Share

Bab 2. Dia

“Suamimu itu helpfull pada semua orang. Setiap perempuan dibantu dan disenyumin. Orang bisa salah sangka, lo.”

Laila, teman sekerjaku, saat itu mengingatkan. Namun, aku hanya tersenyum menanggapinya.

Mas Ammar adalah sosok yang sempurna sebagai laki-laki. Penampilannya yang memanjakan mata setiap perempuan, ditambah senyuman yang selalu menghias wajahnya yang manis. Begitu juga, sikapnya yang ramah dan siap membantu siapapun. Tapi, aku yakin itu hanya bentuk keramahan.

“Dia memang begitu, dari dulu. Makanya aku suka dia. Habisnya dia baik banget. Beda sama aku yang tersenyum sama orang saja susah. Dia seperti penyempurna bagiku, La,” ucapku memberikan alasan.

Perbedaan kepribadian antara aku dan suamiku memang bertolak belakang. 

Mas Ammar begitu terbuka dan mudah bergaul dengan semua orang. Sedangkan aku, melakukan seperti dia justru  merasa menyiksa. Aku tidak bisa mengobrol dan menyebarkan senyuman tanpa alasan. Tidak bisa saja, walaupun dipaksa.

Kenyamananku ada di depan meja kerja, berkutat dengan gambar dan rancangan bangunan. Tidak peduli dengan pinggang pegal dan mata pedas, aku bisa menghabiskan waktu dengan pekerjaanku yang menyenangkan ini.

Karenanya, Mas Ammar seperti penyeimbang kekuranganku ini. Dia bisa beramah tamah dengan siapapun, baik laki-laki ataupun perempuan.

“Baik boleh. Tapi kalau berlebihan bahaya juga, lo, Aida. Apalagi, suamimu bekerja dengan cewek-cewek model yang cantik-cantik dan masih itu. Bisa jadi banyak yang naksir, tuh!”

Saat itu, aku tertawa lagi menanggapi peringatan Laila.

Bagaimana Mas Ammar tidak bersinggungan dengan perempuan cantik? Pekerjaan sebagai fotografer sekaligus pemilik studio memaksanya melakukan itu. Toh, itu hanya sebatas pekerjaan.

“Dia profesional, tidak mungkin melakukan hal-hal aneh! Dia juga sudah tua, sama kayak aku. Sudah kepala empat,” jawabku menepis anggapan yang berlebihan itu

Sahabatku langsung memelototiku. “Eh, jangan salah. Perempuan muda sekarang banyak yang suka laki-laki estewe!”

“Estewe? Apa tuh?!” seruku sembari mengernyit.

“Setengah tuwa, Aida. Itu lagi tren zaman sekarang. Laki-laki yang sudah berusia matang, apalagi kepala empat, dinilai sebagai usia puncak. Mereka memandang secara ekonomi sudah cukup mapan. Itu yang diincar perempuan di luar sana.”

“Tenang saja. Mas Ammar tidak mungkin demikian,” ucapku yakin.

Kalau faktor ekonomi yang menjadi incaran mereka, aku bisa mengatakan aman. Semua aset yang kami miliki, semua hasil dari pekerjaanku. 

Mas Ammar memang bekerja, tetapi dia lebih menyalurkan kegemarannya. Aku tidak mempermasalahkan hal itu. Dari mana datangnya, itu adalah rezeki keluarga kecil kami.

“Kamu harus waspada! Karena perselingkuhan ini bisa terjadi karena ada kesempatan!” serunya membuatku tertawa terbahak-bahak. Seperti himbauan untuk mencegah pencurian saja, itu yang aku pikirkan saat itu. Kenapa tidak sekalian dianjurkan menggunakan gembok kunci ganda?

Namun, ternyata ucapan Laila itu benar. Aku seperti kecolongan karena kebebalanku ini.

‘Aku harus menuntut penjelasan,’ ucapku dalam hati sambil meraih ponsel yang berisi bukti menjijikkan itu.

Dengan tangan yang gemetar dan air mata yang masih luruh, aku menghubungi Mas Ammar. 

Aku harus mencari kejelasan apa yang terjadi sebelumnya. 

Walaupun aku mulai meragukan kesetiaannya, tapi ada sedikit ketidakpercayaan, dan aku ingin mendengar dari mulutnya sendiri. 

Sebelum ada pengakuan langsung, aku anggap ini hanya bualan belaka.

******

[Nomor yang Anda tuju, tidak dapat dihubungi. Silakan periksa kembali nomor tujuan Anda]

Aku menghela napas kasar.

Ini sudah untuk kesekian kali aku menekan nomor ponsel suamiku itu. Namun, hanya terdengar nada sibuk di seberang sana.

Satu menit.

Dua menit.

.

.

Dan, sekarang sudah lebih dari tiga puluh menit. Tidak ada tanda-tanda nada bersambung. Sebegitu sibuknya, kah dia?

Memang ini hal yang sering terjadi, dan sekarang baru aku sadar kenapa.

Sebelumnya aku hanya berpikir, dia pasti sibuk bekerja. 

Namun setelah melihat foto itu, aku mulai mempunyai prasangka lain. Bisa jadi dia sedang asyik dengan wanita itu. Bukankah kalau sedang dimabuk cinta, waktu bersama terasa indah dalam waktu yang lama?

Aku memejamkan mata–berusaha tegar dan tenang menghadapi masalah ini.  

Emosiku harus dikontrol dengan baik. 

Jangan sampai aku dikalahkan dengan amarah yang membuatku di posisi kalah. 

Kring!

Baru saja aku akan meletakkan ponsel, benda pipih ini memberikan tanda ada panggilan masuk. 

Segera aku menilik layar ponsel. 

Ternyata, bukan nomor ponsel Mas Ammar, tapi ada nomor yang tidak aku kenal. “Halo.”

“Halo selamat siang. Apakah benar ini dengan orang tua dari Daniel Wicaksana?”

“Benar. Saya Aida, mamanya,” jawabku sembari mengernyit menyimpan pertanyaan.

“Kami dari Global Hospital, memberitahukan bahwa saudara Daniel mendapat kecelakaan ---“

Deg! “Daniel?!” 

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Tasya Usman
Benar mbak
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
istri g berguna dan terlalu dibutakan cinta. kecelakaan daniel hadiah utk kebodihan mu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status