Share

CINTA PERAWAT TUAN MILIARDER
CINTA PERAWAT TUAN MILIARDER
Author: Seruling Emas

Bab 1. Pekerjaan Baru

“Aku tak mau ada orang asing di sini! Usir dia!”

Tuan Darius, calon pasien yang akan dirawat oleh Ranti menatapnya nyalang. Mendapatkan penolakan di hari pertamanya bekerja, gadis muda langsung pucat dan tubuhnya gemetar. Bahkan nampan yang disedang dipegang,  ikut bergetar di tangannya.

Ranti menundukkan pandangan, juga bersembunyi di balik punggung Hendra--pelayan Tuan Darius yang mengajarkannya.  Terlihat jelas bahwa gadis itu ketakutan.

“Tuan Besar sudah menyetujui untuk mempekerjakan dia, agar Anda tidak perlu lagi berteriak lama-lama saat membutuhkan sesuatu, Tuan,” jelas pelayan itu dengan suara tenang namun penuh ketegasan.

“Suruh saja dia kerja di sana!”  Darius masih terlihat tak peduli.

“Semua pelayan telah Anda pecat. Sementara saya mungkin tidak bisa selalu ada di dekat Anda,” jelas pelayan tua itu sabar.

Dari balik punggung Hendra, Ranti bersikap waspada. Kendati dia merengket ketakutan, gadis itu tetap mendengarkan perdebatan yang terjadi di antara dua pria dewasa di hadapannya.

Tak berselang lama, tubuh Ranti berjengit kaget. Nyaris saja sebuah teriakan keluar dari mulutnya saat sebuah benda melayang ke arahnya. Sebuah gelas, pecah berhamburan di lantai tak jauh dari kakinya. Ranti tak mengira pria itu begitu ringan tangan.

“Heh! Apa kau takut?" Darius terdengar begitu sinis saat mengucapkan kalimat tersebut. "Itu belum seberapa. Aku bahkan bisa lebih kejam dari ini! Aku akan membuatmu tidak betah dan langsung angkat kaki dari sini!” 

Ranti menguatkan hati mendengar makian yang tak henti keluar dari pasien yang akan dirawatnya. Dia tidak berani membuka mulut, sekadar untuk menyangkal penilaian sang tuan yang begitu buruk padanya.

“Kalian orang-orang miskin seperti kumpulan semut yang merubungi gula! Kalian akan selalu ingin menempel agar bisa mendapatkan keuntungan dari kami! Kau tak pantas ada di sini!”

Tubuh Ranti bergetar hebat karena merasa emosinya sudah nyaris meledak. Rasa ketakutan sebelumnya kini berubah jadi marah. Menurutnya, penghinaan Darius kali ini benar-benar sudah merendahkan harga dirinya.

Tak tahan, akhirnya Ranti menyerahkan dulu nampan berisi makanan dan obat untuk Darius kepada Hendra. Dia melangkah dan menatap tajam ke arah Darius dengan berani.

“Entah Bapak bertemu di mana orang yang barusan Bapak katakan. Saya memang miskin, Pak." Dada gadis itu turun naik, wajahnya memerah seiring dengan kepalan tangan yang semakin menguat. "Namun, saya bukanlah pengemis. Saya tidak pernah mengemis untuk menghidupi keluarga saya!”

Setelahnya gadis itu lari dari ruangan itu menuju kamar karyawan yang akan jadi tempat istirahatnya selama bekerja di rumah itu. Melihat bagaimana hari ini tidak berjalan baik, Ranti sendiri sangsi .... Bisakah dia bertahan lebih lama dari yang dia bayangkan?

Di kamar, Ranti menangis sedih. Hatinya sangat sakit mendengar penghinaan yang dilontarkan Darius. Seumur hidupnya, Ranti adalah pekerja keras yang selalu membantu kedua orang tuanya. Dia memang dari keluarga miskin. Namun, tidak pernah sekalipun dia mengemis dan berusaha dekat dengan para orang kaya hanya demi keuntungan semata. Dia hanya pekerja rendahan yang bertujuan dapat uang dari pekerjaannya untuk menghidupi keluarga.

Bayangan ibu dan adiknya muncul di ruang mata. Sang adik sangat membutuhkan gajinya agar bisa melanjutkan perawatan dan mengikuti terapi yang dibutuhkannya. Ranti, gadis tamat SMA itu mendadak  jadi tulang punggung keluarga setelah sang ayah berpulang saat pulang mengojek. Dia harus membantu ibunya yang hanya seorang penjual gado-gado.

“Aku harus menguatkan hati. Ini baru hari pertama. Masa aku sudah kalah mental? Lagipula, apa yang dituduhkannya tidak benar. Aku pasti bisa!” Gadis itu menguatkan tekad demi sang adik.

Tak lama, Ranti kembali ke kamar Darius seolah tak pernah terjadi apa-apa. Sosok Hendra masih ada di sana, sedang menata makanan di meja kecil.

“Maaf, saya tadi dari kamar mandi. Biar saya gantikan Anda untuk melayani makan Tuan Darius, Pak.”

Pak Hendra dan Tuan Darius langsung menoleh saat mendengar suara gadis itu. Emosi Darius kembali terpancing. Wajahnya langsung memerah dan dia berteriak lantang dan menggelegar.

“Keluar ...!”

Ranti yang baru menata hati, benar-benar tak siap mendengar teriakan sekencang itu. Tubuhnya langsung mundur dan terhenti setelah menabrak tembok. Wajahnya yang memutih itu, menunjukkan bagaimana dia shock dengan teriakan pemilik rumah.

Pak Hendra menggelengkan kepala pada pria itu. “Dia bukan orang yang pantas untuk diteriaki. Sifat Anda makin lama makin buruk!” Pria tua itu langsung meninggalkan Tuan Darius dan mendekati Ranti.

“Kurasa, sebaiknya kau istirahat sejenak, Nona. Nanti akan saya panggil lagi,” ujarnya dengan suara lebih lembut.

Ranti menatap pria tua itu dengan mata berkaca-kaca tapi tak mampu beranjak dari sana. Kakinya terasa lumpuh tak bertenaga saat ini. Sepertinya Pelayan tua itu menyadari apa yang terjadi pada perawat baru itu. Tangannya dengan sigap menuntun tangan Ranti menuju kamarnya sendiri. Membiarkan gadis itu beristirahat sejenak dan memikirkan ulang, apakah masih ingin melanjutkan pekerjaannya di kediaman itu atau tidak.

Pria tua itu pergi ke dapur dan menyiapkan secangkir teh hangat untuk mengembalikan semangat gadis yang sedang shock di dalam kamar itu. Saat sedang membawa minuman untuk Ranti, dilihatnya Tuan Darius menggerakkan kursi roda dengan sulit ke arah ruang makan.

“Anda mau ke mana?” tanyanya khawatir.

“Aku mau mencari istriku?” katanya dengan wajah cemas.

Pak Hendra menghela napas lelah. Dia meneruskan langkah menuju kamar Ranti, untuk menyerahkan teh yang baru dibuat itu. “Teh hangat mungkin bisa menenangkanmu,” sarannya sebelum keluar dan kembali menutup pintu.

***                                                                   

Di kamarnya, setelah meneguk teh hangat pemberian Pak Hendra, hati Ranti kembali tenang. Dia memutuskan untuk mempelajari lebih banyak tentang penyakit Darius. DIa belum pernah mendengar tentang enyakit Huntington yang dikatakan Pelayan Hendra telah diidap Darius.

Satu jam dilalui Ranti dengan membaca informasi internet tentang penyakit Huntington. Dia menjadi sedikit lebih simpati dan kemarahannya mereda. Sikap Darius dianggapnya ada hubungannya dengan penyakit degeneratif yang diderita pria itu.

Hingga Pak Hendra mengetuk pintu, barulah gadis itu meletakkan ponselnya dan berdiri membuka pintu kamar. “Apa pekerjaan saya yang lain?” tanyanya dengan antusias.

Pak Hendra membelalakkan kelopak matanya yang sudah kendur. Pria tua itu tak yakin dengan apa yang barusan didengarnya. “Kau sungguh ingin melanjutkan kerja di sini?” tanyanya ragu.

“Ya!” Gadis itu mengangguk dengan yakin.

“Saya sudah coba cari tahu informasi penyakit Tuan Darius. Saya rasa, apa yang dikatakannya, bukanlah apa yang dia maksudkan. Dia hanya tidak dapat mengendalikan dorongan emosional dirinya sendiri!”

Pak Hendra terpana mendengar gadis itu mengatakan apa yang telah dibacanya. “Oh ... baiklah kalau begitu.” Pria itu mengangguk dan diam sejenak.

“Saya mau bilang kalau Dokter dan Perawat rumah sakit sebentar lagi datang. Kau bisa ikut dan mendengarkan petunjuk yang diberikan dokter,” tambahnya lagi.

“Baik. Saya akan tunggu kedatangan mereka di luar.”

“Kau bisa tunggu di ruang tamu dan sambut mereka saat datang nanti!” kata Pak Hendra.

“Baik!”

Ranti berjalan ke bagian depan rumah. Saat melewati taman dalam, dia melirik ke kaca jendela besar di mana kamar Tuan Darius berada. Pria itu tengah duduk dan menghadapi meja kecil di kamarnya. Ranti tidak tahu pria itu sedang melakukan apa.

Tak lama, terdengar ketukan di pintu depan. Dengan cepat gadis itu membuka dan mempersilakan dua tamu berpakaian medis itu masuk. Dia tak mungkin salah orang, karena hanya Pak Hendra yang bisa membuka pintu pagar depan rumah. Keduanya pastilah Dokter dan Perawat yang dimaksud.

Dirinya mengikuti dua tamu itu masuk ke dalam. Pak Hendra sudah menunggu dekat taman dalam. Pria tua itu memperkenalkan Ranti pada kedua orang yang baru datang. “Ini Ranti, pembantu perawat yang baru.”

Dokter dan perawat pria itu hanya menoleh sekilas dan mengangguk kecil tanpa mengomentari apa pun. Mereka berempat lalu menuju kamar Tuan Darius.

“Halo Tuan Darius!”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Uci Lurum
Keren, kak, ceritanya. Baca sambil belajar...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status