Pertanyaan Ranti yang begitu cepat dan bertubi-tubi, membuat Hendra mengerutkan dahi. Namun, dia segera mengerti apa yang terjadi. “Maksudmu Tuan tak ada di rumah?”
Melihat mata Hendra yang membelalak terkejut disertai pertanyaan seperti itu, Ranti malah makin cemas. Dia mengangguk tak berdaya. Artinya mereka berdua kehilangan Darius. Hendra menghentikan mobil di jalan masuk depan rumah. Dia memastikan bahwa pagar telah tertutup rapat.
“Bagaimana bisa kau kehilangan Tuan?” Suara Hendra sangat tajam menusuk. Menuduh gadis itu tak becus tanpa perlu mengatakannya secara langsung.
“Saya mengerjakan tugas yang Anda beri, menyiapkan sarapan. Saat saya mengantar makanan ke kamar, Tuan sudah tidak ada,” jelas Ranti sambil mengikuti langkah Hendra yang sangat cepat.
“Apa kau sudah memeriksa seluruh rumah?” tanya pria tua itu lagi.
“Sudah. Saya sudah memeriksa seluruh rumah dan halaman depan. Namun, saya tidak bisa memeriksa halaman belakang. Saya tidak menemukan kunci pintu menuju halaman belakang.” Ranti kembali menjelaskan.
Mendengar itu, Hendra langsung menghentikan langkahnya di teras depan. Dia berbalik dan menyusuri jalan setapak berbatu yang menuju halaman samping. Langkahnya yang panjang-panjang dan cepat, menyulitkan Ranti untuk mengikuti. Membuat gadis itu jadi setengah berlari.
“Saya sudah periksa tempat itu dan Tuan tidak ada di sana!” Ranti menjelaskan dengan napas terengah-engah. Kemudian dia langsung terdiam saat Hendra membuka kait pintu besi yang memisahkan halaman depan dengan taman samping.
“I—itu bisa dibuka?” tanyanya dengan wajah bodoh. Ranti benar-benar mengutuk kebodohannya yang tidak langsung memeriksa apakah pintu bersi berukir itu dikunci atau cuma dikaitkan saja.
Pak Hendra tak berkomentar apa pun atas sikap ceroboh yang ditunjukkan perawat baru itu. Jalannya makin cepat melewati halaman samping penuh bunga yang terawat rapi.
Ranti mengikuti dari belakang tanpa suara. Dia mengakui salah serta ceroboh. Gadis itu takut dipecat sekarang. Bayangan buruk menghampiri kepalanya. “Bagaimana kalau Darius jatuh ke kolam renang?” Ranti terkejut dengan pemikirannya sendiri. “Tamatlah aku kalau itu terjadi!”
Seperti yang tadi ditakutkannya, Pak Hendra juga memeriksa kolam renang. Meski airnya sedikit kotor karena tak pernah dipakai dalam waktu lama, tetapi tetap dapat dilihat jelas bahwa tak ada orang yang jatuh ke dalamnya. Ranti merasakan kelegaan saat tak ada Darius di dalam air. Namun, demi melihat langkah cepat Pak Hendra, ketakutannya datang lagi.
“Bukankah di sini tak mungkin, Pak? Di halaman berumput itu tak ada siapa pun!” kejar Ranti.
Hendra tak menjawab. Langkahnya makin cepat, menyusuri jalan setapak paving blok yang tertutup oleh rerimbunan pohon dan tanaman hias yang menjadi latar belakang area itu.
“Eh, di sini ada jalan lagi?” Ranti bertanya dengan bingung. Mereka menyusuri jalan setapak di belakang kerimbunan barisan pohon yang semula dikira gadis itu adalah batas tanah milik keluarga Darius.
Mereka menyusuri jalan yang mulai menurun dan sedikit berkelok-kelok menghindari beberapa batang pohon peneduh. Ranti tak sempat mengagumi ide orang yang membuat jalan taman seteduh ini. Dia hanya mengikutilangkah Hendra dengan beragam pertanyaan di kepalanya. “Mau apa Tuan Darius pergi ke sini?”
Tak lama Hendra berhenti di sisi jalan dan berjongkok melihat sebagian tanaman yang tercerabut. Dia menggeleng dan mendongak untuk melihat ke balik rumpun tanaman. Ranti hanya memperhatikan dengan heran.
“Tuan!” seru Hendra terkejut. Ranti juga tak kalah terkejut.
“Tuan di mana?” tanyanya bodoh.
“Ikuti jalan ini dan berputar ke bawah sini!” perintah Hendra dengan menunjuk memberi aba-aba.
Ranti mengangguk dan meneruskan langkah mengkuti jalur jalan setapak.
“Lari!”
Kali ini suara teriakan Hendra menggelegar. Ranti menoleh dan melihat pria tua itu melintasi rumpun tanaman. Sepertinya dia akan ke sebelah lewat jalur itu.
“Kenapa saya tak lewat sana saja?” tanya Ranti heran.
Tak lama dia mendengar bunyi bergedebuk orang jatuh di sebelah yang tak terlihat. Sekarang dia tahu kenapa Pak Hendra menyuruhnya mengikuti jalan setapak. Ranti berlari secepat yang dia bisa untuk mencapai tempat Hendra dan Darius mungkin jatuh di sebelah rumpun tanaman.
Setelah gadis itu melewati belokan yang ke sekian, dia akhirnya bisa melihat dua orang itu sekitar sepuluh meter di depan. Matanya hampir melompat melihat keadaan Darius. Kakinya langsung lari.
“Ya Tuhan .... Tuan!” serunya khawatir.
Hendra sedang memeriksa Darius yang tak memberi respon sedikit jua. Ranti merasa seperti sedang menunggu hukuman mati. Jika pasiennya kenapa-kenapa di bawah pengawasannya, jelas keluarga pria itu tidak akan tinggal diam. Kakinya seketika kehilangan tenaga, membuatnya ikut jatuh duduk di jalan setapak dengan wajah pucat.
“Apa yang kau lakukan?!” bentak Hendra marah. “Seharusnya kau segera memeriksa pasienmu atau memanggil dokter!” kecamnya kejam.
Ranti tak dapat lagi membela diri. Dia memang ceroboh dan tak siap mendapatkan kejutan seperti ini di awal dia bekerja.
“Pegangi!” perintah Hendra pada gadis itu. Pria itu tak peduli seberapa tak kometennya perawat baru itu. DIa butuh bantuan gadis itu sekarang.
Ranti memegangi Darius dengan sigap. Tangannya mencoba memeriksa deyut nadi di leher pria itu. Meski sangat sulit, karena harus bersaing dengan suara Hendra yang tengah menelepon rumah sakit dan ambulans, Akhirnya gadis itu berhasil merasakan denyut lemah di leher pasiennya.
“Saya menemukan denyut nadinya,” kata gadis itu lega.
“Apa kau pikir aku akan menyerahkan dia padamu sebelum yakin bahwa dia akan baik-baik saja?” Hendra kembali berkata ketus. Wajahnya sungguh tak enak dipandang saat ini. Keramahan dan ketenangan yang selalu ditampakkannya telah lenyap entah ke mana.
“Ayo bawa Tuan ke rumah!” Pria itu menggendong Darius dengan hati-hati dan mendudukkannya di kursi roda yang tadi terjungkal. Dua orang itu mendorong kursi roda itu dengan hati-hati menuju rumah. Tak lama ambulans datang dan membawa Darius ke rumah sakit.
Ranti yang ditinggalkan sendirian di rumah, hanya bisa menangis dan penuh rasa bersalah. Dia menyesali diri kenapa tidak memeriksa pintu ukir itu lebih teliti. Gadis itu juga terus bertanya-tanya, sudah berapa lama Darius tergeletak di balik pohon sampai mereka menemukannya?
Panggilan telepon dari Hendra masuk siang itu. “Aku akan pulang dan membawamu ke rumah sakit. Tuan Besar Dharmajie ingin bertemu denganmu!”luarga besar D
“I—iya!” balas Ranti tergagap.
Tubuh gadis itu lemas seketika. Dia bisa membayangkan bagaimana kemarahan keluarga Darius pada perawat ceroboh sepertinya. “Ibu, maafkan Ranti ... mungkin Ranti harus jadi beban, karena akan jadi pengangguran sebentar lagi,” ujarnya dengan suara lirih.
Dipandangnya tas baju lusuh yang kemarin dia bawa. Isinya yang tak seberapa itu bahkan belum sempat dibongkarnya. Sekarang dia sudah harus membawa pulang lagi tas itu ke rumah. Dengan lesu dia bangkit dan merapikan tas itu untuk dibawa ke rumah sakit. Dia siap untuk dipecat.
“Pak, apakah saya akan dipecat?” tanya Ranti pada Hendra saat mereka sedang menuju ke rumah sakit.
“Saya tidak tahu!” Suara Hendra masih ketus.
Ranti yang masih dipenuhi rasa bersalah, akhirnya memilih diam. Pelayan tua itu sedang marah dan menimpakan kesalahan padanya. Dan Ranti juga menyadari bahwa dia memang lalai. Maka dia akhirnya pasrah menunggu keputusan Tuan Besar Dharmajie.
Sepanjang jalan di lorong dan lift rumah sakit, Ranti hanya berdiam diri. Dia menggenggam erat tas bajunya yang lusuh. Menghitung uang di dompetnya, semoga cukup untuk ongkos pulang ke rumahnya, karena rumah sakit besar itu lumayan jauh.
Hendra mengetuk pintu salah satu kamar rawat sebelum membukanya. “Saya membawa perawat itu,” ujarnya.
“Bawa masuk!”
Ranti bisa mendengar suara berat dan tegas seorang pria, menjawab dari dalam. Gadis itu memejamkan mata sampai merasakan sikunya digamit Pak Hendra. Pria itu memberi isyarat agar dia masuk ke dalam ruangan. Ranti mengangguk dan masuk.
Sampai di dalam ruangan, tempat itu penuh. Gadis itu mencari-cari di mana Darius. Tempat tidur pasien di sana masih kosong.
“Oh, ini perawatnya? Pantas saja tak becus!” Seorang pria berdiri bolak-baik di depan Ranti sembari menilai gadis itu. Matanya terlihat sinis dan bibirnya mengerucut penuh penghinaan.
Ranti membungkukkan sedikit badannya. “Saya Ranti!” ujarnya memperkenalkan diri.
Suara berat pria lain, kembali terdengar. “Kemari!”
Ranti mencari asal suara. Itu berasal dari seorang pria yang rambutnya sudah memutih seluruhnya. Ranti menduga, bahwa itu adalah ayah dari Darius. Dia bergegas berjalan ke sana sambil menunduk. Di samping pria itu, duduk seorang wanita cantik yang penampilan elegannya berhasil menyamarkan garis usia.“Saya, Tuan,” katanya menghadap.“Kenapa Darius bisa hilang dari pengawasanmu? Bukankah kau dipekerjakan untuk mengurusnya!” Wanita cantik itu langsung mencecar Ranti dengan pertanyaan telak.“Saya sedang menyiapkan sarapan untuk Tuan Darius, Nyonya,” jawab Ranti jujur.“Hah! Jangan banyak alasan! Kalau terbukti kau lalai dalam tugas, jangan mengira kami akan melepaskanmu begitu saja!” Pria lain di ruangan memberi ancaman.“Ya! Apa Hendra tidak ada menceritakan padamu bahwa kami telah enuntut salah seorang perawat ke muka hukum akibat melalaikan tugas?” Wanita cantik itu menambahkan informasi yang berrhasil membuat tengkuk Ranti meremang takut.“Maafkan saya, Nyonya. Saya memang mendapat
Ranti mendapat tugas untuk menjaga Darius yang dirawat di rumah sakit malam itu. Semua orang telah keluar dari ruangan dan meninggalkannya sendirian. Pak Hendra juga telah pergi setelah memberikan bekal makanan untuknya.Tak banyak yang dilakukan gadis muda itu malam hari karena Darius sepenuhnya tertidur dan perawat yang datang memeriksa di beberapa waktu, tidak mengatakan apapun.“Bagaimana keadaan Tuan Darius?” tanya Ranti ingin tahu.“Dia sedang tidur. Akan bangun setelah pengaruh obat habis.”Begitulah jawaban yang diterima Ranti. Akhirnya, gadis itu bisa beristirahat dengan tenang di sofa panjang yang ada di ruang perawatan. Gadis itu membayangkan keluarga dengan perasaan gamang. Betapa kini dia seperti didorong pada sesuatu yang sangat berbahaya.Sejak ayahnya yang bekerja sebagai Ojol meninggal sepulang mengojek, Ranti memang mau tak mau mengambil alih tanggung jawab biaya keluarganya. Karena sang ibu hanyalah penjual gado-gado kecil di depan rumah kontrakan mereka. Adiknya y
Mata Ranti terlihat khawatir. Meskipun begitu, dia merasa ragu jika itu adalah tugas para perawat. “Tuan Darius mungkin ingin ke kamar mandi. Dia mencari Pak Hendra. Mungkinkah ada perawat pria yang bisa menolongnya ke kamar mandi?”Dua perawat itu saling pandang sebelum menatap Ranti heran. Gadis itu memahami arti tatapan itu. Kemudian dia menjawab tanpa perlu ditanya. “Tuan tak mau dibantu oleh pekerja wanita seperti saya.” Gadis itu menunduk. Dia merasa tak berguna sama sekali.Sebelum ada siapapun yang bereaksi, kembali terdengar teriakan keras suara Darius yang memanggil Pak Hendra. Kali ini disertai nada marah yang mungkin mengagetkan semua pasien di lantai itu. Seorang perawat buru-buru lari ke sana dan yang lainnya mengangkat gagang telepon. Ranti ikut mengejar ke ruang rawat tuannya.“Di mana Hendra!” bentak Darius kasar. “Apa dia sudah bosan kerja?!”“Pak, ini rumah sakit. Pelayan Anda tidak ada di sini. Katakan apa yang harus kami bantu,” katanya menenangkan.Darius menata
Ranti berdiri kaku di balik daun pintu, mendengar umpatan tak pantas itu. Bagaimana mereka berharap kakaknya segera mati? Seburuk apa pun sikap Darius, dia tetaplah anak tertua keluarga Dharmajie.“Mau apa kau di sana!”Seruan Darius menyadarkan Ranti. Tangannya masih gemetar saat menutup rapat pintu ruangan. Segera dia menghampiri tempat tidur. “Apa Tuan butuh sesuatu?” tanya Ranti sigap.“Buang saja kue itu. Mereka telah meracuninya!” perintah Darius.“Tuan, jangan terus berprasangka buruk. Kue ini dari toko. Saya sendiri yang membuka kemasannya,” bujuk Ranti.“Kalau kau mau, makan saja! Tapi aku tidak bertanggung jawab jika kau tiba-tiba sakit atau mati!” ujarnya masih degan suara ketus.Ranti akhirnya diam. Dia tak mau berdebat lagi. Itu hanya akan membangkitkan kemarahan pria itu. Dia menyingkirkan kue itu dan meletakkannya di atas meja untuk dinikatinya nanti. Kue spesial dari toko kue terkenal. Belum tentu Ranti bisa membelinya. Alangkah sayang untuk dibuang.“Telepon Hendra un
Ranti akhirnya mengeluarkan tantangan untuk dirinya sendiri. Jika dia tak mampu membuat Darius bersikap lebih baik dari ini, maka dia lebih baik mengundurkan diri, sebab tugasnya sudah gagal.Wajah Darius benar-benar tak sedap dipandang, tapi dia menjawab dengan sangat cepat. “Aku terima tantanganmu!”Sekarang, bantu akau ke kursi roda sialan itu!” ujar pria itu kasar.Ranti bergerak cepat membantu Darius ke kursi roda dan membantunya ke kamar mandi. Gadis itu mendorong kursi roda hingga masuk ke kamar mandi, mendudukkan pria itu di toilet, baru keluar dan menutup pintu.“Jika sudah selesai, Tuan bisa berteriak memanggil saya,” ujarnya satar.Darius mendengus dengan wajah memerah. Sekarang, dia harus berusaha keras untuk bisa melepaskan pakaian bagian bawahnya. Ternyata itu tidak semudah yang dia kira. Gerak tangannya yang sedikit gemetar, memperlambat kerjanya.“Hendra! Akan kupotong gajimu sebulan!” umpatnya kesal.Ranti menunggu cukup lama di depan pintu. Dia sebenarnya khawatir de
Wajah Hendra terkejut, senang, dan berseri-seri. Bahkan meskipun sudah bertahun-tahun berlalu, dia tak akan melupakan suara itu.“Tuan Muda! Saya Hendra, pelayan di rumah Anda!”“Pak Hendra? Ah ... ada apakah meneleponku? Biasanya hanya Kakek yang menanyakan kabarku. Bagaimana keadaan Papa?” terdengar suara khawatir dari seberang telepon.“Tuan yang meminta saya menghubungi Anda, Tuan Muda. Sebentar ....”Pak Hendra mengubah tampilan ponselnya agar menjadi panggilan video, lalu mengarahkan pada Darius. “Ini Tuan Muda, jika Anda ingin bicara, Tuan.”Darius bisa melihat seorang pria muda tampil di layar ponsel. “Kau siapa? Di mana putraku, Oscar? Minta dia segera pulang sebelum mamanya marah!” perintah Darius dengan ekspresi serius.Lama tak ada jawaban dari telepon. Ranti mencoba memasang telinga untuk mendengar jawaban Oscar mendengar kata-kata Darius. Gadis itu dapat membayangkan reaksi putra sang majikan menghadapi kenyataan bahwa ayahnya sendiri tidak lagi mengenalinya.“Apa kau ta
Ranti tak tahu harus merespon seperti apa. Jadi gadis itu hanya mengangguk dari tempatnya berdiri.“Bisakah kau duduk di sini dan mendengarkanku?” pinta Darius.Ranti bisa merasakan kesungguhan dalam suara pria itu. Tiada amarah meledak seperti beberapa hari terakhir. Dengan tenang, gadis itu duduk dengan patuh di meja lain yang mengelilingi meja bundar di teras. Dia siap untuk mendengarkan apa pun yang ingin dicurahkan sang majikan.“Sudah berapa lama kau bekerja di sini?” tanya Darius sambil terus membaca buku catatannya.“Belum seminggu, Tuan,” jawab Ranti jujur.“Hemm ... menurutmu, salahkah jika aku ingin mempercepat waktu kematianku? Aku tak ingin menyusahkan semua orang. Aku juga sudah tak mungkin menemukan otak pembunuh Evelyn.” Darius melempar pandangan ke arah taman dan kolam di sana. Pandangannya menerawang, untuk sesaat, dia seperti tidak menyadari kehadiran Ranti.Gadis itu tidak dapat menjawab pertanyaan seperti itu. Jadi, dia memilih diam dan ikut menerawang melihat dah
Ranti sibuk mencari pekerjaan baru setelah kembali ke rumah. Ibunya merasa lega saat mengetahui bagaimana berat dan beresiko pekerjaan sang putri. “Cari pekerjaan biasa saja. Pekerjaan bergaji besar, memang selalu lebih berat dan beresiko,” nasehat wanita parobaya itu.“Iya, Ranti berangkat dulu. Kemarin teman bilang ada lowongan di kafe di sebuah mall.” Gadis itu mengangguk, menenangkan hati ibunya.“Pergilah dan hati-hati!” pesan ibunya lagi.Setelah mencium tangan sang ibu, Ranti berangkat untuk mencari pekerjaan. Dia harus segera mendapatkan pekerjaan baru, sebelum uang gaji seminggu itu habis terpakai.Dua hari Ranti mencari pekerjaan tak kenal lelah. Dia bahkan melamar pekerjaan sebagai helper di sebuah kios loundry. Namun sayang, masih tidak ada lowongan untuknya. Seperti memang bukan takdirnya, karena jawaban pemilik usaha selalu hampir sama. “Kami baru saja menerima pekerja. Anda terlambat beberapa jam!”Saat malam menjelang dan pekerjaan masih belum didapat, Ranti akhirnya p