Duhai Putri Bulanku, sudikah kau menjadi penyelamat hatiku?
Bait puisi terakhir dari Reyhan yang masih lekat dalam ingatan Katrina. Sebuah puisi yang dipersembahkan Reyhan saat laki-laki itu menyatakan perasaannya pada Katrina. Bahkan Katrina pun masih menyimpan gelang perak pemberian Reyhan yang warnanya sudah mulai memudar. Gelang dengan gantungan bulan-bulan sabit berwarna-warni.
Hari ini pencarian Katrina lagi-lagi tak membuahkan hasil. Dia tak mendapati siapapun di rumah Anggia sore tadi. Kata tetangga, rumah itu sudah lama kosong semenjak Orang Tua Anggia mengalami kecelakaan mobil hingga menyebabkan mereka tewas di tempat.
Katrina benar-benar merasa sangat tidak berguna. Sebagai seorang sahabat, dia justru tidak ada di sisi Anggia ketika Anggia harus melewati masa-masa tersulit dalam hidupnya. Kehilangan ke dua orang tua yang begitu menyayanginya selama ini. Dan ada kemungkinan Anggia sekarang tinggal di Bandung bersama Kakek dan Neneknya.
Semenjak non aktif di media sosial, Katrina benar-benar telah kehilangan kontak komunikasi dengan Anggia. Dan semua itu karena sang Bunda yang dengan tega memblokir seluruh akses komunikasinya di media sosial. Dari mulai F******k, twitter, I*******m, line, bahkan sampai pada semua nomor kontak tersimpan di ponsel Katrina, di hapus seluruhnya oleh Arini. Di mana alasannya hanya satu, karena Reyhan. Arini tidak mau Katrina masih berhubungan dengan Reyhan meski jarak mereka terpisah jauh. Arini memang sungguh kejam.
Malam ini usai menunaikan shalat Isya, Katrina memilih untuk ikut berkumpul bersama Rudi dan istrinya Zahara di ruang keluarga. Rudi sempat menanyakan padanya bagaimana kesan pertama bekerja di perusahaan Hardin.
"Perusahaannya bonafit sih, Om. Cuma, aku agak kurang sreg aja sama kelakuan CEO-nya yang bernama Hardin itu," jawab Katrina mencoba jujur. Kejadian memalukan tadi pagi di kantor seolah kembali memenuhi isi kepalanya. Tapi anehnya, Rudi justru tertawa seraya menyesap kopinya.
"Hardin itu memang sudah dari kecil buadungnya minta ampun, kalo kata orang sunda bilang sih, bangor pisan eta budak. Tapi semenjak ke dua orang tuanya meninggal tiga tahun yang lalu, sedikit demi sedikit tingkah lakunya mulai berubah. Terutama hubungannya dengan adik perempuannya. Dulu dia tidak pernah perduli pada adiknya. Hardin malah sering menuduh adiknya adalah penyebab orang tuanya tidak menyayangi dia lagi, sampai dia tidak mau tinggal bersama orang tuanya di Jakarta dan lebih memilih tinggal bersama Nenek dan Kakeknya di Bandung. Makanya keluarga Pak Syamsul itu selalu mendesak Aki supaya cepat-cepat mencarikan jodoh untuk Hardin, karena mereka sangat percaya pada keluarga Aki. Mereka percaya pilihan Aki pasti yang terbaik untuk Hardin,"
"Uhuk-uhuk!" Katrina hampir tersedak biskuit yang sedang dia kunyah. Cepat-cepat dia mengambil minuman di meja dan meneguknya perlahan. Katrina memang tidak pernah memakai cadar di dalam rumah.
"Jadi, maksud Om Rudi, Hardin adalah laki-laki yang waktu itu di ceritakan oleh Aki, yang Aki bilang, ada seorang laki-laki dari keluarga baik-baik yang sedang mencari pendamping hidup?" ucap Katrina masih dengan ekspresi tidak percaya. Katrina terus beristighfar dalam hati. Mungkin iya kalau dikatakan dari keluarga baik-baik, tapi Hardin jelas bukan laki-laki baik.
"Iya, benar." jawab Rudi sambil menganggukan kepalanya. "Memang Aki belum mengatakan apa-apa padamu?"
"Sudah sih Om," jawab Katrina lesu. Katrina mencoba mengingat pembicaraannya dengan Aki dan Nini di Bandung waktu itu, tepat satu hari sebelum keberangkatannya ke Jakarta.
*
"Sekarang usiamu sudah 25 tahun kan Trina?" tanya Aki.
Katrina mengangguk mengiyakan. Matanya sesekali menoleh ke arah Nini.
"Aki cuma mau bertanya, apa sekarang ini kamu sedang dekat dengan seseorang?"
"Maksud Aki?" tanya Katrina masih belum paham arah pembicaraan ini.
"Apa ada seseorang yang sekarang kamu cintai? Jika ada, bawa dia ke sini, kenalkan pada kami. Tapi jika tidak ada, Aki mau kamu sesegera mungkin menikah. Tidak baik bagi seorang muslim apalagi seorang wanita yang sudah cukup umur terlalu lama sendiri. Rentan terhadap fitnah. Dan lagi, Aki tidak mau kamu nanti terjerumus ke dalam pergaulan yang tidak sehat." jelas Aki panjang lebar.
Katrina terdiam cukup lama. Entah mengapa begitu mendengar kata cinta dan menikah, pikirannya langsung tertuju pada satu orang. Tapi dia langsung menepisnya. Omongan Aki memang ada benarnya. Katrina tidak mungkin selamanya sendiri.
"Kalau kamu memang belum mau berbicara masalah ini tidak apa. Aki akan menunggu hingga kamu siap. Aki hanya ingin memberitahu, bahwa ada seorang laki-laki dari keluarga baik-baik yang sedang mencari pendamping hidup. Keluarga mereka sudah lama meminta Aki untuk mencarikan seorang wanita untuk cucu mereka. Mungkin jika kamu tertarik Aki bisa hubungi keluarga mereka supaya nanti kita langsung adakan pertemuan keluarga,"
"Ada baiknya kamu pikirkan lagi, Nak. Kesempatan baik tidak akan datang dua kali. Nanti malam kamu shalat istikharah, minta petunjuk-Nya, jika selesai shalat hatimu menjadi lebih tenang, itu artinya pertanda baik dari Allah SWT untukmu," kali ini Nini yang menimpali.
*
Katrina menggelengkan kepalanya pelan, berusaha menepis semua pikiran aneh yang tiba-tiba berseliweran di dalam kepalanya. Bagaimana jika apa yang dia pikirkan sekarang ternyata benar? Bahwa Aki dan Nini bermaksud menjodohkan dirinya dengan Hardin, sejak awal.
Katrina merasakan perutnya mendadak mual. Kepalanya langsung terasa sakit. Jelas hal ini tidak boleh terjadi!
"Kamu baik-baik saja Trina?" tanya Zahara yang menangkap adanya kejanggalan dari ekspresi Katrina.
Katrina menggeleng pasti.
"Aku baik-baik saja kok, Tante Za. Katrina pamit ke kamar dulu ya Om, Tante. Assalaamualaikum."
"Waalaikum salam." jawab Rudi dan Zahara bersamaan.
Katrina berjalan gontai menuju kamarnya.
Semoga, malam ini dia tidak bermimpi buruk. Harap Katrina, membatin.
*****
Hari yang sangat melelahkan bagi Katrina.
Di saat dia harus terpaksa menemani Hardin menghadiri pertemuan penting dengan beberapa klien asing di suatu tempat, karena Kisya sang sekretaris tiba-tiba izin pulang lebih awal dengan alasan sakit. Jadilah Katrina terkena imbasnya. Sebab tugas Kisya akan otomatis di serahkan kepada Katrina selaku asisten jika Kisya sedang tidak ada di tempat. Pekerjaan Kisya akhir-akhir ini sedang menumpuk, itulah sebabnya dia perlu perbantuan untuk meringankan beban pekerjaannya di kantor. Dengan kedatangan Katrina, jelas Kisya menjadi sangat terbantu.
Seharian ini Katrina terpaksa menjadi pelayan yang mau tak mau harus melaksanakan seluruh perintah bos besar yang dia anggap menyebalkan itu.
"Permisi Pak, kita masih menunggu siapa lagi di sini?" tanya Katrina saat Hardin tak juga beranjak dari duduknya. Kini mereka sedang berada di dalam sebuah ruangan aula gedung hotel berbintang lima yang tadi dijadikan sebagai ruang pertemuan. Padahal pertemuan itu sudah selesai sejak setengah jam tadi. Entah apa yang dia lakukan dengan layar ponselnya itu. Katrina sendiri tidak tahu, tapi yang dia tangkap, sedari tadi Hardin serius menatap ponselnya sambil sesekali mengetik sesuatu lalu laki-laki itu tersenyum-senyum sendiri.
Pertanyaan Katrina tidak di gubris. Katrina menarik nafas berat dan menghembuskannya cepat. Dia mulai bosan di sini. Diliriknya kembali jam tangannya, sudah hampir masuk waktu ashar.
"Permisi Pak Hardin, apa kita masih ada pertemuan lanjutan dengan klien lain?" kali ini suara Katrina mulai meninggi. Berharap telinga bosnya itu bisa menangkap jelas suaranya.
Hardin mendongak sekilas, "oh, nggak ada kok." ucapnya cuek dan langsung beralih lagi ke ponselnya. Sepertinya dia hendak menelepon seseorang.
Katrina melipat tangannya di depan dada. Apa iya dia harus keluar sekarang tanpa meminta izin dulu pada Hardin? Tapi, itu akan terkesan sangat tidak sopankan? Bahkan sekarang bosnya itu sedang menelepon seseorang. Baiklah, mungkin Katrina harus lebih bersabar sebentar.
"Iya sayang, ini aku baru mau otw menjemput kamu. Aku baru selesai meeting, nggak sabaran nih? Udah kangen banget ya?" desah Hardin manja. Dia menyandarkan tubuhnya dengan santai di sandaran kursi meetingnya.
"...."
"Malam ini aku udah booking hotel buat kita, aku lagi males pulang ke apartemen. Lagi mau cari suasana baru supaya bisa lebih romantis," Hardin mulai mengeluarkan rayuan mautnya.
Katrina mencibir. Telinganya panas dan gatal mendengar kalimat-kalimat yang dilontarkan Hardin sedari tadi. Harusnya mereka kini sudah kembali ke kantorkan? Atau kalau bisa, Katrina ingin langsung pulang saja. Membuang-buang waktu saja di sini.
"Hahaha... Kamu berani ya nantangin aku? Awas ya kalau sampai merintih nanti, aku sumpal mulut kamu pakek punyaku," Hardin terus meracau sendiri. Sepertinya dia sangat menikmati phone sex nya. Bahkan saking asiknya dia seolah melupakan bahwa ada seorang wanita bercadar yang kini duduk bersamanya di dalam ruangan itu. Tapi sepertinya Hardin sama sekali tak terganggu. Perduli amat? Pikir Hardin. Dia kan cuma bawahan.
Katrina terus beristigfar dalam hati. Dia bahkan tidak ingin menoleh ke arah Hardin. Dia jengah mendengar percakapan itu. Sungguh, bukan hal yang berfaedah saat Katrina harus dipaksa mendengar kalimat-kalimat cabul yang dilontarkan Hardin dengan lawan bicaranya di telepon itu. Menjijikan sekali.
"Ya udah, kamu tunggu aku ya, duduk manis di situ, jangan kemana-mana, oke sayang?"
Setelah mendengar jawaban dari lawan bicaranya Hardin mengakhiri pembicaraannya di telepon. Dia melirik ke arah Katrina yang masih terdiam di kursinya.
"Kita pulang sekarang," ajaknya seraya berdiri.
"Daritadi kek!" gerutu Katrina kesal. Dia menyampirkan tasnya di bahu dan mengambil sebuah porto folio dihadapannya. Sebuah map yang berisi berkas-berkas penting yang tadi diperlukan. Lalu dia berjalan mengekor Hardin yang sudah lebih dulu melenggang keluar dari aula tersebut.
"Tidak usah ke kantor lagi. Langsung pulang saja," perintah Hardin saat mereka sudah masuk area parkiran.
"Oh, ya sudah kalau begitu, ngapain saya ikutin Bapak ke parkiran, mending saya langsung keluar naik metromini tadi," keluh Katrina kesal. Mungkin karena dia memakai cadar, jadi Hardin tidak bisa peka dengan wajah Katrina yang sedari tadi ditekuk sempurna dengan bibir tipisnya yang cemberut jengkel.
"Arah rumah Kang Rudi dengan tempat yang saya tuju searah, jadi sekalian saja ikut dengan saya, untuk apa naik metromini?" ucap Hardin yang memang sengaja ingin mengerjai Katrina sejak tadi. Makanya dia membiarkan wanita itu mati bosan di dalam sementara dia asik chating sex oleh wanita-wanita simpanannya.
Katrina terdiam. Dia menatap lurus-lurus wajah Hardin dengan sinis. "Tidak usah, Pak. Saya lebih nyaman naik metromini," jawabnya singkat dan yakin. Jelas dia tidak ingin berlama-lama lagi menghabiskan waktunya bersama laki-laki ini.
"Oh, begitu. Ya sudah, saya juga tidak akan memaksa,"
Hardin hendak masuk ke dalam mobilnya tapi bunyi nada panggilan dari ponselnya membuat langkahnya terhenti.
"Waalaikum salam, Pak Reyhan, ada apa, Bro?" ucap Hardin santai, dia bersandar di kap mobilnya.
Langkah wanita bercadar itu terhenti saat didengarnya nama yang di sebut oleh Hardin tadi. Dia ingin kembali menoleh dan memastikan lebih jelas apa yang telah didengarnya, saat suara klakson mobil membuyarkan lamunannya. Katrina terpaksa melanjutkan langkahnya menepi ke tepian parkiran. Dan saat dia menoleh, ternyata Hardin sudah melajukan mobilnya meninggalkan parkiran itu.
Tadi itu siapa ya yang bicara dengan Pak Hardin?
Pada akhirnya, Katrina hanya bisa bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Ada sejumput rasa sesal, kenapa tadi dia tidak mengiyakan tawaran Hardin saja untuk mengantarnya pulang.
Bodoh!
Silahkan beri rate dan ulasannya ya...
"Halo what's up, bro? Bangunlah! Molor melulu, tahajud sana," Hardin berjalan ke teras apartemennya dengan ponsel yang menempel di telinga. Dia kembali mengejek sahabatnya yang seringkali dia sebut sebagai Ustadz tamvan. "Lo ternyata," sahut Reyhan masih dengan mata setengah terbuka. Diliriknya jam dinding di kamarnya, pukul 03.45 WIB. "Hmmm, kayaknya perasaan gue nggak enak deh," gumam Reyhan lagi sambil membenarkan posisi bantalnya. "Ada baiknya, sebelum ngingetin orang lain, lo ngaca dulu sama diri lo sendiri," Hardin tertawa. "Baper banget lo jadi cowok! Salah gue ngomong begitu? Udah mau shubuh, bangun kali Pak Ustadz Reyhan," "Udah nggak usah basa-basi busuk lo, ada perlu apaan telepon gue pagi-pagi buta begini?" sembur Reyhan kesal. "Begini Bro, lusa gue mau ambil cuti ya tiga hari. Besokkan Pak Charles udah masuk tuh, so..." "Gue nggak mau!" jawab Reyhan cepa
Seorang laki-laki berjalan santai keluar dari area parkir perusahaan setelah memarkirkan Grand Livina putihnya. Gayanya terlihat casual tapi tetap formal. Setelan kemeja hitam dengan celana panjang slim fit hitam yang dia padu padankan dengan blazer coklat tua polos membuatnya terlihat begitu rapi. Potongan rambut tipe pompadour menambah kesan macho, trendi dan kekinian di dalam dirinya. Pesona yang dia pancarkan nyaris membuat setiap pasang mata seolah terhipnotis saat melihatnya. Terlebih lagi, bagi lawan jenisnya. Laki-laki itu berjalan ke lobi menuju bagian resepsionis. Belum ada orang di sana. Hanya ada beberapa security, itu pun di luar gedung. Lalu dia mulai merogoh kantong celananya dan mengeluarkan ponsel androidnya yang berwarna silver. Dia mulai menghubungi seseorang. Dalam hitungan lima detik telepon itu pun diangkat.
Di sebuah ruangan kecil yang tertutup. Di dalam toilet khusus untuk karyawan wanita. Seorang wanita bercadar bersandar pada dinding-dindingnya yang dingin. Dia melepas cadarnya dengan satu tarikan tangan. Tubuhnya jatuh terhempas di atas toilet duduk. Dia merasakan dadanya yang tiba-tiba sesak. Nafasnya tersengal tak beraturan. Pandangan matanya kabur tertutup cairan-cairan bening yang mencoba untuk keluar namun dia tahan. Wanita itu menyekanya sebelum air mata itu sempat jatuh. Dia kembali teringat dengan percakapan terakhirnya dengan seorang laki-laki di masa lalunya sekitar sepuluh tahun yang lalu, di taman belakang sekolah. * "Mulai detik ini, aku nggak akan lelah berdoa sama Tuhan, sampai Tuhan bosan dan akhirnya Tuhan mengabulkan doaku," jelas seorang gadis
"Lo mau minum apa, Han?" tanya Hardin sebelum dia menelpon sekretarisnya Kisya untuk memesankan minuman. "Apa ajalah," sahut Reyhan datar. Hardin meraih gagang telepon kantor dan mulai menelepon. "Kisya tolong pesankan saya dua teh manis hangat. Antarkan ke ruangan saya ya? Oh ya, sekalian bilang sama Katrina suruh bagian marketing kirim file dokumen hasil rekap produksi selama dua hari ini, saya tunggu." Setelah mendengar jawaban dari Kisya, Hardin menutup telepon itu. Dia mendapati Reyhan yang menatapnya dengan tatapan yang aneh. Belum sempat Hardin bicara, Reyhan sudah mendahului. "Lo ngomong sama siapa tadi?" tanya Reyhan penasaran. "Sama sekretaris gue, kenapa?" Hardin menangkap ada yang aneh dari pertanyaan Reyhan. "Nama sekretaris lo, Katrina?" tanya Reyhan lagi dengan ekspresi yang benar-benar serius. "Bukan, sekretaris gue namanya Kisya. Katrina itu karyawan baru. Dia gue suruh jadi asistennya Kisya untuk semen
"Lo kenapa nggak tinggal di rumah orang tua lo aja di Medina? Ngapain pake sewa apartemen? Jarak dari kantor ke Medina juga nggak jauh-jauh banget," tanya Reyhan pada Hardin. Selama tinggal di Jakarta Hardin menyuruh Reyhan stay di apartemennya. Sebab Hardin tahu Reyhan tidak memiliki tempat tinggal di sini. "Biar lebih bebas aja sih. Kalau tinggal di sana takut nanti malah jadi omongan tetangga," jawab Hardin acuh. Kini mereka sedang duduk santai di teras apartemen Hardin yang berada di lantai 10. Dari atas sini mereka bisa menikmati suasana malam kota Jakarta yang penuh dengan kerlap-kerlip lampu kota yang berwarna-warni. Bahkan sesekali angin malam menerpa tubuh mereka. "Btw, gue masih penasaran kenapa tadi lo ngebet banget kenalan sama Katrina? Lo kenal sama dia?" lanjut Hardin menyelidik. Jarang-jarang sobatnya yang tampan ini terlihat begitu tertarik unt
Hardin memang keterlaluan. Bisa-bisanya dia memberikan begitu banyak pekerjaan pada Reyhan, sementara dia asik liburan ke Lombok bersama aktris itu.Reyhan benar-benar tidak percaya dengan hal ini. Waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 WIB ketika Reyhan tidak juga beranjak dari layar laptopnya. Ada masalah di kantor cabang di Surabaya. Sementara di sana Pak Tristan selaku Om Hardin mengaku tidak dapat menyelesaikan masalah itu. Jadilah Reyhan yang terkena imbasnya. Sebab nomor ponsel Hardin fix tidak dapat dihubungi terhitung mulai dia berangkat ke Lombok bersama Dara malam tadi. Sedari dulu, orang pertama yang paling bisa diandalkan di perusahaan adalah Reyhan. Gagasan-gagasan dan ide-ide brilliant yang diajukan Reyhan selalu sukses membuat perusahaan meningkat satu level ke tahap yang lebih tinggi hingga akhirnya kini perusahaan itu bisa masuk daftar urutan lima besar perusahaan terbesar di Indonesia.
Seharian ini Anggia terus menempel pada Reyhan. Sementara Reyhan cuma bisa pasrah tapi bukan karena dia suka, hanya saja dia tidak mau menyinggung perasaan wanita yang sudah dia anggap seperti adiknya sendiri itu. Reyhan duduk di salah satu bangku panjang di kedai mini. Dimana sisi ujung dari bangku itu tengah diduduki oleh seseorang. Ya, Katrina namanya. Wanita yang cukup menyita sedikit perhatian Reyhan sejak pertama kali mereka bertemu di ruangan Hardin. "Kamu mau makan apa?" tanya Reyhan pada Anggia. "Aku mau makan bakso sama es jeruk. Di Jerman nggak ada bakso soalnya." Reyhan berjalan untuk memesan makanan. Sementara tatapan Anggia tertuju pada wanita bercadar di ujung sana. Bukankah dia wanita yang ada di ruangan Kak Rey tadi? Tebak Anggia. Matanya terus menyelidik ke arah Katrina. Sampai Reyhan akhirnya kembali. "Kak, itu wanita yang pakai cadar itu siapa?" tanya Anggia penasaran. Kalimatnya setengah berbisik. "Itu karyawan bar
Reyhan merasakan ada seseuatu yang berhembus di wajahnya. Membuatnya memicingkan sebelah matanya yang sudah rapat terlelap sejak tadi. Dan Reyhan langsung terlonjak kaget ketika dilihatnya wajah Anggia yang begitu dekat. Seperti seseorang yang hendak menciumnya. "Kamu ngapain?" pekik Reyhan. Reflek menjauhkan wajahnya dari Anggia. Anggia tersenyum malu. "Emang sengaja mau buat Kak Reyhan bangun," lanjutnya jujur meski dalam hati dia kesal karena rencananya gagal. "Aku nggak bisa tidur, Kak. Temen-temen lamaku di Jakarta ngajakin aku kumpul tapi aku takut kalau keluar sendirian jam segini. Inikan hari pertamaku di Jakarta, aku takut kalau nyetir sendirian," lanjut Anggia memberi penjelasan. Mata Reyhan yang masih kabur langsung menengok arah jam dinding. Pukul 22.20 WIB. Ternyata dia tertidur cukup lama tadi. Pikirnya. "Kakak maukan anterin aku? Nggak l