Ini adalah hari kedua Katrina bekerja efektif di kantor sekaligus hari ke dua Katrina mencari cinta pertamanya, Reyhan.
Sepulang bekerja nanti, Katrina berniat mendatangi rumah lamanya di perumahan Medina, Jakarta Selatan. Sekaligus bersilaturahmi ke rumah Anggia. Sahabatnya sejak kecil yang notabene menjadi tetangganya selama enam belas tahun Katrina tinggal di Jakarta. Katrina sangat merindukan Anggia.
Anggia adalah sosok sahabat terhebat sepanjang sejarah kehidupan Katrina. Anggia itu sosok gadis yang sangat periang. Dia bawel, jahil, centil, kadang kalau moodnya sedang tidak baik, dia suka sewot-sewot sendiri, tidak jelas. Tapi satu hal yang paling membuat Katrina merasa nyaman bersahabat dengan Anggia, dia itu tulus. Anggia itu sosoknya agak kekanak-kanakkan dan manja, karena dulu, Anggia hanya tinggal bersama ke dua orang tuanya di Jakarta. Jadi, semua kebutuhan Anggia selalu dituruti oleh ke dua orang tuanya tanpa terkecuali. Tante Hanum dan Om Haris sangat menyayangi Anggia. Di mata Katrina, Anggia itu adalah sosok yang sangat beruntung, karena memiliki keluarga yang lengkap. Anggia pernah bercerita tentang Kakak laki-lakinya yang tinggal di Bandung, ikut bersama Omah dan Opahnya. Tapi selama Katrina tinggal di Jakarta dan menjadi sahabat Anggia, tak pernah sekalipun Katrina bertemu atau dikenalkan oleh Kakak laki-lakinya itu, karena memang sang Kakak sendiri yang tidak pernah mau di ajak ke Jakarta oleh orang tuanya. Dari cerita Anggia, sepertinya hubungan sang Kakak dengan orang tua Anggia itu kurang baik, maka sebab itulah Anggia selalu terlihat seperti seorang anak tunggal. Sementara mengenai nama asli Kakak Anggia itu, Katrina sendiri lupa. Anggia jarang menyebutkan namanya, dia lebih sering memanggilnya dengan sebutan "Aa".
"Eh, lo tau nggak Sya? Ada siapa di dalem ruangan kantornya Pak Hardin sekarang?" celetuk sebuah suara yang tiba-tiba terdengar dari dalam toilet karyawan wanita.
Katrina menoleh sekilas kepada beberapa karyawati yang sedang bermake up dan bergosip ria di toilet ketika dia hendak menggunakan toilet.
"Kayaknya sih cewek baru lagi," sahut suara lain.
Dari dalam toilet Katrina jelas mendengar apa yang sedang mereka bicarakan. Tapi dia tak ingin terlalu ikut campur. Karena menurutnya itu tidak penting.
"Aduh ampun ya! Pagi-pagi dateng ke Kantor bawa cewek, terus mereka berduaan, lama gitu di dalem ruangan yang tertutup! Ih! Nggak punya etika banget sih Bos lo, Sya!"
"Eh, Bos gue itu Pak Hardin, kan Bos lo juga Anita, helloow!"
"Ah si Nita, bisa-bisanya bilang begitu. Giliran dia yang di ajak berduaan di dalem ruangannya Pak Hardin aja, girangnya setengah mampus! Tujuh hari tujuh malem, pasti yang di bahas itu lagi-itu lagi. Pak Hardin kok ganteng banget sih ya? Bibirnya itu loh, seksi banget, nggak nahan gue! Huh! Dasar! Pake ngomongin soal etika lagi," kali ini wanita paling ujung yang sedari tadi diam mulai ikutan nimbrung bergosip. Dia bahkan memperagakan gaya bicara sahabatnya yang bernama Nita, yang memang terlihat agak berlebihan kalau bicara. Seperti dibuat-buat. Mungkin agar terlihat lebih lemah gemulai dan seksi. Entahlah!
"Bilang aja lo jeleous. Dasar Anita, muna!" timpal Kisya.
Katrina keluar dari toilet dan baru saja selesai memasang kain penutup wajahnya yang sengaja dia lepas.
Katrina tidak mengenal siapa wanita-wanita itu, hanya salah satu dari mereka yang bernama Kisya yang dia tahu adalah sekretaris Hardin.
Katrina sadar tengah menjadi pusat perhatian wanita-wanita penggosip itu yang kini mulai berbicara setengah berbisik di belakangnya dan Katrina sama sekali tidak perduli.
Katrina mulai berjalan menuju ruangannya yang terletak berhadapan dengan ruangan Bosnya. Katrina jadi melirik sekilas ke arah pintu ruangan yang kondisinya tertutup rapat itu. Pikirannya mendadak melantur, saat dia mengingat isi percakapan karyawati-karyawati di dalam toilet tadi. Hingga setelahnya dia terus beristigfar dalam hati.
Hari ini sepertinya Katrina datang kepagian. Suasana kantor masih sangat sepi. Katrina melihat ada tiga buah berkas di meja kerjanya yang harus dia selesaikan hari ini.
Sebuah telepon berdering. Telepon yang terletak di meja kerja Kisya yang ada di sebelahnya.
Berhubung hanya ada dia seorang di ruangan itu, Katrina pun mengangkat telepon itu.
"Halo Kisya? Tolong bilangin Pak Hardin suruh angkat telepon di ruangannya. Itu telepon penting, dari Pak Syamsul di Bandung. Cus ya, Pak Syamsulnya udah marah-marah nih!" suara di seberang terdengar panik.
"Tapi Mba, aku bu-" kan Kisya.
Kalimat Katrina terpotong begitu telepon di seberang sana langsung diputus. Padahal dia baru hendak menjelaskan.
Katrina bingung setengah mati, dia jadi maju mundur di depan ruangan Hardin. Dia ingin masuk untuk menyampaikan amanah dari resepsionis tadi kepada Hardin. Hanya saja, dia ragu. Dia takut apa yang saat ini hinggap di kepalanya itu benar.
Katrina tahu Hardin sedang tidak seorang diri di dalam sana melainkan sedang bersama seorang wanita yang entah itu siapa. Yang jelas Katrina merasa risih dengan hal-hal yang mungkin saja terjadi di dalam sana. Ketika seorang laki-laki dan seorang wanita berada berduaan di sebuah ruangan tertutup maka pihak ke tiganya adalah syaiton.
Tapi sepertinya, amanah yang disampaikan si resepsionis itu pun penting.
Katrina masih berdiri di depan pintu ruangan Hardin tanpa menyadari pintu itu dibuka dari dalam.
Hardin kaget. Dan Katrina lebih kaget lagi. Karena posisi Katrina berdiri benar-benar persis di depan pintu ruangan itu. Katrina pun reflek memundurkan langkahnya menjauh dari atasannya yang hampir saja menubruknya dari balik pintu itu, di mana saat laki-laki itu keluar, posisi Hardin sedang bercengkrama dengan wanitanya, membuat laki-laki itu tidak fokus berjalan.
Hardin reflek melepaskan tangannya yang melingkar di pinggul wanita yang keluar bersamanya dari dalam ruangan itu. Seorang wanita cantik dengan tubuh tinggi, ramping, dan pakaian yang bisa dikatakan sangat minim.
Hardin terlihat kikuk. Dia membenarkan posisi jas kantornya yang terlihat agak berantakan.
"Ngapain kamu berdiri di situ? Kamu mau mengintip saya?" tanya Hardin galak.
Katrina menundukkan kepalanya bermaksud ingin meminta maaf, tapi bukan kata maaf yang keluar dari mulutnya melainkan sebuah suara jeritan tertahan.
"Astagfirullahal'adzim!"
Katrina sontak beristighfar dan reflek memalingkan pandangannya ke arah lain, saat tanpa sengaja, arah pandangannya tertuju pada retsleting celana Hardin yang masih terbuka. Sepertinya Katrina mendadak ingin pingsan saat itu juga.
Sementara Hardin yang menyadarinya langsung buru-buru membenarkan retsleting celananya. Dia jadi salah tingkah. Apalagi saat tiba-tiba wanita di sampingnya itu berkata seraya tertawa kecil.
"Masih kurang sayang? Mau tambah lagi?" suara itu terdengar manja. Wanita itu mengalungkan lengannya di leher Hardin yang menyambutnya dengan senyuman penuh arti.
Katrina benar-benar ingin muntah menyaksikan hal itu!
Sungguh menjijikan! Bagaimana bisa perusahaan ini maju dengan sangat pesat sementara kelakuan pemimpinnya sangat tidak bermoral? Katrina tidak bisa berhenti memaki dalam hati.
"Ada perlu apa kamu berdiri depan pintu ruangan saya?" tanya Hardin sok cool, padahal dalam hati dia benar-benar malu.
"Tadi ada telepon dari bagian resepsionis, katanya Pak Syamsul telepon dari Bandung, penting. Permisi!" Katrina menyadari wajahnya mulai memanas. Seperti terbakar. Hingga setelahnya dia lebih memilih untuk segera pergi dari hadapan dua orang manusia menjijikan itu.
Hardin tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia berjalan melewati Katrina bersama salah satu wanita koleksinya itu ketika Katrina sudah duduk di meja kerjanya. Hardin mencoba berjalan sesantai mungkin, dia sempat melirik ke arah Katrina, hanya sekilas tapi sialnya di saat yang bersamaan tatapan tajam mata bercelak hitam itu pun juga sedang menatapnya balik. Hardin buru-buru memalingkan wajahnya ke arah lain.
Dia terus memaki dalam hati. Memaki dirinya sendiri. Dirinya yang terlihat begitu bodoh pagi ini. Dan kenapa harus wanita itu yang memergokinya?
Shit! Pekik batinnya kesal.
Semoga suka..
Duhai Putri Bulanku, sudikah kau menjadi penyelamat hatiku? Bait puisi terakhir dari Reyhan yang masih lekat dalam ingatan Katrina. Sebuah puisi yang dipersembahkan Reyhan saat laki-laki itu menyatakan perasaannya pada Katrina. Bahkan Katrina pun masih menyimpan gelang perak pemberian Reyhan yang warnanya sudah mulai memudar. Gelang dengan gantungan bulan-bulan sabit berwarna-warni. Hari ini pencarian Katrina lagi-lagi tak membuahkan hasil. Dia tak mendapati siapapun di rumah Anggia sore tadi. Kata tetangga, rumah itu sudah lama kosong semenjak Orang Tua Anggia mengalami kecelakaan mobil hingga menyebabkan mereka tewas di tempat. Katrina benar-benar merasa sangat tidak berguna. Sebagai seorang sahabat, dia justru tidak ada di sisi Anggia ketika Anggia harus melewati masa-masa tersulit dalam hidupnya. Kehilangan ke dua orang tua yang begitu menyayanginya selama ini. Dan ada kemungkinan Anggia sekarang tinggal di
"Halo what's up, bro? Bangunlah! Molor melulu, tahajud sana," Hardin berjalan ke teras apartemennya dengan ponsel yang menempel di telinga. Dia kembali mengejek sahabatnya yang seringkali dia sebut sebagai Ustadz tamvan. "Lo ternyata," sahut Reyhan masih dengan mata setengah terbuka. Diliriknya jam dinding di kamarnya, pukul 03.45 WIB. "Hmmm, kayaknya perasaan gue nggak enak deh," gumam Reyhan lagi sambil membenarkan posisi bantalnya. "Ada baiknya, sebelum ngingetin orang lain, lo ngaca dulu sama diri lo sendiri," Hardin tertawa. "Baper banget lo jadi cowok! Salah gue ngomong begitu? Udah mau shubuh, bangun kali Pak Ustadz Reyhan," "Udah nggak usah basa-basi busuk lo, ada perlu apaan telepon gue pagi-pagi buta begini?" sembur Reyhan kesal. "Begini Bro, lusa gue mau ambil cuti ya tiga hari. Besokkan Pak Charles udah masuk tuh, so..." "Gue nggak mau!" jawab Reyhan cepa
Seorang laki-laki berjalan santai keluar dari area parkir perusahaan setelah memarkirkan Grand Livina putihnya. Gayanya terlihat casual tapi tetap formal. Setelan kemeja hitam dengan celana panjang slim fit hitam yang dia padu padankan dengan blazer coklat tua polos membuatnya terlihat begitu rapi. Potongan rambut tipe pompadour menambah kesan macho, trendi dan kekinian di dalam dirinya. Pesona yang dia pancarkan nyaris membuat setiap pasang mata seolah terhipnotis saat melihatnya. Terlebih lagi, bagi lawan jenisnya. Laki-laki itu berjalan ke lobi menuju bagian resepsionis. Belum ada orang di sana. Hanya ada beberapa security, itu pun di luar gedung. Lalu dia mulai merogoh kantong celananya dan mengeluarkan ponsel androidnya yang berwarna silver. Dia mulai menghubungi seseorang. Dalam hitungan lima detik telepon itu pun diangkat.
Di sebuah ruangan kecil yang tertutup. Di dalam toilet khusus untuk karyawan wanita. Seorang wanita bercadar bersandar pada dinding-dindingnya yang dingin. Dia melepas cadarnya dengan satu tarikan tangan. Tubuhnya jatuh terhempas di atas toilet duduk. Dia merasakan dadanya yang tiba-tiba sesak. Nafasnya tersengal tak beraturan. Pandangan matanya kabur tertutup cairan-cairan bening yang mencoba untuk keluar namun dia tahan. Wanita itu menyekanya sebelum air mata itu sempat jatuh. Dia kembali teringat dengan percakapan terakhirnya dengan seorang laki-laki di masa lalunya sekitar sepuluh tahun yang lalu, di taman belakang sekolah. * "Mulai detik ini, aku nggak akan lelah berdoa sama Tuhan, sampai Tuhan bosan dan akhirnya Tuhan mengabulkan doaku," jelas seorang gadis
"Lo mau minum apa, Han?" tanya Hardin sebelum dia menelpon sekretarisnya Kisya untuk memesankan minuman. "Apa ajalah," sahut Reyhan datar. Hardin meraih gagang telepon kantor dan mulai menelepon. "Kisya tolong pesankan saya dua teh manis hangat. Antarkan ke ruangan saya ya? Oh ya, sekalian bilang sama Katrina suruh bagian marketing kirim file dokumen hasil rekap produksi selama dua hari ini, saya tunggu." Setelah mendengar jawaban dari Kisya, Hardin menutup telepon itu. Dia mendapati Reyhan yang menatapnya dengan tatapan yang aneh. Belum sempat Hardin bicara, Reyhan sudah mendahului. "Lo ngomong sama siapa tadi?" tanya Reyhan penasaran. "Sama sekretaris gue, kenapa?" Hardin menangkap ada yang aneh dari pertanyaan Reyhan. "Nama sekretaris lo, Katrina?" tanya Reyhan lagi dengan ekspresi yang benar-benar serius. "Bukan, sekretaris gue namanya Kisya. Katrina itu karyawan baru. Dia gue suruh jadi asistennya Kisya untuk semen
"Lo kenapa nggak tinggal di rumah orang tua lo aja di Medina? Ngapain pake sewa apartemen? Jarak dari kantor ke Medina juga nggak jauh-jauh banget," tanya Reyhan pada Hardin. Selama tinggal di Jakarta Hardin menyuruh Reyhan stay di apartemennya. Sebab Hardin tahu Reyhan tidak memiliki tempat tinggal di sini. "Biar lebih bebas aja sih. Kalau tinggal di sana takut nanti malah jadi omongan tetangga," jawab Hardin acuh. Kini mereka sedang duduk santai di teras apartemen Hardin yang berada di lantai 10. Dari atas sini mereka bisa menikmati suasana malam kota Jakarta yang penuh dengan kerlap-kerlip lampu kota yang berwarna-warni. Bahkan sesekali angin malam menerpa tubuh mereka. "Btw, gue masih penasaran kenapa tadi lo ngebet banget kenalan sama Katrina? Lo kenal sama dia?" lanjut Hardin menyelidik. Jarang-jarang sobatnya yang tampan ini terlihat begitu tertarik unt
Hardin memang keterlaluan. Bisa-bisanya dia memberikan begitu banyak pekerjaan pada Reyhan, sementara dia asik liburan ke Lombok bersama aktris itu.Reyhan benar-benar tidak percaya dengan hal ini. Waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 WIB ketika Reyhan tidak juga beranjak dari layar laptopnya. Ada masalah di kantor cabang di Surabaya. Sementara di sana Pak Tristan selaku Om Hardin mengaku tidak dapat menyelesaikan masalah itu. Jadilah Reyhan yang terkena imbasnya. Sebab nomor ponsel Hardin fix tidak dapat dihubungi terhitung mulai dia berangkat ke Lombok bersama Dara malam tadi. Sedari dulu, orang pertama yang paling bisa diandalkan di perusahaan adalah Reyhan. Gagasan-gagasan dan ide-ide brilliant yang diajukan Reyhan selalu sukses membuat perusahaan meningkat satu level ke tahap yang lebih tinggi hingga akhirnya kini perusahaan itu bisa masuk daftar urutan lima besar perusahaan terbesar di Indonesia.
Seharian ini Anggia terus menempel pada Reyhan. Sementara Reyhan cuma bisa pasrah tapi bukan karena dia suka, hanya saja dia tidak mau menyinggung perasaan wanita yang sudah dia anggap seperti adiknya sendiri itu. Reyhan duduk di salah satu bangku panjang di kedai mini. Dimana sisi ujung dari bangku itu tengah diduduki oleh seseorang. Ya, Katrina namanya. Wanita yang cukup menyita sedikit perhatian Reyhan sejak pertama kali mereka bertemu di ruangan Hardin. "Kamu mau makan apa?" tanya Reyhan pada Anggia. "Aku mau makan bakso sama es jeruk. Di Jerman nggak ada bakso soalnya." Reyhan berjalan untuk memesan makanan. Sementara tatapan Anggia tertuju pada wanita bercadar di ujung sana. Bukankah dia wanita yang ada di ruangan Kak Rey tadi? Tebak Anggia. Matanya terus menyelidik ke arah Katrina. Sampai Reyhan akhirnya kembali. "Kak, itu wanita yang pakai cadar itu siapa?" tanya Anggia penasaran. Kalimatnya setengah berbisik. "Itu karyawan bar