Bab 14*Gema takbiran berkumandang dari toa masjid. Setelah sebulan berpuasa di bulan Ramadhan, hari ini kami bisa merayakan lebaran idul Fitri bersama-sama.Tahun ini kebanyakan warga desa mendapatkan hasil panen yang melimpah. Termasuk ibu dan ayahku. Sebab itu aku merasa bahagia sekali karena mereka membelikanku sepasang baju baru dan sandal baru.Aku, ibu dan ayah pergi ke pasar pusat perbelanjaan di tempat kami. Aku naik ojek bersama ibu, sementara ayah sendirian. Membeli baju baru untuk menyambut lebaran adalah salah satu rutinitas yang kurindukan, karena hanya di hari itu aku dibelikan baju. Pun ayah akan berusaha keras untuk memenuhi keinginanku.Mungkin bagi anak yang beruntung, yang terlahir dari keluarga kaya seperti Kalila dan Karina, mereka akan dibelikan baju minimal sebulan satu di pasar pekan. Namun, untuk anak sepertiku, setahun sekali itu sudah jauh lebih mewah daripada tidak ada sama sekali.Aku bersyukur, karena tak hanya bisa membeli baju lebaran, tapi ayah juga
Bab 15*Aku ingat penuturan Kalila saat pengambilan rapor akhir kelas lima.“Lihat aja nanti kelas enam, aku yang akan di posisi itu. Kamu jangan pernah bermimpi.” Dengan wajah merah padam ia berkata padaku hari itu di atas sepedanya.Ternyata itu sama sekali tak terbukti. Aku berturut-turut mendapat rangking satu di kelas. Mereka berdua mendapatkan rangking dua dan tiga. Kulihat Kalila dan Karina makin kesal padaku. Ia menatapku tak pernah bersahabat, makin judes dan makin sering ia membuli. Kadang saat ada kesempatan, ia menolak punggungku dengan sengaja, menahan kaki agar aku tersandung saat masuk kelas. Perilakunya sungguh membuatku tak nyaman.Dalam berbagai kesempatan ia mencoba untuk menang. Mencoba untuk mendapatkan yang terbaik dengan cara menginjakku, dengan cara membuatku sakit hati. Namun, aku tak bisa berbuat banyak, hanya mengabaikan dan menghindar darinya. Aku masih menganggap ia saudara, dan hanya seorang anak kecil yang pikirannya belum dewasa. Tidak mungkin aku bert
Bab 16*Sejak saat itu, aku sudah jarang bermain bersama Kalila dan Karina. Mereka juga tak lagi menggangguku seperti biasa. Hanya saling membuang pandangan saat kami tak sengaja beradu pandang, atau saat di sekolah pun di tempat mengaji kami tak saling sapa jika tak ada keperluan.Satu-satunya teman bermainku adalah Farah. Kami seolah tak bisa dipisahkan oleh apa pun. Dua bocah yang bernasib hampir sama, dengan dua mimpi yang berbeda.Sejak beberapa kali mendapat rangking satu, aku semakin rajin belajar. Selain karena memang menyukai pelajaran, juga untuk bisa mempertahankan nilai-nilaiku. Juga untuk mematahkan penilaian Kalila terhadapku. Dari dulu aku percaya bahwa menjadi lebih baik dari kemarin untuk diri sendiri, adalah balas dendam paling indah.Sayangnya, di tempat mengaji tak diadakan ujian seperti di sekolah. Hanya saja ustadzah sering bertanya pada kami secara mendadak demi menguji ingatan hapalan dan tingkat pemahaman kami. Seperti hari itu, ustadzah cantik yang masih ter
Bab 17*'Mati!’Hanya itu saja yang tersisa di otakku. Dalam beberapa saat aku memikirkan ayah dan ibu, semua kenangan tentang mereka. Setelah itu aku seolah tak punya harapan untuk kembali bernapas ke permukaan. Pandanganku gelap seluruhnya, beberapa kali meneguk air sungai yang berwarna keruh itu. Aku sungguh tak bisa bernapas sama sekali untuk mempertahankan hidup.Kembali teringat kejadian yang sama beberapa bulan yang lalu. Kenangan saat aku dan Kalila terseret arus banjir bersamaan. Lalu, saat aku tersadar, aku menyebut namanya pertama kali. Aku khawatir ia tak bisa selamat. Mungkinkah di atas sana Kalila juga sedang mencemaskanku, sedang meminta pertolongan untuk menyelamatkanku. Namun, sesekali aku seolah tersadar bahwa kaki itu sengaja menyela, menyandung kakiku hingga tubuh ini tercebur ke dalam sungai. Lalu, pergi mungkin menyembunyikan diri.Dalam air, aku benar-benar ketakutan. Takut pada kematian yang segera akan datang. Takut pada buaya yang mungkin saja ada di dalam s
Bab 18*Aku pulang bersama orangtuaku dan Farah. Setelah kejadian itu, di sungai sepi, karena semua orang langsung pulang karena takut. Para orangtua juga mencari anaknya dan menyuruh pulang, khawatir jika mereka ikut tenggelam seperti yang baru saja kualami.“Mandi, Nak!” ucap ibu begitu kami sampai di rumah. Raut wajah ibu saat itu sulit sekali kutebak, hingga kalimat tadi terdengar seperti perintah mutlak yang harus segera kulakukan.Ibu mengambilkan handuk untukku, karena kaki dan seluruh tubuhku kotor, aku tak mungkin masuk ke dalam kamar dalam keadaan seperti itu.Aku mengambil handuk dari tangan ibu, yang bahkan menoleh ke arah lain saat aku menatapnya. Sempat kulihat mata ibu berkaca-kaca, mungkin ia menangis lagi, karena merasa telah gagal menjagaku.Aku tak bertanya, hanya segera pergi ke kamar mandi di belakang rumah dan mengguyur air ke seluruh badan agar bersih. Aku melihat pada kotak yang terbuat dari kayu yang dipaku di batang pohon. Tempat itu biasanya ditaruh sabun,
Bab 19*Lonceng tanda pelajaran usai telah berbunyi. Anak-anak di kelas berhamburan keluar dan melangkah pulang. Aku sedikit tak bersemangat hari ini, karena Farah tidak datang ke sekolah. Tadi pagi saat aku ke rumahnya, ibunya bilang ia sedang sakit. Aku sempat masuk dan memeriksa keadaannya. Badannya terasa panas.“Kamu udah minum obat belum?” tanyaku pada Farah.Gadis itu mengangguk. Suaranya parau karena batuk dan juga pilek secara bersamaan.Aku menarik selimut usangnya hingga ke dada, terlihat bulunya merinding tanda ia kedinginan. Aku jadi khawatir melihat kondisi Farah. Keinginan untuk menjadi dokter kembali hadir di dalam hati. Jika aku bisa menjadi dokter, mungkin saat Farah sakit aku bisa merawatnya dengan baik. Rasanya senang sekali jika bisa merawat sahabat terbaik yang menemaniku selama ini.Aku menghela napas, mencoba untuk lebih semangat ke sekolah. Jujur saja, selain Farah, tak ada yang benar-benar dekat denganku.“Aku sekolah dulu ya.” Aku pamit pada Farah yang terl
Bab 20*Setelah mengangguk dalam kebingungan, Udin menunggu aku naik di belakangnya dan mengayuh dengan pelan. Mungkin ia lelah jika harus mendayung sekuat tenaga, karena matahari terlihat sangat gagah di atas sana, panas sekali.Kami mulai berjalan dalam diam. Wajahku mungkin kini terlihat cemas atau takut, sebab itu Udin hanya terus mendayung tanpa bertanya. Sebenarnya jarak rumah Kalila lumayan jauh jika ditempuh dengan sepeda, maklum saja kampung kami lumayan luas untuk seukuran biasanya.“Sekar!” Tiba-tiba Udin memanggil.“Apa?” tanyaku masih dengan suasana hati yang panik.“Kamu dengan Kalila ada apa sebenarnya? Aku lihat kalian tidak terlalu akur sebagai saudara.” Udin terlihat seperti sedang mengemukakan hasil pengamatannya selama ini.“Begitu kelihatan ya?” Aku bertanya balik. Aku hanya berpikir berarti selama ini orang-orang juga bisa melihat hubungan aku dan Kalila juga Karina sebagai saudara. Jelas beda sekali dengan orang lain, jelas terlalu jauh. Tidak akrab dan bahkan
Bab 21*Aku pulang bersama ibu dengan menaiki ojek. Kami sedikit berjalan kaki hingga sampai di pasar untuk menemukan ojek yang akan mengantar kami ke rumah. Sengatan matahari terlalu menambah rasa lelahku. Aku masih mengenakan seragam sekolah dan sandal jepit, sementara rambut terasa sudah bau matahari.Kira-kira lima menit perjalanan kami sampai di rumah. Dalam perjalanan aku dan ibu sama sekali tidak berbicara. Aku penuh dengan pikiranku sendiri, sementara ibu kurasa juga sama. Entah apa yang ia pikirkan lagi. Ibu hanya berbicara saat tukang ojek menanyakan akan diantar ke mana. Masuk ke mana lagi untuk sampai rumah, itu saja.“Lurus, ada kedai kopi, terus masuk lorong, Pak.” Ibu memberikan jawaban untuk tukang ojek yang umurnya terlihat lebih tua dari ayah.Sampai. Aku dan ibu sudah sampai di rumah. Dari bagian pinggang kain jarik yang ia kenakan, kulihat ia mengambil uang untuk membayar.“Makasih, Bu,” ucap bapak tukang ojek sebelum berbelok kembali ke pasar.Ibu hanya menganggu