“Yas, aku menerima tawaran proyek di Dinas ini karena asistenku bilang kamu ada di dalamnya. Aku tidak pernah tertarik dengan proyek pemerintah.”
Lita tambah membelalakan matanya. Ternyata, satu-satunya alasan hanya Tias. Lita menelan air liurnya susah payah. Ada seseorang yang demikian mencintai pasangannya sedalam itu. Mengapa tidak dari kemarin datang ke dalam kehidupan Tias. Dari pada dengan Galih yang selalu melukai Tias. Jika mereka bertemu beberapa tahun lalu, mungkin akan lain ceritanya.
Ilham menggenggam tangannya, kemudian menciumnya berkali-kali. Genggaman tangan Ilham di balas oleh Tias. Wanita itu masih dalam keadaan terpejam, namun merespon sentuhan dari Ilham.
“Yas, kamu merasakanku? Bukalah matamu jika kau mendengarku. Please!” Ilham berkali-kali membisikan kata sayang pada Tias, hingga sebanyak dia membisikan, sebanyak itu pula tangan Tias merespon.
“Bag
“Nggak usah ngelawan sekali-kali kenapa, sih? Sudah lemah seperti itu masih saja bawel dan cerewet.” Ilham diam sejenak, kemudian dia menawarkan makan. “Laper nggak?” tanya Ilham mulai merendah.“Yas ....” Ilham tidak bertanya lagi, setelah mendengar suara kemerucuk dari perut Tias. Ilham keluar dari ruangan kemudian berjalan menuju ke ruang dokter dia ingin menanyakan apa yang boleh dimakan oleh Tias dan yang tidak boleh.Lelaki itu mengetuk pintu ruangan dokter, kemudian masuk ketika dokter mempersilakan. Dengan hati-hati lelaki itu memutar knop pintu kemudian masuk ke ruangan yang di dominasi oleh warna putih itu.“Silakan, Pak. Maaf ...” Dokter tercekat karena tidak tahu nama Ilham.“Terima kasih. Saya Ilham,” ucap Ilham sambil menjabat tangan dokter tampan tersebut. Meskipun usianya sepertinya t
Seorang berpakaian khas pengantar makanan dari restoran yang dia pesan terlihat menapaki lorong rumah sakit. Ilham menghampirinya. Terlihat dari aplikasi pergerakannya. Pengantar makanan itu akan stop hanya di depan gerbang masuk ruang rawat karena memang sekarang ini tidak diperbolehkan sembarang orang masuk. Sekotak pizza dan spagetty dipesannya. Wanita itu memang makan semua masakan tanpa memilih. Akan tetapi, dia selalu terlihat bahagia, saat memakan makanan Italia itu. “Pak, bisa uang pas? Saya tidak membawa kembalian,” tanya lelaki itu, setelah merogoh koceknya tidak ada uang dua puluh ribuan. “Anggap saja, bonus untukmu karena membantuku,” tukas Ilham. Lelaki muda itu terlihat gembira. Dia permisi untuk melanjutkan mengantar pesanan yang lain. Sedangkan Ilham memasuki ruangan itu. “Yas ...” Hening Ilham memegang urat nadi yang ada di leher
Malam semakin larut mereka masih saja bercengkrama. Mulai hadir rasa nyaman antara keduanya. Perasaan di dalam diri Ilham mulai mengakar dan bertunas menjadi pohon cinta yang rimbun dan berbuah. Akan tetapi di lain sisi, terjadi kebimbangan dalam diri Tias. Wanita itu masih terikat perkawinan dengan pria lain. Baginya, ikatan itu sangat suci dan pantang untuk dinodai. Harapan itu masih sangat besar kepada suaminya, yang kini bahkan terkesan tidak peduli padanya. Bahkan mencarinya saja tidak.“Ehmm ... mas, malah lupa. Tadi katanya mau tanya sesuatu. Tanya apa?” ingat Tias.“Ehm , apa ya? Nggak jadi ah,” goda Ilham.“Eh, kenapa? Bikin penasaran deh.”“ya, memang nggak jadi. Nggak penting juga.”“Harus jadi, ih.” Tias memanyunkan mulutnya. Dia sebal sama lelaki itu. Tias penasaran yang akan dikatakan oleh lelaki itu.
Terbesit untuk menerima kebaikan Ilham. Akan tetapi, pikirannya kembali memberontak. Ilham belum pernah mengatakan bahwa perasaannya ingin memiliki Tias seutuhnya. Bimbang kembali merajai relung terdalamnya. Bagaimana kalau kebaikan Ilham hanya sebagai sahabat saja? Dia akan kecewa dua kali.Suara kokok ayam menandakan fajar menyingsing. Tias sama sekali belum terpejam. Dia bangkit kemudian mengambil air wudhu. Akan tetapi, wanita itu lupa bahwa dirinya tidak membawa perlengkapan sholat. Dia tdak jadi melakukan sholat malam. Akan tetapi sebagai gantinya berdzikir untuk meminta pencerahan dari rasa ragunya. Dia menghadap ke kiblat kemudian mulai mengalunkan ayat-ayat Tuhan untuk menyejukan jiwanya yang dilanda kemunafikan.Ilham melirik, ketika Tias duduk termangu menghadap ke kiblat. Lelaki itu menerka-nerka apa yang dilakukan wanita itu. Saat diam dan serius seperti itu, wanita itu terasa makin memepesaona. Ada sebuah kutub besar yang menar
“Aku tidak tahu ... aku tidak tahu. Aku melihat semuanya, semuanya. Seorang wanita di lucuti pakaiannya oleh dua orang pria, kemudian ... kemudian wanita itu, wanita itu ... darah, ada darah ... aku takut. Gelap ... seluruhnya gelap,”Ilham memeluk erat wanita itu. Wanita yang kini menghuni seluruh aliran darahnya, menjadi bunga yang menyejukan hari-harinya. Kini berada di pelukannya, walau belum menjadi siapapun. Ilham mengelus-elus puncak kepalanya. Dia memberikan kenyamanan pada wanita itu. Ada apa sebenarnya dengan Tias? Apa yang terjadi?“Tidak apa-apa. Sekarang, coba berwudu. Bukankah kamu sering melakukan sholat? Lakukan sekarang.”“Maafkan aku, Yas. Aku tidak bisa membimbingmu, karena aku juga belum begitu mahir. Akan tetapi aku janji, untuk menjadi seorang imam yang baik, akan belajar,” batin Ilham.Tias merenggangkan pelukannya. Kemudian melepaskannya, di
“Yas, aku di sini. Maafkan aku. Bukan aku bermaksud bersembunyi. Tapi ...” Ilham menjeda kata-katanya sendiri. Dia berbicara pada diri sendiri, saat Tias tertidur lelap. “Ah ... tapi aku tidak bisa jujur padamu. Aku takut kamu marah. Aku tidak bermaksud menghilang. Aku ingin memberikan kamu hidup yang layak. Ternyata, aku terlambat.” Ilham menunduk. Dia menghirup nafasnya dalam-dalam. Ada beban rasa yang menimpanya berpuluh-puluh ton beratnya. Sesak dada tidak mampu dia kendalikan, hingga sudut matanya meluncur air bening menetes di atas telapak tangan Tias, dan wanita itu menggenggamnya dengan reflek. Padahal dia dalam posisi terlelap. Ilham terpaku. Dia seperti mendapat wangsit, bahwa ini bertanda bahwa Tias yang akan menghapus dukanya. Tias akan menjadi pelipur lara, ketika jiwanya merasa terguncang. Dia tempatnya kembali saat lelah dan butuh pelukan. Tias seolah telah mengakar dalam aliran darahn
“Yas, aku mau bicara ...”“Bicara? Bicara apa?” tanya Tias sambil memicingkan mata. Rasa penasaran menggelayuti relung di jiwanya. Lelaki itu sedikitbanyak sudah memasuki sudut hatinya kembali.“Tapi, janji dulu. Kamu jangan marah, ya?” pinta Ilham. Lelaki itu tersenyum manis sekali.Sampai rasanya hati Tias akan diabetes.“Iya, apa sih?” desak Tias. Sambil terus memelihara penasarannya.“Janji dulu,” tukas Ilham sambil menunjukan kelingkingnya.“Iya, ih ... bawel bururan. Kalau aku mati penasaran, mas dulu yang aku gentayangin,” manja Tias. Sungguh hati wanita sangat rapuh.Ilham merangkai kata dengan hati-hati, agar Tias tidak marah. Diasudah menyiapkan jurus kata indah yang akan digunakan sebagai trik untuk membela diri.“Masih ingat Ilham Mahard
“Ah, shit ... halo,ada apa?” tanya Ilham. Dia kesal dengan sang penelepon yang sudah berani mengganggunya.“Tuan, ada masalah. Pengiriman barang ke Vietnam dijagal sama gangster. Tapi, kami masih bisa mengatasi. Hanya saja, saya laporkan karena siapa tahu akan ada masalah susulan dengan polisi,” terang orang di seberang.“Iya, atasi segera. Laporkan jika sudah tuntas.”Ilham menutup gawainya untuk kembali fokus kepada sang kekasih. Wanita itu, wanita dengan sejuta pesona yang mampu meraba relung jiwanya, menjadikan hatinya tetap tinggal untuk memimpikannya. Pernah dia berusaha mengalihkan perhatian pada wanita lain, tapi hasilnya nihil. Tetap saja, seorang Tias wanita yang hadir dalam hidupnya sejak enam belas tahun yang lalu yang memenangkan hatinya.“Mas ...” Tias merenggangkan genggamannya.“Ada apa, Sayang?&r