Share

Bab 2. Darius

Pria itu mengangkat wajahnya dari meja. Ekspresinya sangat buruk melihat orang-orang masuk ke dalam kamarnya.

“Apakah aku sudah tak punya privasi lagi? Semua orang merasa bisa masuk sembarang waktu ke sini!” serunya kasar.

Dokter dan perawat  itu tak peduli. Mereka tetap berjalan mendekat dan meletakkan tas lalu perawat mengeluarkan beberapa alat medis ringan.

“Saya sangat sedih karena Anda terus melupakan saya, Tuan Darius,” ujar sang dokter dengan nada ramah dan wajah penuh senyuman. Dokter itu mengeluarkan stetoskop dan memeriksanya, sambil si perawat memeriksa tekanan darahnya. Tuan Darius akhirnya diam saja menerima perlakuan itu.

“Yah ... sepertinya tekanan darah Anda sedikit tinggi hari ini.” Komentar sang dokter.

“Dia marah-marah terus sejak kemarin!” Pak Hendra seakan mendapatkan kesempatan untuk mengadu.

“Tolong jangan seperti itu. Sikap yang seperti itu, akan makin memperparah keadaan Anda sendiri!” nasehat sang dokter.

“Apakah tadi makannya habis?” tanya sang dokter.

“Habis!” Pak Hendra menyahuti. “Meskipun sebelumnya dia selalu pakai drama marah-marah lebih dulu.” Pria itu tampak seperti sedang mengejek tuannya.

Dokter itu menggeleng. “Anda masih sangat bersemangat ya!” komentarnya lagi sambil tersenyum.

“Semangat itu penting, tapi jangan sampai jadi terlalu emosi. Itu tidak baik.

Dokter masih menanyakan beberapa hal lagi dan semua dijawab Pak Hendra dengan lancar. Ranti meperhatikan interaksi itu. Sepertinya, di masa depan dialah yang harus mendampingi pemeriksaan oleh Dokter dan Perawat ini. Dia yakin, dia bisa melakukannya.

“Baik, pemeriksaan hari ini sudah selesai. Dua hari lagi saya datang, saya harap kondisi Anda bisa lebih baik lagi!”

Perawat memberikan obat sesuai dengan resep yang dibuat dokter. Sepertinya dia sudah memperkirakan obat apa saja yang perlu dibawa ke rumah itu. Pak Hendra memeriksa obat dan waktu makannya. Dia mengangguk pada Ranti.

Gadis itu mengerti dan keluar mengantar dua tamu itu pergi.

“Sekarang, kau buat makan siang sesuai menu yang ada di daftar!” perintah Pak Hendra saat Ranti kembali.

“Baik, akan kukerjakan dengan baik!” Ranti langsung ke dapur dan mengerjakan tugasnya. Dia gadis yang biasa mengerjakan semua pekerjaan sendiri. Memasak bukanlah hal asing baginya.

Saat Pak Hendra kembali ke sana, semua makan siang sudah ditata dengan baik di atas nampan. Pria tua itu tampak puas. Pekerjaannya sedikit berkurang hari ini.

“Ini obat, sebaiknya kau kantongi lebih dulu. Berikan setelah dia selesai makan!” jelas Pak Hendra.

“Baik, Pak.” Gadis itu bertekad untuk melakukan pekerjaannnya dengan baik siang ini. Dia harus kuat dan menaklukkan sikap keras kepala pasien itu. Diangkatnya nampan dengan hati-hati dan melangkah ke kamar Tuan Darius.

Di depan pintu kamar, gadis itu diam sembari menghela napas panjang, mengumpulkan semangat. “Aku pasti bisa!”

Setelah mengetuk dua kali, dia membuka pintu dan langsung masuk ke dalam. Darius masih duduk di depan meja mengerjakan sesuatu dengan asik.

“Waktunya makan, Tuan!” katanya tepat di depan pria itu. Kali ini Ranti telah mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk mengatakan kalimat itu.

Darius tidak mempedulikan sama sekali. Dia tetap asik di meja yang akan menjadi tempat meletakkan makanan. Ranti sedikit bingung harus apa. Kemudian dia meletakkan nampan makanan di tempat tidur dan duduk di kursi seberang Darius. Ditatapnya pria itu dengan wajah serius. Saat itulah baru dilihatnya dengan jelas ketampanan pasien itu. Meski sudah berumur, sakit, dan pucat, ketampanannya tak bisa dipungkiri.

“Tuan, waktunya makan siang!” ujarnya dengan hati-hati.

“Aku tak lapar!” kata pria itu tak peduli.

Pria itu masih tidak puas dan kembali menambahi kata-kata kasarnya. “Aku juga tak suka melihatmu berada di sekitarku. Kau menjijikkan. Melihatmu membuatku merasa gatal-gatal seperti sedang dirayapi ulat!”

Ranti yang belum terbiasa, kembali terpancing emosi. Cepat-cepat dia menarik napas panjang dan mengembuskannya berulang kali. “Sabar ... sabar ...,” katanya dalam hati. Lalu kembali menghadapi pasiennya. Gadis itu sudah melihat bagaimana pengendalian diri Hendra yang seperti orang menebalkan telinga saja, lalu melupakan perkataan kasar apa pun yang terdengar.

“Tuan, obat dokter sudah menunggu. Untuk itu, Anda harus makan sedikit,” bujuk Ranti sabar.

“Tidak!” Darius  masih menolak dengan keras kepala. Dia terus sibuk menulis di kotak-kotak yang ada di kertas, seperti sedang mengerjakan sebuah tts.

Tangan Ranti dengan berani memegang buku tipis yang sedang ditulisi pria itu. Darius mencoba menahan bukunya di dada agar tidak diambil orang lain. Ranti tidak menahannya. Tujuannya adalah membersihkan meja dari aktifitas lain, agar Darius bisa mulai makan.

“Jangan lancang memegang segala milikku dikamar ini! Atau aku akan menuduhmu mencurinya!” ancam pria itu dengan kejam.

“Sekarang waktunya Anda makan. Lagi pula, tidak ada seorang pun yang mau mencuri buku seperti itu. Apa lagi saya. Cuma bikin pusing kepala saja membacanya!” jawab Ranti ketus. Nampan makanan sudah diletakkan di atas meja.

“Heh! Orang sepertimu, mana mungkin bisa menjawab pertanyaan yang ada di sini!” Darius mendapat celah untuk mengejek Ranti.

Namun, gadis itu mulai tidak peduli. Dia menjawab dengan cepat. “Sekarang Anda tahu kalau buku itu tak akan ada yang mau mencurinya. Anda berikan pun, belum tentu ada orang yang mau menerima!” Ranti membalas kata-kata pedas pria itu sambil tersenyum manis.

Darius duduk di kursi roda, wajahnya penuh dengan ekspresi ketidakpuasan yang  jelas terbaca. Dia menatap tajam Ranti yang dengan berani balik menatapnya. Meskipun wajah gadis muda itu terlihat ramah dengan senyum di wajah. tapi bagi si pria, itu adalah wajah yang penuh kemunafikan dan culas. Disimpannya buku tadi di balik baju agar tidak dilihat Ranti.

Gadis itu tersenyum simpul. “Apakah Anda bisa makan sendiri atau butuh saya suapi?” tanyanya serius. Dia bisa melihat bahwa tangan Darius sedikit gemetar saat menggoreskan pena di atas kertas.

“Apa kau pikir saya orang cacat yang butuh disuapi?!” Emosi Darius kembali naik. Matanya melotot tajam pada gadis muda yang telah membuatnya sangat terhina itu.

“Saya tidak berpikir seperti itu.” Ranti berdiri dari duduk.” Saya hanya menawarkan kebaikan saja. Jika Anda tak ingin, ya bagus! Berarti Anda sangat mandiri!” balasnya. Gadis itu pergi merapikan tempat tidur Darius dan membiarkan pria itu makan dengan sendirinya.

“Anda tahu, adik saya juga sakit. Tapi dia sakit sejak bayi. Anda tahu Cerebral Palsi? Keadaannya buruk. Entah apakah dia bisa sembuh nanti. Tapi kami tidak pernah menyerah untuk mengobatinya! Keluarga Anda pasti juga mengharapkan hal yang sama.”  Ranti erceloteh sambil membereskan ruangan.

“Apa kau ingin menjual kesedihanmu padaku untuk dikasihani? Apa karena alasan itu kau diterima bekerja di sini? Beraninya kau membandingkan penyakit adikmu denganku!”

Ranti terdiam dan terpaku di tempatnya. Pria di depannya teramat sulit diatasi. Maksudnya menceritakan sang adik adalah untuk menambah semangat Darius, tapi itu justru membuat dia makin marah.

“Adik saya sudah sakit bertahun-tahun. Namun, dia terus tersenyum, tidak ada kemarahan tampak di wajahnya. Tidak juga teriakan pada kami yang merawatnya!” kata Ranti pedas. “Adik saya jauh lebih pengertian dari pada Anda!”

Darius makin marah dan sengaja menjatuhkan nampan beserta isinya hingga semua piring dan mangkuk pecah berderai di lantai. Wajah Ranti berubah murung.

“Membuang makanan adalah tindakan yang tidak terpuji, Tuan Darius. Anda tidak akan mendapat makan siang lagi hari ini!” ujarnya tegas.

Ranti keluar dari ruangan sambil menahan air matanya yang hampir jatuh. Pak Hendra sudah ada di depan pintu saat dia membuka pintu kamar. Pria itu sudah siap dengan alat untuk membersihkan pecahan piring dan mangkuk. Sepertinya hal itu memang kerap terjadi.

“Ini obatnya,” kata Ranti sembari menyerahkan obat Darius pada Pak Hendra. Dia sangat kagum melihat pria itu mampu mengatasi sikap buruk tuannya selama ini. Gadis itu pergi ke dapur dan membuat makanan untuk mengisi perutnya sendiri.

Tak lama Pak Hendra kembali dan membuang semua sampah pecahan piring serta mangkuk di tempat sampah. “Kukira kau akan bersiap untuk pergi,” ujarnya.

“Saya harus kerja, Pak. Saya tulang punggung keluarga. Jadi, saya tidak akan menyerah dengan mudah. Saya pasti bisa menaklukkan sikap keras kepalanya suatu saat nanti!”

Pelayan tua itu bisa melihat bahwa pekerja baru sangat penuh dengan tekad. Dia hanya mengangguk dan dan kembali pergi untuk membersihkan sisa kotoran di lantai kamar Darius.

Ranti melihat ke kamar Darius. “Aku pasti bisa menaklukkanmu nanti!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status