Share

Bab 5. Kecerobohan

Pertanyaan Ranti yang begitu cepat dan bertubi-tubi, membuat Hendra mengerutkan dahi. Namun, dia segera mengerti apa yang terjadi. “Maksudmu Tuan tak ada di rumah?”

Melihat mata Hendra yang membelalak terkejut disertai pertanyaan seperti itu, Ranti malah makin cemas. Dia mengangguk tak berdaya.  Artinya mereka berdua kehilangan Darius. Hendra menghentikan mobil di jalan masuk depan rumah. Dia memastikan bahwa pagar telah tertutup rapat.

“Bagaimana bisa kau kehilangan Tuan?” Suara Hendra sangat tajam menusuk. Menuduh gadis itu tak becus tanpa perlu mengatakannya secara langsung.

“Saya mengerjakan tugas yang Anda beri, menyiapkan sarapan. Saat saya mengantar makanan ke kamar, Tuan sudah tidak ada,” jelas Ranti sambil mengikuti langkah Hendra yang sangat cepat.

“Apa kau sudah memeriksa seluruh rumah?” tanya pria tua itu lagi.

“Sudah. Saya sudah memeriksa seluruh rumah dan halaman depan. Namun, saya tidak bisa memeriksa halaman belakang. Saya tidak menemukan kunci pintu menuju halaman belakang.” Ranti kembali menjelaskan.

Mendengar itu, Hendra langsung menghentikan langkahnya di teras depan. Dia berbalik dan menyusuri jalan setapak berbatu yang menuju halaman samping. Langkahnya yang panjang-panjang dan cepat, menyulitkan Ranti untuk mengikuti. Membuat gadis itu jadi setengah berlari.

“Saya sudah periksa tempat itu dan Tuan tidak ada di sana!” Ranti menjelaskan dengan napas terengah-engah. Kemudian dia langsung terdiam saat Hendra membuka kait pintu besi yang memisahkan halaman depan dengan taman samping.

“I—itu bisa dibuka?” tanyanya dengan wajah bodoh. Ranti benar-benar mengutuk kebodohannya yang tidak langsung memeriksa apakah pintu bersi berukir itu dikunci atau cuma dikaitkan saja.

Pak Hendra tak berkomentar apa pun atas sikap ceroboh  yang ditunjukkan perawat baru itu. Jalannya makin cepat melewati halaman samping penuh bunga yang terawat rapi.

Ranti mengikuti dari belakang tanpa suara. Dia mengakui salah serta ceroboh. Gadis itu takut dipecat sekarang. Bayangan buruk menghampiri kepalanya. “Bagaimana kalau Darius jatuh ke kolam renang?” Ranti terkejut dengan pemikirannya sendiri. “Tamatlah aku kalau itu terjadi!”

Seperti yang tadi ditakutkannya, Pak Hendra juga memeriksa kolam renang. Meski airnya sedikit kotor karena tak pernah dipakai dalam waktu lama, tetapi tetap dapat dilihat jelas bahwa tak ada orang yang jatuh ke dalamnya. Ranti merasakan kelegaan saat tak ada Darius di dalam air. Namun, demi melihat langkah cepat Pak Hendra, ketakutannya datang lagi.

“Bukankah di sini tak mungkin, Pak? Di halaman berumput itu tak ada siapa pun!” kejar Ranti.

Hendra tak menjawab. Langkahnya makin cepat, menyusuri jalan setapak paving blok yang tertutup oleh rerimbunan pohon dan tanaman hias yang menjadi latar belakang area itu.

“Eh, di sini ada jalan lagi?” Ranti bertanya dengan bingung. Mereka menyusuri jalan setapak di belakang kerimbunan barisan pohon yang semula  dikira gadis itu adalah batas tanah milik keluarga Darius.

Mereka menyusuri jalan yang mulai menurun dan sedikit berkelok-kelok menghindari beberapa batang pohon peneduh. Ranti tak sempat mengagumi ide orang yang membuat jalan taman seteduh ini. Dia hanya mengikutilangkah Hendra dengan beragam pertanyaan di kepalanya. “Mau apa Tuan Darius pergi ke sini?”

Tak lama Hendra berhenti di sisi jalan dan berjongkok melihat sebagian tanaman yang tercerabut. Dia menggeleng dan mendongak untuk melihat ke balik rumpun tanaman. Ranti hanya memperhatikan dengan heran.

“Tuan!” seru Hendra terkejut. Ranti juga tak kalah terkejut.

“Tuan di mana?” tanyanya bodoh.

“Ikuti jalan ini dan berputar ke bawah sini!” perintah Hendra dengan menunjuk memberi aba-aba.

Ranti mengangguk dan meneruskan langkah mengkuti jalur jalan setapak.

“Lari!”

Kali ini suara teriakan Hendra menggelegar. Ranti menoleh dan melihat pria tua itu melintasi rumpun tanaman. Sepertinya dia akan ke sebelah lewat jalur itu.

“Kenapa saya tak lewat sana saja?” tanya Ranti heran.

Tak lama dia mendengar bunyi bergedebuk orang jatuh di sebelah yang tak terlihat. Sekarang dia tahu kenapa Pak Hendra menyuruhnya mengikuti jalan setapak. Ranti berlari secepat yang dia bisa untuk mencapai tempat Hendra dan Darius mungkin jatuh di sebelah rumpun tanaman.

Setelah gadis itu melewati belokan yang ke sekian, dia akhirnya bisa melihat dua orang itu sekitar sepuluh meter di depan. Matanya hampir melompat melihat keadaan Darius. Kakinya langsung lari.

“Ya Tuhan .... Tuan!” serunya khawatir.

Hendra sedang memeriksa Darius yang tak memberi respon  sedikit jua. Ranti merasa seperti sedang menunggu hukuman mati. Jika pasiennya kenapa-kenapa di bawah pengawasannya, jelas keluarga pria itu tidak akan tinggal diam. Kakinya seketika kehilangan tenaga, membuatnya ikut jatuh duduk di jalan setapak dengan wajah pucat.

“Apa yang kau lakukan?!” bentak Hendra marah. “Seharusnya kau segera memeriksa pasienmu atau memanggil dokter!” kecamnya kejam.

Ranti tak dapat lagi membela diri. Dia memang ceroboh dan tak siap mendapatkan kejutan seperti ini di awal dia bekerja.

“Pegangi!” perintah Hendra pada gadis itu. Pria itu tak peduli seberapa tak kometennya perawat baru itu. DIa butuh bantuan gadis itu sekarang.

Ranti memegangi Darius dengan sigap. Tangannya mencoba memeriksa deyut nadi di leher pria itu. Meski sangat sulit, karena harus bersaing dengan suara Hendra yang tengah menelepon rumah sakit dan ambulans, Akhirnya gadis itu berhasil merasakan denyut lemah di leher pasiennya.

“Saya menemukan denyut nadinya,” kata gadis itu lega.

“Apa kau pikir aku akan menyerahkan dia padamu sebelum yakin bahwa dia akan baik-baik saja?” Hendra kembali berkata ketus. Wajahnya sungguh tak enak dipandang saat ini. Keramahan dan ketenangan yang selalu ditampakkannya telah lenyap entah ke mana.

“Ayo bawa Tuan ke rumah!” Pria itu menggendong Darius dengan hati-hati dan mendudukkannya di kursi roda yang tadi terjungkal. Dua orang itu mendorong kursi roda itu dengan hati-hati menuju rumah. Tak lama ambulans datang dan membawa Darius ke rumah sakit.

Ranti yang ditinggalkan sendirian di rumah, hanya bisa menangis dan penuh rasa bersalah. Dia menyesali diri kenapa tidak memeriksa pintu ukir itu lebih teliti. Gadis itu juga terus bertanya-tanya, sudah berapa lama Darius tergeletak di balik pohon sampai mereka menemukannya?

Panggilan telepon dari Hendra masuk siang itu. “Aku akan pulang dan membawamu ke rumah sakit. Tuan Besar Dharmajie ingin bertemu denganmu!”luarga besar D

“I—iya!” balas Ranti tergagap.

Tubuh gadis itu lemas seketika. Dia bisa membayangkan bagaimana kemarahan keluarga Darius pada perawat ceroboh sepertinya. “Ibu, maafkan Ranti ... mungkin Ranti harus jadi beban, karena akan jadi pengangguran sebentar lagi,” ujarnya dengan suara lirih.

Dipandangnya tas baju lusuh yang kemarin dia bawa. Isinya yang tak seberapa itu bahkan belum sempat dibongkarnya. Sekarang dia sudah harus membawa pulang lagi tas itu ke rumah. Dengan lesu dia bangkit dan merapikan tas itu untuk dibawa ke rumah sakit. Dia siap untuk dipecat.

“Pak, apakah saya akan dipecat?” tanya Ranti pada Hendra saat mereka sedang menuju ke rumah sakit.

“Saya tidak tahu!” Suara Hendra masih ketus.

Ranti yang masih dipenuhi rasa bersalah, akhirnya memilih diam. Pelayan tua itu sedang marah dan menimpakan kesalahan padanya. Dan Ranti juga menyadari bahwa dia memang lalai. Maka dia akhirnya pasrah menunggu keputusan Tuan Besar Dharmajie.

Sepanjang jalan di lorong dan lift rumah sakit, Ranti hanya berdiam diri. Dia menggenggam erat tas bajunya yang lusuh. Menghitung uang di dompetnya, semoga cukup untuk ongkos pulang ke rumahnya, karena rumah sakit besar itu lumayan jauh.

Hendra mengetuk pintu salah satu kamar rawat sebelum membukanya. “Saya membawa perawat itu,” ujarnya.

“Bawa masuk!”

Ranti bisa mendengar suara berat dan tegas seorang pria, menjawab dari dalam. Gadis itu memejamkan mata sampai merasakan sikunya digamit Pak Hendra. Pria itu memberi isyarat agar dia masuk ke dalam ruangan. Ranti mengangguk dan masuk.

Sampai di dalam ruangan, tempat itu penuh. Gadis itu mencari-cari di mana Darius. Tempat tidur pasien di sana masih kosong.

“Oh, ini perawatnya? Pantas saja tak becus!” Seorang pria berdiri bolak-baik di depan Ranti sembari menilai gadis itu. Matanya terlihat sinis dan bibirnya mengerucut penuh penghinaan.

Ranti membungkukkan sedikit badannya. “Saya Ranti!” ujarnya memperkenalkan diri.

Suara berat pria lain, kembali terdengar. “Kemari!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status