jangan mendekat! Aku nggak butuh pendapat kamu. Jadi mending sekarang kamu pergi dari sini atau aku bakal teriak!" ancam Aida dengan tangan yang samar-samar tampak gemetar.

Ancaman itu sama sekali tidak membuat Kenan gentar. Lelaki itu justru tertawa, seolah yang dilakukan Aida ini adalah hal yang sangat menggemaskan.

"Teriak saja, kalau kamu mau teriak." Kenan mengikis jarak, mendesak Aida untuk mundur mengikuti ritme langkahnya.

"Mau apa kamu?" hardik Aida dengan suara bergetar, berusaha terlihat berani dan tegar.

Langkah Kenan tidak berhenti. Lelaki itu terus mendesak Aida untuk mundur, hingga punggung wanita itu membentur pintu lemari es di belakangnya. Baru pada saat itu, Kenan berhenti melangkah. Lelaki itu menyelipkan tangan di saku celana dengan dua sudut bibir yang terangkat.

"Kamu mau tahu, apa mauku?" Kenan menatap dua manik Aida lekat-lekat.

Aida mulai panik. Dia tidak memungkiri bahwa tatapan elang Kenan terasa begitu mengintimidasi. Aida menyapu bibir dengan lidah, lantas meneguk ludah untuk membasahi kerongkongannya yang mendadak terasa kering. Jantung di dalam dada Aida berdentum-dentum cepat, membuat wanita itu khawatir bahwa Kenan akan mendengar setiap detaknya.

"Aku mau ...." Kenan mengangkat sebelah tangan dan mengarahkannya ke wajah Aida. Hingga membuat wanita itu spontan berpaling muka sembari memejamkan mata.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status