Share

Bab 3. Pasien Yang Sulit

Malam hari, dengan keras kepala Ranti kembali masuk ke kamar Darius dan membawakan makan malam pria itu. “Selamat malam, Tuan,” sapanya ramah dan wajah penuh senyum.

Darius sedang duduk di tempat tidurnya tapi belum tidur. Pria itu memperhatikan gadis muda yang masuk ke kamar dengan sorot mata permusuhan.

“Kau sangat keras kepala!” katanya ketus.

“Itu nama tengah saya, Tuan!” sahut Ranti sambil memasang ekspresi lucu untuk mencairkan kemarahan di dada pria itu.

“Huh!” Pria itu menggeram marah. Terutama saat melihat gadis itu tetap berdiri di samping meja, menunggunya untuk turun dan makan.

“Panggil Hendra ke sini. Aku mau dia yang melayaniku!” teriaknya lagi dengan suara meninggi.

“Tuan, Anda jangan terus marah-marah. Itu buruk untuk kesehatan Anda sendiri,” bujuk Ranti sabar. Hanya saja, pria itu sekarang tak bisa disabarkan. Emosinya sudah memuncak.

“Hendraaaa ...!”

Ranti bisa melihat bahwa Darius sangat marah hingga tubuhnya gemetar dan wajahnya memerah. Dia menjadi takut jika terjadi seuatu padanya. Gadis itu berlari ke luar kamar untuk memanggil Pelayan tua itu.

“Pak, Tuan Darius memanggil Anda terus. Saya khawatir dia---“

Hendra berjalan tenang ke kamar majikannya. Ranti mengikuti dari belakang, ingin tahu apa yang membuat Darius marah. Hendra sepertinya mengerti apa yang terjadi. Dia berjalan mendekati Darius. “Waktunya makan, Tuan,” katanya tenang.

Darius dapat melihat bayangan Ranti di balik punggung pelayannya. “Keluarkan dia dari sini!” perintahnya tegas.

Hendra melihat ke belakangnya dan menemukan Ranti bersembunyi dengan takut di belakang punggungnya. “Tuan tidak apa-apa. Kau bisa tunggu sebentar di luar atau perhatikan dari jendela kaca!” kata Hendra pelan, untuk menenangkan gadis itu.

Ranti menatap mata pelayan itu dan mengangguk. Dia langsung keluar, kemudian menutup pintu. Dengan cepat dia pergi ke dekat taman dalam dan mengintip apa yang sebenarnya terjadi di kamar Darius.

Hendra sedang membantu membopong tubuh pemilik rumah untuk pindah duduk ke kursi roda. Lalu mendorongnya ke depan meja. Ranti akhirnya mengerti. Darius tidak ingin menunjukkan sisi lemahnya pada Ranti yang hanya perawat baru.

“Apakah itu sebabnya dia terus galak dan mengusirku? Dia hanya tak ingin terihat lemah dan sakit!” batin gadis itu. Pandangannya jadi penuh rasa iba. Dia bisa mengerti bagaimana rasanya mencoba terlihat tetap kuat dan baik-baik saja di hadapan orang lain, meskipun diri sedang tidak baik-baik saja.

Tidak berapa lama, Hendra keluar dari kamar. Darius makan dengan lahap sendirian di dalam sana. Tentu saja ...  dia sangat lapar setelah makan siangnya tumpah di lantai. Dia lapar, namun Hendra tak segera membantunya turun dari tempat tidur.

Setengah jam kemudian Ranti masuk ke dalam dengan ekspresi biasa. Tak ada jejak kemarahan ataupun takut di sana. Senyumnya terpasang saat kembali menyapa Darius. “Sekarang saatnya Anda minum obat, Tuan.”

Ranti meletakkan piring kecil berisi obat di atas meja. Setelah itu dia membereskan piring dan mangkuk bekas makan, menyusunnya di nampan dan menunggu obat diminum agar piring kecil itu juga bisa dia bawa ke luar.

Wajah Darius menunjukkan permusuhan yang nyata. Dia sungguh merasa terusik dengan kehadiran Ranti. Tanpa menahan diri, pria itu berteriak dengan emosi meluap pada perawat baru keras kepala itu. “Apa kau tidak mengerti arti diusir? Aku tidak membutuhkanmu! Pergi! Aku memecatmu!”

Ranti menghembuskan napas berat. Matanya menatap pemilik rumah dengan serius. “Tuan, selama saya bekerja untuk Anda, saya akan pastikan Anda makan dan minum obat tepat waktu!”

Mendengar suara tegas wanita muda di depannya yang tanpa rasa takut, suara Darius sedikit melunak, tapi masih dengan sikap keras kepala yang sama, dia menolak untuk melakukan keinginan gadis itu. “Aku belum akan minum obatnya sekarang!”

Ranti tahu pria itu sedang mengujinya. Dia melihat jam di dinding yang masih menunjukkan jam delapan malam. Akhirnya gadis itu tidak lagi terlalu mendesak.

“Setengah jam lagi saya kembali dan mengambil ini.” Meski mengalah, suara Ranti tetap tegas. Lalu gadis itu mengangkat nampan untuk dibawa ke luar. Dia ingin belajar berkompromi dengan sikap keras kepala Darius.

"Kamu benar-benar tidak tahu apa yang kamu lakukan, ya?" Darius berkata dengan nada tajam.

"Saya akan  mencoba yang terbaik, Tuan Darius.”

Ranti menjawab dengan hati-hati, mencoba menutupi keraguannya. Gadis itu tahu, tidak akan mudah menaklukkan pasien kaya dan keras kepala seperti pria di depannya. Mungkin akan butuh tarik ulur perasaan. Sebagai rang yang membutuhkan pekerjaan itu, maka dialah yang dituntut untuk lebih banyak mengalah dan mengendalikan diri.

Darius hanya menggelengkan kepala dengan nada sinis. "Terbaik? Kau sangat percaya diri bisa merawatku?”

"Ya, Tuan Darius," jawab Ranti sambil mengangguk yakin. “saya akan merawat Anda dengan baik!”

Dengan ekspresi yang semakin kesal, Darius menjelaskan, "Saya menderita penyakit Neurodegeneratif. Ini bukan hanya masalah kecil. Dokter bahkan hanya memberi saya waktu beberapa bulan lagi untuk hidup."

Ranti terkejut mendengar berita itu. Dia tidak tahu bahwa penyakit Darius sudah sampai tahap itu. Dia berbalik menatap pria di depannya dan menunjukkan wajah prihatin dan penuh empati.

"Kau tidak bisa membantuku. Tak seorang pun!" kata Darius dengan kasar.

Ranti mencoba menenangkan, "Saya sangat menyesal mendengarnya, Tuan Darius."

Darius mengabaikannya. "Penyesalanmu tidak akan mengubah apa-apa. Satu hal lagi! Aku benci wajah kasihan yang ditunjukkan semua orang padaku seperti yang kau tunjukkan saat ini!"

Gadis itu sedikit terkejut mendengar kata-kata lugas itu. Dia memperbaiki sikap dan berusaha untuk menunjukkan sikap profesional di depan pasien yang sangat sensitif itu. Dia tidak mau menyerah begitu saja.

"Sebagai perawat pribadi, saya hanya  ingin membantu Anda. Menyiapkan makanan, obat dan kebutuhan Anda tepat waktu. Tugas saya adalah memastikan Anda terlayani dengan baik dan meringankan pekerjaan Pak Hendra!”

Darius memandang Ranti dengan skeptis. Dia memicingkan matanya yang gelap dan tajam. "Kau bilang, adikmu sakit. Apa kau pikir pengalaman pribadimu bisa membantu?"

Ranti menjawab dengan tegas, "Ya! Saya yakin kita bisa saling mendukung, Tuan. Saya akan merawat Anda dengan sebaik-baiknya, seperti yang selama ini saya lakukan pada adik saya."

Darius tetap berkeras. "Kau tidak tahu apa-apa tentang penyakitku."

Ranti tersenyum tulus. "Saya baru belajar tentang itu, Tuan. Saya siap untuk tantangan ini, selama Anda juga mendukung pekerjaan saya. Hanya dengan cara itu kita bisa menghindari pertengkaran.”

Ranti mencondongkan tubuhnya lebih dekat pada pria itu dan berkata lirih. “Apa pun yang Anda lakukan, apa pun siasat yang  Anda buat, saya tidak akan berhenti dari pekerjaan ini. Karena saya adalah tulang punggung keluarga yang harus bertanggung jawab membiayai ibu dan adik saya!”

Darius memandangnya dengan ekspresi mengejek. “Mari lihat apa kau bisa bertahan. Aku yakin kau sendiri yang akan minta berhenti kurang dari seminggu!”

Dengan sedikit lega, Ranti kembali menegakkan tubuhnya dan mengangkat kepala. Senyumnya dikulum rapat untuk menyembunyikan kemenangan pertamanya. Matanya menatap Darius dengan percaya diri.

"Saya terima tantangan Anda dan akan bekerja sebaik mungkin, hingga Anda tidak punya lagi alasan menyuruh saya pergi!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status