Share

Bab 7. Mulai Lupa

Ranti mendapat tugas untuk menjaga Darius yang dirawat di rumah sakit malam itu. Semua orang telah keluar dari ruangan dan meninggalkannya sendirian. Pak Hendra juga telah pergi setelah memberikan bekal makanan untuknya.

Tak banyak yang dilakukan gadis muda itu malam hari karena Darius sepenuhnya tertidur dan perawat yang datang memeriksa di beberapa waktu, tidak mengatakan apapun.

“Bagaimana keadaan Tuan Darius?” tanya Ranti ingin tahu.

“Dia sedang tidur. Akan bangun setelah pengaruh obat habis.”

Begitulah jawaban yang diterima Ranti. Akhirnya, gadis  itu bisa beristirahat dengan tenang di sofa panjang yang ada di ruang perawatan. Gadis itu membayangkan keluarga dengan perasaan gamang. Betapa kini dia seperti didorong pada sesuatu yang sangat berbahaya.

Sejak ayahnya yang bekerja sebagai Ojol meninggal sepulang mengojek, Ranti memang mau tak mau mengambil alih tanggung jawab biaya keluarganya. Karena sang ibu hanyalah penjual gado-gado kecil di depan rumah kontrakan mereka. Adiknya yang menderita Cerebral Palsy tak mungkin ditinggalkan sang ibu sendirian di rumah untuk mencari pekerjaan yang punya bayaran lebih besar.

“Bu, Ranti akan hati-hati bekerja, agar tidak perlu menyusahkan ibu dan adik,” gumamnya sebelum tertidur.

Seperti kata perawat malam sebelumnya, maka pagi-pagi buta Darius sudah bangun dengan ribut ingin makan karena merasa lapar. Sementara jadwal makan rumah sakit belum mulai. Dan yang mengejutkan Ranti,pria itu tak mengenalinya sama sekali.

“Hendraaa ...!” teriaknya kencang.

“Tuan, Pak Hendra ada di rumah. Saya yang menemani Anda di rumah sakit,” Kata Ranti sembari menenangkan Darius.

“Evelyn!” teriak pria itu lagi tak peduli. Dia mengibaskan tangan dan membuka selimutnya, berniat turun dari tempat tidur. Namun, sepertinya gerakannya yang agak gemetar dan sedikit kaku, justru membuatnya makin panik.

“Panggilkan istriku!” perintahnya kasar. “Cepat!”

Ranti terbengong di tempatnya, saat seorang perawat masuk ruangan dengan tergesa, mendengar keributan di kamar pasien khusus itu. Langkah perawat itu sangat cepat. Dengan segera dia sudah berdiri di depan Darius dan memegang tangannya agar tidak sampai jatuh ke lantai saat sedang mencoba untuk berdiri.

“Kau tidak boleh lalai menjaga pasien seperti ini. Jangan kebanyakan tidur!” tegur perawat itu judes.

“Oh, Iya. Tapi, tadi Tuan Darius mencari istrinya, saya ....” Ranti terdiam tak tahu mau mengatakan apa. Matanya memandang sedih dan prihatin pada Darius yang lupa bahwa istrinya telah meninggal.

Perawat itu mengehela napas dan menenangkan Darius. “Bapak harus kembali ke tempat tidur. Ini masih pukul empat subuh!” kata perawat itu.

“Panggilkan istriku! Aku tidak tahu kenapa tangan dan kakiku gemetar seperti ini,” balas Darius serius.

“Karena itulah Anda sekarang ada di rumah sakit. Besok akan kita periksa kenapa Anda bisa seperti itu. Jadi, tenanglah ... kita tunggu hasil pemeriksaannya. Anda akan baik-baik saja.” Perawat itu membimbing tangan Darius agar mau kembali berbaring.

Ajaib, pria itu mau mematuhi perintah si perawat. “Panggilkan istriku. Aku merasa lapar. Biar dia buatkan aku sarapan, sekarang,” kata Darius lagi, keras kepala.

“Anda sedang dirawat di rumah sakit. Jadwal makan masih dua jam lagi. Tetapi, kalau lapar sekali, Anda bisa mencoba beberapa helai roti dan susu,” tawar perawat itu bijak.

“Baiklah ... bawakan aku roti dan susu!” perintahnya seperti seorang tuan rumah.

Ranti terus memperhatikan interaksi dua orang itu. Dia memahami sedikit tentang efek samping penyakit Darius. Pria itu akan mengalami kemunduran fungsi organ tubuh dari waktu ke waktu. Sekarang, dia juga melupakan banyak hal, bahkan hal yang baru dikatakan oleh perawat. Gadis itu merasa prihatin sekarang.

“Biar saya carikan roti di toko di bawah,” ujarnya segera. Perawat mengangguk dan membiarkan Ranti pergi.

Darius memakan rotinya dengan lahap dan minum segelas susu hangat yang didapatkan Ranti dari kantin rumah sakit. Tangannya yang terus bergetar tak terkendali, sedikit membuatnya kesulitan. Hanum, hasrat untuk makan yang begitu kuat, mampu mengalahkan hal itu. Dua potong roti manis srta segeas susu hangat dari kantin telah habis tak tersisa.

Saat itulah dia menyadari kehadiran orang lain di dalam ruangan itu. “Kau siapa?” tanyanya dengan dahi mengerut.

“Saya pekerja di rumah Anda, Tuan,” jawab Ranti sabar.

“Bereskan semua ini!” perintahnya sambil menunjuk bekas makan dan minum.

“Baik, Tuan.”

Ranti bergerak cepat membersihkan bungkus makanan dan membuangnya ke tempat sampah di luar ruangan. Kemudian dia kembali ke dalam hanya untuk embali terkejut melihat Darius  mencoba untuk turun lagi dari tempat tidurnya.

“Tuan!” Kaki gadis itu melesat secepat kilat ke tempat pria itu dan menopang tubuhnya yang sudah jatuh.

Sekarang Darius tertelungkup di atas punggung Ranti yang menahannya agar tidak sampai membentur lantai rumah sakit. “Tuan ... kalau mau turun, Anda harusnya tunggu saya kembali dari membuang sampah. Kalau Anda jatuh dan lecet, saya mungkin bisa masuk penjara!” keluh Ranti sambil menahan beban tubuh pria parobaya itu.

Darius yang akhirnya menyadari bahwa dirinya tidak jatuh ke lantai, kembali bertanya. Kali ini suaranya penuh dengan kemarahan. “Kau siapa? Pergi! Jangan kira dengan menggodaku begini aku akan menyukaimu! Aku hanya mencintai istriku!”

Dengan kasar pria itu mendorong tubuh Ranti hingga gadis itu terguling ke samping.

“Adduuh ....”

Ranti mengeluh sambil memegang punggungnya yang sakit akibat menahan beban tubuh Darius dan kemudian membentur lantai dengan keras. “Tuan, saya pekerja di rumah Anda. Saya ditugaskan Pak Hendra untuk menjaga di rumah sakit. Bukan mau menggoda,” jelas gadis itu sambil menggelengkan kepala tak berdaya.

Umumnya, Ranti akan tersinggung dan marah jika mendapat tuduhan tak bermoral seperti itu. Hanya saja kali ini gadis itu jadi tak berdaya karena Darius tidaklah sepenuhnya mengerti apa yang sedang dikatakannya. Dengan hati-hati Ranti bangkit untuk kemudian membantu Darius berdiri. Namun, tangannya yang terulur ditepis dengan kasar.

“Jangan coba-coba!” cegah pria itu galak.

Jadi, Ranti hanya mengawasi saja bagaimana Darius berusaha keras untuk bisa berdiri sambil memegang tepi tempat tidur. Ranti menjaga kestabilan tempat tidur itu dengan mengunci keempat rodanya agar tidak bergeser dari tempatnya.

Setelah usaha keras yang Ranti tidak tahu apakah itu menyakitkan bagi pria itu, Darius akhirnya berhasil berdiri dengan kedua kakinya. Sementara seluruh tubuhnya telah sepenuhnya telungkup di atas kasur. Pria itu sedang mengatur napasnya yang terengah-engah.

Ranti tidak berani terlalu dekat apalagi mengulurkan tangan. Dia tak mau pria itu salah paham lagi tentangnya. Gadis itu hanya mengawasi dari ujung tempat tidur.

“Apakah Anda ingin ke toilet?” tanya Ranti ragu.

“Panggilkan Hendra!” katanya kasar dan wajah memerah.

Ranti akhirnya mengerti kenapa Darius memaksa untuk turun dari tempat tidur. “Pak Hendra ada di rumah, Tuan. Saya bisa membantu Anda---“

“Keluar kau!” Bentak Darius dengan suara penuh kemurkaan.

“Sebentar saya panggilkan!”

Gadis itu langsung lari ke luar agar tidak membuat Darius makin marah. Dia menuju meja perawat di ujung lorong deretan kamar itu.

“Suster!” katanya dengan terengah.

Dua perawat di sana menoleh padanya. Mereka sedang sibuk menyiapkan obat pagi untuk semua pasien di bagian itu. Salah seorang bertanya dengan heran. “Ada apa mbak?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status