Share

Bab 3. Beruntun

“Ba-bagaimana keadaannya?” tanyaku dengan tidak sabar. 

Kepala ini langsung dipenuhi prasangka buruk. Kecelakaan menyebabkan banyak kemungkinan, bahkan kematian. Apalagi, Daniel tadi menggunakan sepeda motor dengan kondisi emosi yang tidak stabil.

Satu masalah belum selesai, sudah muncul kembali kabar yang lebih parah lagi. 

Aku seperti mendapat serangan dari segala arah. Badan ini seakan dihantam godam sampai luluh lantak dan tidak berasa lagi.

Kaki ini sudah tidak kuat lagi menopang bobot badanku, hingga aku luruh ke lantai.

“Tenang, Bu. Saudara Daniel dalam keadaan selamat. Namun, kami mengharapkan kedatangan ibu sekarang untuk persetujuan operasi anak ibu.”

“Ba-baik. Saya segera ke sana. Tolong lakukan segera yang terbaik untuk anak saya. Berapapun biayanya!” seruku dengan bibir bergetar.

“Kami akan usahakan yang terbaik. Terima kasih. Selamat Siang,” ucapnya setelah memberikan alamat yang harus aku tuju.

Layar ponsel menggelap seiring dengan gelapnya otak ini. 

Aku seperti kosong. 

Baru saja aku dikejutkan dengan tingkah suamiku, sekarang ditambah anak tunggalku yang mengalami musibah. 

Sungguh, hari ini aku mengalami kemalangan yang beruntun.

Tanganku meraih pinggiran meja untuk tumpuan berdiri, tetapi kaki ini masih lemas. 

Sekali lagi aku menarik napas dan memusatkan pikiran, berusaha untuk bangkit dengan tubuh seakan tercabik ini.

“Nyonya!”

Bik Yanti, pekerja yang membersihkan rumah, berlari menghampiriku. Ia berusaha membantuku untuk duduk di sofa. 

Dengan tergopoh, diam mengambil air putih dan menyodorkan ke padaku.

“Nyonya tenang dulu,” ucap wanita tua yang sudah sepuluh tahun kerja bersamaku. 

Dia sudah kami anggap saudara sendiri. Apalagi, di usianya sekitar enam puluhan, bisa menjadi teman bicara.

Kalau tadi aku tidak bisa menangis, sekarang justru mata ini sudah tidak kuat lagi membendung air mata. 

Aku tergugu dengan menangkup wajah dengan kedua telapak tangan. Seakan mengerti, Bik Yanti diam tanpa mengajukan pertanyaan.

“Bik Yanti. Saya harus ke rumah sakit Global sekarang!” seruku setelah bisa menguasai diri. 

Aku menilik jam tangan dari mata yang masih terhalang air mata. Aku harus cepat.

“Rumah sakit? Siapa yang sakit, Nyonya? Bibik ikut, ya?”

“Daniel kecelakaan. Bibik di rumah saja. Kunci semuanya termasuk gerbang. Jangan ada yang diperbolehkan masuk, termasuk Mas Ammar!” ucapku cepat tanpa memedulikan sorot tidak mengerti di matanya.

Gegas aku keluar rumah dan  kupacu mobil menuju rumah sakit. 

Kecepatan yang aku tambah dari biasanya, terasa tidak berarti. Satu hal yang kutahu, aku harus segera melihat keadaan putraku.

*******

Dengan melangkahkan kaki lebar-lebar, aku segera menuju ruang yang disebutkan tadi.  

Perawat yang menelponku segera mengarahkan ke ruangan yang menunjukkan Daniel menunggu untuk operasi.

“Saya mamanya. Saya ingin melihat anak saya!” teriakku ketika hanya diperbolehkan melihat Daniel dari jendela kaca. 

Air mata ini luruh seketika, melihat kepala anakku dibalut perban dengan kondisi tidak sadarkan diri.

“Maaf, Bu. Pasien belum bisa dijenguk. Dia masih kritis.”

“Saya mamanya! Mengerti tidak, sih!”

Melihat aku yang tidak terkendali, seorang laki-laki berjas putih mengisyaratkan untuk membawaku untuk mengikutinya. 

Di sisi lain, seorang perawat segera mengarahkan aku untuk masuk ke ruangan, tempat dokter itu sudah duduk menungguku.

“Selamat sore, Bu. Perkenalkan, saya Dokter Burhan. Kami mengerti atas kekhawatiran ibu. Kami–”

“Kalau mengerti, kenapa saya tidak diizinkan melihat anak saya?” sahutku memotong kalimatnya. 

Rasa khawatir dan ketakutan bercampur, hingga membuatku tidak bisa mengontrol apa yang aku lakukan.  Satu hal yang ada di otakku: Daniel harus selamat.

Dokter itu tampak menarik napas.“Anak ibu mengalami mengalami pendarahan dalam. Dari pemeriksaan yang kami lakukan, ada organ yang mengalami gangguan fungsi. Karenanya, untuk sementara waktu tidak boleh ada yang mendekati anak ibu.”

Mataku membulat. “Kalau begitu, cepat lakukan operasinya. Jangan sampai terlambat, Dok!”

“Pasti. Ini sudah disiapkan ruang operasinya. Mohon ibu menunggu. Kita doakan bersama supaya operasi ini berhasil,” jelasnya dengan sabar.

“Baiklah, Dok. Tolong selamatkan anak saya!” ucapku sekali lagi begitu bisa menguasai diri.

Dokter itu lantas memberi tanda kepada suster yang masih bersiap. 

Dia langsung mengarahkan aku ke ruang tunggu operasi. 

Suster juga menyodorkan air mineral botolan kepadaku.

“Sabar ya, Bu. Mungkin ini bisa sedikit mengurangi kecemasan ibu,” ucapnya sembari tersenyum manis.

Aku hanya mengangguk tanpa bersuara.

******

Lampu di atas pintu operasi menandakan masih berjalannya penyelamatan anakku. Dengan menangkupkan kedua tanganku, tak henti-hentinya aku memanjatkan doa demi keselamatan Daniel. 

Terbersit untuk menghubungi Mas Ammar. Namun, kemarahanku pada dirinya membuatku mengurungkan jemari ini untuk menekan nomor ponsel bertuliskan namanya.

Bagaimanapun, kejadian yang menimpa Daniel karena dipicu kemarahan akibat foto kegilaan Mas Ammar akan perempuan. 

Kalau mengingat itu, seketika tangan ini terkepal dan gerahamku menggeletuk karena amarah yang sudah terpatik.

Kesakitanku karena ulahnya, aku masih bisa menegarkan diri. 

Namun, kalau menyebabkan kemalangan pada anakku, ibu mana yang bisa menerima hal ini? 

Lebih baik aku kehilangan suami, daripada kehilangan anak.

Drrt!

Ponsel yang aku genggam erat bergetar. 

Kedua alisku bertaut saat mendapati siapa yang menghubungiku. Tangan ini terkepal dengan sendirinya seakan siap melayangkan pukulan. ‘Mas Ammar …?’

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nini
kesetiaan ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status