Ranti mendapat tugas untuk menjaga Darius yang dirawat di rumah sakit malam itu. Semua orang telah keluar dari ruangan dan meninggalkannya sendirian. Pak Hendra juga telah pergi setelah memberikan bekal makanan untuknya.
Tak banyak yang dilakukan gadis muda itu malam hari karena Darius sepenuhnya tertidur dan perawat yang datang memeriksa di beberapa waktu, tidak mengatakan apapun.
“Bagaimana keadaan Tuan Darius?” tanya Ranti ingin tahu.
“Dia sedang tidur. Akan bangun setelah pengaruh obat habis.”
Begitulah jawaban yang diterima Ranti. Akhirnya, gadis itu bisa beristirahat dengan tenang di sofa panjang yang ada di ruang perawatan. Gadis itu membayangkan keluarga dengan perasaan gamang. Betapa kini dia seperti didorong pada sesuatu yang sangat berbahaya.
Sejak ayahnya yang bekerja sebagai Ojol meninggal sepulang mengojek, Ranti memang mau tak mau mengambil alih tanggung jawab biaya keluarganya. Karena sang ibu hanyalah penjual gado-gado kecil di depan rumah kontrakan mereka. Adiknya yang menderita Cerebral Palsy tak mungkin ditinggalkan sang ibu sendirian di rumah untuk mencari pekerjaan yang punya bayaran lebih besar.
“Bu, Ranti akan hati-hati bekerja, agar tidak perlu menyusahkan ibu dan adik,” gumamnya sebelum tertidur.
Seperti kata perawat malam sebelumnya, maka pagi-pagi buta Darius sudah bangun dengan ribut ingin makan karena merasa lapar. Sementara jadwal makan rumah sakit belum mulai. Dan yang mengejutkan Ranti,pria itu tak mengenalinya sama sekali.
“Hendraaa ...!” teriaknya kencang.
“Tuan, Pak Hendra ada di rumah. Saya yang menemani Anda di rumah sakit,” Kata Ranti sembari menenangkan Darius.
“Evelyn!” teriak pria itu lagi tak peduli. Dia mengibaskan tangan dan membuka selimutnya, berniat turun dari tempat tidur. Namun, sepertinya gerakannya yang agak gemetar dan sedikit kaku, justru membuatnya makin panik.
“Panggilkan istriku!” perintahnya kasar. “Cepat!”
Ranti terbengong di tempatnya, saat seorang perawat masuk ruangan dengan tergesa, mendengar keributan di kamar pasien khusus itu. Langkah perawat itu sangat cepat. Dengan segera dia sudah berdiri di depan Darius dan memegang tangannya agar tidak sampai jatuh ke lantai saat sedang mencoba untuk berdiri.
“Kau tidak boleh lalai menjaga pasien seperti ini. Jangan kebanyakan tidur!” tegur perawat itu judes.
“Oh, Iya. Tapi, tadi Tuan Darius mencari istrinya, saya ....” Ranti terdiam tak tahu mau mengatakan apa. Matanya memandang sedih dan prihatin pada Darius yang lupa bahwa istrinya telah meninggal.
Perawat itu mengehela napas dan menenangkan Darius. “Bapak harus kembali ke tempat tidur. Ini masih pukul empat subuh!” kata perawat itu.
“Panggilkan istriku! Aku tidak tahu kenapa tangan dan kakiku gemetar seperti ini,” balas Darius serius.
“Karena itulah Anda sekarang ada di rumah sakit. Besok akan kita periksa kenapa Anda bisa seperti itu. Jadi, tenanglah ... kita tunggu hasil pemeriksaannya. Anda akan baik-baik saja.” Perawat itu membimbing tangan Darius agar mau kembali berbaring.
Ajaib, pria itu mau mematuhi perintah si perawat. “Panggilkan istriku. Aku merasa lapar. Biar dia buatkan aku sarapan, sekarang,” kata Darius lagi, keras kepala.
“Anda sedang dirawat di rumah sakit. Jadwal makan masih dua jam lagi. Tetapi, kalau lapar sekali, Anda bisa mencoba beberapa helai roti dan susu,” tawar perawat itu bijak.
“Baiklah ... bawakan aku roti dan susu!” perintahnya seperti seorang tuan rumah.
Ranti terus memperhatikan interaksi dua orang itu. Dia memahami sedikit tentang efek samping penyakit Darius. Pria itu akan mengalami kemunduran fungsi organ tubuh dari waktu ke waktu. Sekarang, dia juga melupakan banyak hal, bahkan hal yang baru dikatakan oleh perawat. Gadis itu merasa prihatin sekarang.
“Biar saya carikan roti di toko di bawah,” ujarnya segera. Perawat mengangguk dan membiarkan Ranti pergi.
Darius memakan rotinya dengan lahap dan minum segelas susu hangat yang didapatkan Ranti dari kantin rumah sakit. Tangannya yang terus bergetar tak terkendali, sedikit membuatnya kesulitan. Hanum, hasrat untuk makan yang begitu kuat, mampu mengalahkan hal itu. Dua potong roti manis srta segeas susu hangat dari kantin telah habis tak tersisa.
Saat itulah dia menyadari kehadiran orang lain di dalam ruangan itu. “Kau siapa?” tanyanya dengan dahi mengerut.
“Saya pekerja di rumah Anda, Tuan,” jawab Ranti sabar.
“Bereskan semua ini!” perintahnya sambil menunjuk bekas makan dan minum.
“Baik, Tuan.”
Ranti bergerak cepat membersihkan bungkus makanan dan membuangnya ke tempat sampah di luar ruangan. Kemudian dia kembali ke dalam hanya untuk embali terkejut melihat Darius mencoba untuk turun lagi dari tempat tidurnya.
“Tuan!” Kaki gadis itu melesat secepat kilat ke tempat pria itu dan menopang tubuhnya yang sudah jatuh.
Sekarang Darius tertelungkup di atas punggung Ranti yang menahannya agar tidak sampai membentur lantai rumah sakit. “Tuan ... kalau mau turun, Anda harusnya tunggu saya kembali dari membuang sampah. Kalau Anda jatuh dan lecet, saya mungkin bisa masuk penjara!” keluh Ranti sambil menahan beban tubuh pria parobaya itu.
Darius yang akhirnya menyadari bahwa dirinya tidak jatuh ke lantai, kembali bertanya. Kali ini suaranya penuh dengan kemarahan. “Kau siapa? Pergi! Jangan kira dengan menggodaku begini aku akan menyukaimu! Aku hanya mencintai istriku!”
Dengan kasar pria itu mendorong tubuh Ranti hingga gadis itu terguling ke samping.
“Adduuh ....”
Ranti mengeluh sambil memegang punggungnya yang sakit akibat menahan beban tubuh Darius dan kemudian membentur lantai dengan keras. “Tuan, saya pekerja di rumah Anda. Saya ditugaskan Pak Hendra untuk menjaga di rumah sakit. Bukan mau menggoda,” jelas gadis itu sambil menggelengkan kepala tak berdaya.
Umumnya, Ranti akan tersinggung dan marah jika mendapat tuduhan tak bermoral seperti itu. Hanya saja kali ini gadis itu jadi tak berdaya karena Darius tidaklah sepenuhnya mengerti apa yang sedang dikatakannya. Dengan hati-hati Ranti bangkit untuk kemudian membantu Darius berdiri. Namun, tangannya yang terulur ditepis dengan kasar.
“Jangan coba-coba!” cegah pria itu galak.
Jadi, Ranti hanya mengawasi saja bagaimana Darius berusaha keras untuk bisa berdiri sambil memegang tepi tempat tidur. Ranti menjaga kestabilan tempat tidur itu dengan mengunci keempat rodanya agar tidak bergeser dari tempatnya.
Setelah usaha keras yang Ranti tidak tahu apakah itu menyakitkan bagi pria itu, Darius akhirnya berhasil berdiri dengan kedua kakinya. Sementara seluruh tubuhnya telah sepenuhnya telungkup di atas kasur. Pria itu sedang mengatur napasnya yang terengah-engah.
Ranti tidak berani terlalu dekat apalagi mengulurkan tangan. Dia tak mau pria itu salah paham lagi tentangnya. Gadis itu hanya mengawasi dari ujung tempat tidur.
“Apakah Anda ingin ke toilet?” tanya Ranti ragu.
“Panggilkan Hendra!” katanya kasar dan wajah memerah.
Ranti akhirnya mengerti kenapa Darius memaksa untuk turun dari tempat tidur. “Pak Hendra ada di rumah, Tuan. Saya bisa membantu Anda---“
“Keluar kau!” Bentak Darius dengan suara penuh kemurkaan.
“Sebentar saya panggilkan!”
Gadis itu langsung lari ke luar agar tidak membuat Darius makin marah. Dia menuju meja perawat di ujung lorong deretan kamar itu.
“Suster!” katanya dengan terengah.
Dua perawat di sana menoleh padanya. Mereka sedang sibuk menyiapkan obat pagi untuk semua pasien di bagian itu. Salah seorang bertanya dengan heran. “Ada apa mbak?”
Mata Ranti terlihat khawatir. Meskipun begitu, dia merasa ragu jika itu adalah tugas para perawat. “Tuan Darius mungkin ingin ke kamar mandi. Dia mencari Pak Hendra. Mungkinkah ada perawat pria yang bisa menolongnya ke kamar mandi?”Dua perawat itu saling pandang sebelum menatap Ranti heran. Gadis itu memahami arti tatapan itu. Kemudian dia menjawab tanpa perlu ditanya. “Tuan tak mau dibantu oleh pekerja wanita seperti saya.” Gadis itu menunduk. Dia merasa tak berguna sama sekali.Sebelum ada siapapun yang bereaksi, kembali terdengar teriakan keras suara Darius yang memanggil Pak Hendra. Kali ini disertai nada marah yang mungkin mengagetkan semua pasien di lantai itu. Seorang perawat buru-buru lari ke sana dan yang lainnya mengangkat gagang telepon. Ranti ikut mengejar ke ruang rawat tuannya.“Di mana Hendra!” bentak Darius kasar. “Apa dia sudah bosan kerja?!”“Pak, ini rumah sakit. Pelayan Anda tidak ada di sini. Katakan apa yang harus kami bantu,” katanya menenangkan.Darius menata
Ranti berdiri kaku di balik daun pintu, mendengar umpatan tak pantas itu. Bagaimana mereka berharap kakaknya segera mati? Seburuk apa pun sikap Darius, dia tetaplah anak tertua keluarga Dharmajie.“Mau apa kau di sana!”Seruan Darius menyadarkan Ranti. Tangannya masih gemetar saat menutup rapat pintu ruangan. Segera dia menghampiri tempat tidur. “Apa Tuan butuh sesuatu?” tanya Ranti sigap.“Buang saja kue itu. Mereka telah meracuninya!” perintah Darius.“Tuan, jangan terus berprasangka buruk. Kue ini dari toko. Saya sendiri yang membuka kemasannya,” bujuk Ranti.“Kalau kau mau, makan saja! Tapi aku tidak bertanggung jawab jika kau tiba-tiba sakit atau mati!” ujarnya masih degan suara ketus.Ranti akhirnya diam. Dia tak mau berdebat lagi. Itu hanya akan membangkitkan kemarahan pria itu. Dia menyingkirkan kue itu dan meletakkannya di atas meja untuk dinikatinya nanti. Kue spesial dari toko kue terkenal. Belum tentu Ranti bisa membelinya. Alangkah sayang untuk dibuang.“Telepon Hendra un
Ranti akhirnya mengeluarkan tantangan untuk dirinya sendiri. Jika dia tak mampu membuat Darius bersikap lebih baik dari ini, maka dia lebih baik mengundurkan diri, sebab tugasnya sudah gagal.Wajah Darius benar-benar tak sedap dipandang, tapi dia menjawab dengan sangat cepat. “Aku terima tantanganmu!”Sekarang, bantu akau ke kursi roda sialan itu!” ujar pria itu kasar.Ranti bergerak cepat membantu Darius ke kursi roda dan membantunya ke kamar mandi. Gadis itu mendorong kursi roda hingga masuk ke kamar mandi, mendudukkan pria itu di toilet, baru keluar dan menutup pintu.“Jika sudah selesai, Tuan bisa berteriak memanggil saya,” ujarnya satar.Darius mendengus dengan wajah memerah. Sekarang, dia harus berusaha keras untuk bisa melepaskan pakaian bagian bawahnya. Ternyata itu tidak semudah yang dia kira. Gerak tangannya yang sedikit gemetar, memperlambat kerjanya.“Hendra! Akan kupotong gajimu sebulan!” umpatnya kesal.Ranti menunggu cukup lama di depan pintu. Dia sebenarnya khawatir de
Wajah Hendra terkejut, senang, dan berseri-seri. Bahkan meskipun sudah bertahun-tahun berlalu, dia tak akan melupakan suara itu.“Tuan Muda! Saya Hendra, pelayan di rumah Anda!”“Pak Hendra? Ah ... ada apakah meneleponku? Biasanya hanya Kakek yang menanyakan kabarku. Bagaimana keadaan Papa?” terdengar suara khawatir dari seberang telepon.“Tuan yang meminta saya menghubungi Anda, Tuan Muda. Sebentar ....”Pak Hendra mengubah tampilan ponselnya agar menjadi panggilan video, lalu mengarahkan pada Darius. “Ini Tuan Muda, jika Anda ingin bicara, Tuan.”Darius bisa melihat seorang pria muda tampil di layar ponsel. “Kau siapa? Di mana putraku, Oscar? Minta dia segera pulang sebelum mamanya marah!” perintah Darius dengan ekspresi serius.Lama tak ada jawaban dari telepon. Ranti mencoba memasang telinga untuk mendengar jawaban Oscar mendengar kata-kata Darius. Gadis itu dapat membayangkan reaksi putra sang majikan menghadapi kenyataan bahwa ayahnya sendiri tidak lagi mengenalinya.“Apa kau ta
Ranti tak tahu harus merespon seperti apa. Jadi gadis itu hanya mengangguk dari tempatnya berdiri.“Bisakah kau duduk di sini dan mendengarkanku?” pinta Darius.Ranti bisa merasakan kesungguhan dalam suara pria itu. Tiada amarah meledak seperti beberapa hari terakhir. Dengan tenang, gadis itu duduk dengan patuh di meja lain yang mengelilingi meja bundar di teras. Dia siap untuk mendengarkan apa pun yang ingin dicurahkan sang majikan.“Sudah berapa lama kau bekerja di sini?” tanya Darius sambil terus membaca buku catatannya.“Belum seminggu, Tuan,” jawab Ranti jujur.“Hemm ... menurutmu, salahkah jika aku ingin mempercepat waktu kematianku? Aku tak ingin menyusahkan semua orang. Aku juga sudah tak mungkin menemukan otak pembunuh Evelyn.” Darius melempar pandangan ke arah taman dan kolam di sana. Pandangannya menerawang, untuk sesaat, dia seperti tidak menyadari kehadiran Ranti.Gadis itu tidak dapat menjawab pertanyaan seperti itu. Jadi, dia memilih diam dan ikut menerawang melihat dah
Ranti sibuk mencari pekerjaan baru setelah kembali ke rumah. Ibunya merasa lega saat mengetahui bagaimana berat dan beresiko pekerjaan sang putri. “Cari pekerjaan biasa saja. Pekerjaan bergaji besar, memang selalu lebih berat dan beresiko,” nasehat wanita parobaya itu.“Iya, Ranti berangkat dulu. Kemarin teman bilang ada lowongan di kafe di sebuah mall.” Gadis itu mengangguk, menenangkan hati ibunya.“Pergilah dan hati-hati!” pesan ibunya lagi.Setelah mencium tangan sang ibu, Ranti berangkat untuk mencari pekerjaan. Dia harus segera mendapatkan pekerjaan baru, sebelum uang gaji seminggu itu habis terpakai.Dua hari Ranti mencari pekerjaan tak kenal lelah. Dia bahkan melamar pekerjaan sebagai helper di sebuah kios loundry. Namun sayang, masih tidak ada lowongan untuknya. Seperti memang bukan takdirnya, karena jawaban pemilik usaha selalu hampir sama. “Kami baru saja menerima pekerja. Anda terlambat beberapa jam!”Saat malam menjelang dan pekerjaan masih belum didapat, Ranti akhirnya p
Bab 14. Kembali BekerjaDarius menatap gadis di depannya dengan pandangan ajam dan penuh prasangka. DIa sama sekali tak terlihat senang atas informasi yang dikatakan Ranti. “Siapa yang memberimu ijin meninggalkan pekerjaan di sini?!”“Saya sudah dipecat Tuan Besar, Tuan.”“Ini rumahku. Apa urusan tua bangka itu memecat pekerja di rumah ini!” geramnya marah.“Hendraaa ...!”Suara teriakan Darius yang kencang, menggema nyaring ke seluruh rumah yang sepi. Hendra yang sedang ada di luar, tidak mendengar panggilan itu. Namun, Oscar langsung berlari menuruni tangga dari lantai atas dengan khawatir.“Papa ... ada apa?” tanya pria muda itu cemas. Diliriknya gadis perawat tadi yang juga terkejut di depan Darius.“Apa kau membuat ulah lagi? Bukankah kau sudah dipecat? Sudah, sana pergi! Mengganggu saja!” bentak pria muda itu marah pada Ranti.“Hei!” Darius menyela kata-kata putranya dengan mengangkat tangan, menyuruhnya ber henti bicara. “Papa justruingin tahu kenapa dia dipecat tanpa ijin!”O
Ranti tidak terlalu mempedulikan Oscar sejak dia bekerja lagi di rumah itu. DIa resmi dipekerjakan oleh Darius dan memiliki misi sendiri sekarang. Terutama karena pria itu telah mencoba sangat keras untuk tetap dapat emngingat Ranti setiap hari, saat dia bangun tidur pagi.Ketika malam hari Ranti membereskan meja tempat Darius biasa berkegiatan, dia bisa melihat buku terbuka di mana tertulis namanya, di antar orang-orang yang ingin terus diingat oleh Darius. Hatinya menghangat melihat usaha keras pria tersebut.“Tuan, hari sangat cerah. Apakah Anda tidak ingin pergi keluar dan jalan-jalan ke suatu tempat, misalnya?” tanya Ranti saat mengangkat bekas sarapan Darius di kamar.“Apa kau punya saran yang bagus?” Pria itu balik bertanya. Itu dilakukannya untuk menutup kelemahannya. Betapa banyak hal di luar dirinya yang telah dia lupakan. Termasuk tempat-tempat yang menurut gadis itu indah.“Apakah Anda suka melihat laut?” tanya Ranti dengan wajah bersemangat.Darius sedikit lama terdiam me