Share

Bab 4. Ingatan Yang Muncul

Pagi di hari ke dua. Setelah pembicaraan yang menenangkan tadi malam, Ranti optimis bahwa langkahnya akan lebih mudah lagi. Setelah Hendra memberi perintah untuk menyiapkan sarapan, gadis itu segera melakukan pekerjaannya dengan hati riang. Hingga sarapan sudah siap untuk diantar. Dengan memasang senyum di wajah, gadis itu melangkah ke kamar Darius untuk mengantar sarapan pagi.

Ranti masuk ke dalam setelah mengetuk pintu dua kali. Namun, dia tak menemukan pria itu di sana. Diletakkannya nampan di meja dan melihat ke kamar mandi yang tertutup. Di sana juga tak ada. Kecemasan mulai menghinggapinya. Dengan cepat dia keluar kamar dan mencari Darius di dalam rumah. Bahkan saat semua sudut rumah dia telusuri dan memanggil-manggil, pemilik rumah yang sedang sakit itu tetap tak terlihat.

 “Ke mana dia?”

Ranti lari ke luar rumah. Dilihatnya pintu depan terbuka, pikirannya langsung buruk. “Apakah Tuan Darius keluar rumah?”

“Tuan!”

Panggilannya tak memperoleh jawaban.

“Pak Hendra!” teriaknya mencari pelayan tua itu. Tak juga ada jawaban. Ranti mencari dengan panik di halaman depan yang luas. Dia tetap tak menemukan Hendra.

“Pak Hendra!” panggilnya lagi. “Tuan Darius!”

Kemudian dia ingat bahwa dia melewatkan lantai dua rumah karena tidak mungkin Darius naik ke sana. Namun, dia tahu bahwa Hendra pasti bisa naik ke sana. Dia lari lagi ke dalam rumah untuk memeriksa lantai dua. Gadis itu belum pernah naik ke sana, karena baru mulai  bekerja dan kamarnya ada di lantai satu.

“Pak Hendra!” panggilnya lagi dengan setengah berteriak. Dilihatnya balkon dengan pintu kaca tinggi. Ranti mencoba membuka pintu itu dari dalam, untuk mencari tahu di mana pelayan itu. Matanya langsung membelalak saat melihat halaman belakang yang tak kalah luas dari halaman depan. Ada kolam renang ukuran sedang juga di sana.

“Pak Hendra!” teriaknya lagi. Berharap pelayan itu berada di halaman belakang dan segera menyahut. Tak ada jawaban apa-apa. Gadis itu jadi semakin panik!

***

Bangun tidur, Darius merasa sangat terganggu oleh ingatan tentang istrinya. Dia merasa perlu untuk mencari setelah wanita itu tak juga muncul saat dipanggil berkali-kali. Dengan mengatur kursi roda, dia keluar dari kamar. “Evelyn!” panggilnya berulang kali.

Tanpa siapa pun tahu, dia sudah berada di teras depan. Melewati jalan landai khusus kursi roda, dia turun ke halaman. Terus menjalankan kursi roda itu di halaman berumput sambil memanggil-manggil istrinya.

“Evelyn!”

Darius terus menggerakkan kursi rodanya dengan susah payah di jalan berbatu. Jalan itu kecil dan hanya sedikit lebih lebar dari kursi rodanya. Dia tidak lagi dalam kondisi bisa menilai bahaya atau tidak langkahnya ke sana.

“Evelyn biasanya suka ke taman samping,” pikir Darius. Maka dia terus maju ke sana, meskipun sangat sulit.

“Evelyn!” panggilnya saat melihat pintu pagar besi ukir yang menuju taman samping.

Karena tak mendengar sahutan istrinya, dengan sikap keras kepala yang tak ada duanya, dia mencoba menggapai pintu besi untuk membukanya. Pria itu berhasil setelah usaha yang ke sekian kali. Kursi rodanya masuk makin jauh dari halaman depan. Dia terus memanggil karena sang istri tak juga menyahut.

“Evelyn, di mana kau?” Suaranya mulai terdengar kesal. “Kenapa kau tak menjawabku!”

Darius melihat kolam renang di halaman belakang dan tak juga menemukan istrinya. Pandangannya tertuju pada bagian paling belakang halaman itu. Di sana, di balik rerimbunan pohon peneduh, ada sedikit jogging track yang dulu kerap mereka lewati. Jalan itu hanya berputar di situ saja, namun konturnya naik dan turun. Tempat yang teduh dan terlindungi dengan pepohonan, dengan udara segar yang disaring pepohonan sekitar, membuatnya jadi tempat favorit untuk lari pagi sekedar mencari keringat.

“Apa dia sedang lari pagi?” Darius melihat ke langit. “Matahari sudah naik seperti ini, kenapa dia belum kembali?” pikirannya mulai khawatir.

“Evelyn, apa kau di sana? Hari sudah siang, kenapa belum kembali? Apa kau baik-baik saja?”

Tangan Darius berusaha keras menggerakkan kursi roda di jalanan yang dialas bebatuan. Joging track itu dimulai sejak dari halaman belakang dekat kolam renang. Hanya saja, jalan yang dibuat tidak cukup lebar. Pria itu harus berhati-hati agar dirinya sendiri tidak terperosok turun dari paving blok. Itu akan membuatnya kesulitan jalan dan mengendalikan kursi roda.

“Evelyn!” panggilnya lagi dan lagi. Tak ada kengerian saat dia melewati jalan yang mulai menurun. Dulu dia biasa melewatinya bersama sang istri. Mereka memang merancang jalan itu naik dan turun seta berkelok, agar jalurnya bisa lebih panjang.

Sebuah batu paving ada yang pecah dan pecahannya tidak rata. Roda kendaraan yang dinaikinya, terselip. Kursi roda itu bergerak miring ke arah jalan sebaliknya yang jauh lebih rendah. Darius tidak dapat menyeimbangkan diri, karena tak ada pegangan di antara dua jalur berlawanan itu. Hanya ada sebaris tipis tanaman perdu yang memisahkan dua jalan itu.

Kursi roda itu akhirnya terjungkal ke arah jalan yang lebih rendah. Meski telah ditahan oleh beberapa tanaman semak, tak ayal dia jatuh juga dengan keras.

Dalam kepanikan,  akhirnya dia teringat sang pelayan. “Hendraaa ...!”

*****

Sementara itu, di dalam rumah, Ranti sudah panik luar biasa. Dia tak menemukan siapa pun di lantai dua, lalu segera menutup lagi pintu balkon dan turun ke lantai dasar untuk kembali menyusuri seluruh isi rumah dengan cermat sambil memanggil nama Darius serta Hendra. Ada banyak bagian rumah yang belum dia jelajahi di lantai satu.

“Tuan!” panggilnya cemas.

“Pak Hendra!” teriak gadis itu lagi.

Setelah tak menemukan siapa pun di dalam rumah, Ranti kembali ke halaman depan. Dia bertekad untuk memeriksa lebih teliti lagi. Setelah berputar-putar di halaman depan dan tak menemukan seorang jua pun, Ranti teringat pintu pagar.

“Apakah Pak Hendra pergi dengan Tuan?” ujarnya ragu. “Tapi, kenapa enggak bilang kalau mau bawa Tuan?”

“Enggak mungkin! Kalau memang mau pergi, tak mungkin aku disuruh menyiapkan sarapan. Apa jangan-jangan ....”

Gadis itu berlari dengan panik ke pintu pagar untuk meihat apakah pintu itu tak sengaja terbuka dan Darius keluar dari rumah. Itu sangat membahayakan. Dia sudah membayangkan sel penjara seperti yang diperingatkan Hendra saat wawancara sebelum menerimanya bekerja.

“Tuan!” panggilnya panik.

Langkahnya terhenti di depan pagar yang terkunci rapat. Dia tak tahu bagaimana cara membuka pagar itu. Hanya Pelayan Hendra yang mengetahui cara membuka dan menutup pintu otomatis itu. Lalu, di mana Darius?

Tak lama sebuah mobil berhenti di depan pagar dan hendak masuk. Ranti tidak tahu mobil siapa itu. Dia hanya memperhatikan dan pintu besi tinggi itu akhirnya berbunyi, tanda dibuka secara otomatis. Gadis muda itu menyingkir, memperhatikan orang yang membawa mobil. Wajahnya yang cemas, tampak nyata.

“Kenapa kau di sini?” Sebuah suara teguran yang dikenalnya terdengar seiring kaca jendela mobil dibuka. Itu Hendra.

“Anda ke mana? Apakah Anda membawa Tuan pergi ke luar? Kenapa enggak bilang? Apa Anda ingin membuat saya khawatir?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status