Share

Bab 6. Tantangan Tuan Dharmajie

Ranti mencari asal suara. Itu berasal dari seorang pria yang rambutnya sudah memutih seluruhnya. Ranti menduga, bahwa itu adalah ayah dari Darius. Dia bergegas berjalan ke sana sambil menunduk. Di samping pria itu, duduk seorang wanita cantik yang penampilan elegannya berhasil menyamarkan garis usia.

“Saya, Tuan,” katanya menghadap.

“Kenapa Darius bisa hilang dari pengawasanmu? Bukankah kau dipekerjakan untuk mengurusnya!” Wanita cantik itu langsung mencecar Ranti dengan pertanyaan telak.

“Saya sedang menyiapkan sarapan untuk Tuan Darius, Nyonya,” jawab Ranti jujur.

“Hah! Jangan banyak alasan! Kalau terbukti kau lalai dalam tugas, jangan mengira kami akan melepaskanmu begitu saja!” Pria lain di ruangan memberi ancaman.

“Ya! Apa Hendra tidak ada menceritakan padamu bahwa kami telah enuntut salah seorang perawat ke muka hukum akibat  melalaikan tugas?” Wanita cantik itu menambahkan informasi yang berrhasil membuat tengkuk Ranti meremang takut.

“Maafkan saya, Nyonya. Saya memang mendapat tugas menyiapkan makanan Tuan Darius. Saat saya antar, Tuan sudah tak ada di kamarnya!” Ranti menjawab dengan teguh.

“Sudah! Aku sudah melihat rekaman cctv dan dia memang tidak berkata bohong!” Pria tua berambut putih itu menenangkan suasana panas. Yang lain mencibir dengan wajah masih tidak puas pada gadis itu.

“Apa isi tas itu?” tanya wanita cantik itu lagi.

“Pakaian saya, Nyonya,” sahut Ranti.

“Apa kau ingin membawa barang-barang di rumah tanpa sepengetahuan Hendra?!” tuduh seorang pria lain lagi.

Wajah Ranti memerah. Dia sangat tersinggung karena dituduh mencuri. Dia membalas tatapan sinis pria itu dengan mata berapi-api. Saya bekerja untuk mendapatkan uang yang halal. Saya bukan pencuri!” kata Ranti dengan suara meninggi.

Pria itu tak mengira bahwa perawat baru itu akan berani membalas kata-katanya. Dia sudah akan membalas saat Ranti kembali  bicara.

“Anda boleh memeriksa tas itu untuk mencari barang-barang milik keluarga Anda. Namun, jika tak ada satu pun barang curian di sana, saya akan balik menuntut Anda!” katanya berani.

“Lancang!”

Wanita cantik itu begitu murka melihat keberanian Ranti. Dia sampai berdiri dari duduknya dengan wajah memerah dan tangan terangkat untuk menampar atau memukul gadis muda di depannya.

Ranti yang melihat bahaya, segera menutup wajah dan mengalihkan pandangan ke arah lain. Pukulan yang sedang melayang itu tak berhasil mendarat di pipinya.

“Sudah! Kalian semua keluar! Aku mau bicara dengannya!” Pria beruban itu bersuara dan memukulkan tongkatnya di lantai. Yang lain langsung diam dan saling pandang. Tak lama semua orang keluar dan meninggalkan Ranti bersama pria tua itu, termauk si wanita yang emosinya memuncak akibat tak berhasil melampiaskan kekesalan pada gadis muda di depannya.

“Aku bisa lihat kau sangat berani!” Pria itu menatapRanti dengan mata tajam menusuk.  “Akan tetapi, keberanian yang tidak pada tempatnya, bukanlah hal yang baik. Ancamanmu itu tak berarti apa-apa bagi kami!”

Pria itu mendecih sebelum melanjutkan kata-katanya yang sinis. “Putraku membutuhkan perawat yang berani dan kuat. Sanggup menahan diri dan punya sabar segudang. Apa kau masih ingin bekerja di sana atau mengundurkan diri seperti pengecut?”

“Jadi, saya tidak dipecat, Tuan?” tanya Ranti dengan mata membulat tak percaya.

“Ini sebuah tantangan buatmu. Aku mendengar informasi dari Hendra tentang keluargamu yang kau ceritakan padanya. Aku hanya ingin sedikit membantu dan memberimu kesempatan terkakhir,”

“Saya bersedia, Tuan. Terima kasih untuk kesempatan ini. Saya akan melakukan yang terbaik di waktu berikutnya,” potong Ranti cepat.

“Aku belum selesai bicara!” Pria tua itu membentak.

Wajah bahagia gadis muda itu langsung hilang. Dia terlalu bersemangat hingga tidak menunggu Tuan Dharmajie menyelesaikan kalimatnya. Dengan takut Ranti menundukkan kepala sembari berbisik lirih. “Maaf ....”

Gadis itu dapat mendengar hembusan napas kuat dan jengkel pria berkuasa di depannya itu. Sekarang gadis itu ingat bahwa dia pernah melihat pria itu di layar televisi entah kapan. Sepertinya dia orang terkenal.

“Kesempatan ini hanya sekali! Begitupun, karena kau sudah membuat satu kelalaian ...  maka,  jika kau melakukan kelalaian sekali lagi, aku tidak akan main-main lagi denganmu! Keluargaku mungkin bukan hanya akan memecatmu, tapi juga membawamu ke muka hukum!”

Ranti membelalakkan matanya ngeri. Tak boleh terjadi sesuatu apa pun padanya. Ibunya tidak akan berdaya jika mengurus adiknya sendirian. Dia meragu dan berpikir ulang.

“Apa kau berani?”

Ranti bisa melihat sikap angkuh pria tua itu tak hanya muncul di wajah, tapi juga dalam suaranya. Benar-benar orang yang berwibawa dan mengetahui kedudukannya di atas gadis itu.

“Jika tak berani, silakan keluar. Aku akan menganggap ini tak pernah terjadi. Ini kesempatanmu untuk pergi dengan damai!”

Gadis muda itu masih berdiri kaku di depan Tuan Dharmajie. Tentu saja dia takut jika harus berhadapan dengan hukum atas kelalaiannya dalam menjaga seorang pasien yang tidak memahami apa yang telah diperbuatnya. Telapak tangannya yang menggenggam tali tas pakaian itu tiba-tiba berkeringat lebih banyak dan membuatnya merasa gerah dan tidak nyaman berada di kamar ber-ac itu.

Baru kali ini dia dihadapkan pada pilihan yang lebih sulit dari pada memilih apakah akan membeli beras lebih dulu, atau beli pulsa ponsel dari sisa uang gaji di akhir bulan.

“Aku tak punya waktu lama!” Suara pria tua itu memecah keheningan ruangan.

Ranti menatap nanar dan ada kesedihan di balik bintik hitam matanya. Terbayang baginya sang adik yang harus tertunda perawatan ke rumah sakit, kalau dia tak punya pekerjaan. “Baik! Akan saya terima tawaran ini!”

Tak ada tekad menggebu dalam suara itu. Hanya tersisa kepasrahan atas pilihan hidup berat yang harus dijalaninya.

“Bagus! Jangan kecewakan aku!” kata pria itu tegas.

Ranti hanya bisa mengangguk dengan kepasrahan. Apa pun yang terjadi nanti, dia hanya harus melakukan tugasnya saat ini. Diserahkannya takdir hidup pada Yang Maha Kuasa. Dia hanya perlu bekerja dengan lebih baik lagi setelah ini. Setetes air mata yang dia tak tau artinya, bergulir jatuh tanpa terasa. Entah karena takut, ataukah jelmaan ketidakberdayaan.

Kemudian pintu ruangan dibuka. Tampak seorang perawat mendorong masuk sebuah brankar dengan Darius terbaring di atasnya. Pria itu memejamkan mata seperti orang tertidur. Ranti menyingkir menjauh dari tengah ruangan karena semua kerabat pria itu memenuhi ruangan.

Setelah membenarkan posisi pasien dan memeriksa semua alat yang terpasang padanya, perawat yang mengantar memberi sedikit peringatan sebelum keluar. “Tolong jangan terlalu ramai di dalam ruangan. Pasien butuh istirahat!”

Tanpa diperintah, Ranti memilih keluar dan menunggu di lorong rumah sakit bersama Pak Hendra. Dia tahu sedang tak dibutuhkan di sana, saat ini. Keluarga Pasien itu telah berkumpul semua di sana.

“Apa kata Tuan Dharmajie?” tanya Hendra memecah keheningan antara mereka berdua.

“Tuan memberi saya kesempatan kedua,” kata  Ranti dengan suara tercekat.

Hendra seperti bisa merasakan kengerian yang tengah melingkupi gadis di depannya. “Jika kau merasa tawaran itu mengancammu, kau bisa menolaknya. Tak ada yang memaksamu untuk menerimanya, bukan?”

Ranti menggeleng lemah. “Keadaan saya sendiri yang memaksa saya mencoba tantangan ini.” Gadis itu membuang pandang ke ujung lorong yang mengarah pada jendela kaca besar, menampakkan pemandangan luas antara kelabu dan birunya langit Jakarta.

Hendra menatap gadis itu datar. “Bekerja pada keluarga Dharmajie tidak pernah mudah. Semoga kau tidak menyesalinya nanti!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status