Perbincangan dengan Anastasia itu seperti syok disambar petir. Walau aku tak mendapatkan informasi yang kumau, informasi lain yang kudengar darinya sudah seperti balon panas yang siap meledak kapan pun juga.“Bahaya…” Aku menghela napas. “Sangat berbahaya…”Di sekitarku, anak-anak kelas mulai bubar keluar kelas satu-persatu. Aku yang hari ini memutuskan mengikuti jadwal kelas Zoey yang semuanya berhubungan dengan ekonomi, memutuskan besok aku harus menghindari cewek itu.Dari lima kelas yang dia ambil hari ini, tiga darinya adalah kelas privat. Dan
Aku merengut dan Brian ikut merengut. “Kau sepertinya sudah baik-baik saja.” Dia menegakkan tubuhnya dan berjalan mendekatiku. “Aku memutuskan Britt.” Aku tak bisa berkata-kata, apa otak orang ini waras? Maksudku, respons seperti apa yang dia mau dariku dengan pernyataannya itu? “Aku tahu,” balasku. “Apa yang kau lakukan di sini?” Dia tiba-tiba muncul begini… “Kau tahu, kan?” “Aku—” Dia menghentikan apa pun itu yang ingin diucapkannya dan menahan diri. “Benar, aku tahu itu bukan kau. Tapi rasanya sangat canggung, aku tak tahan. Kau pasti juga tahu.” Gara-gara dia, tanpa sadar aku jadi mengumpat. “Malaikat sinting sialan.” Dan dia justru tertawa. “Kau pasti juga tahu hubungan kita gak bisa disebut polos lagi.” Dia sukses membuat moodku jelek karena kalimat penuh makna yang dilontarkannya seolah itu bukan rahasia besar. Memang, itu bukan rahasia besar tapi tetap saja! Aku jadi teringat adikku yang selalu menghancurkan moodku dengan mengataiku untuk mengumpulkan
[BAB IV] BERPUTAR MENGHINDARI LURAH BIDANG _______________ Kau tahu … apa itu menggantang asap? Aku yang kala itu baru menginjak umur dua belas tahun dan sukses menjalani upacara kebangkitan … menyadari maksud frasa itu. Aku yang diakui Jawatankuasa Bumi Pertiwi memiliki bakat untuk membuka gerbang dimensi merasakan seperti apa rasanya hasil jerih usahaku … hanyalah perbuatan sia-sia. Aku kalah—bukan, kami kalah. Itu adalah insiden yang miris, atau konyol malah. Mengingat tiga faktor yang menyebabkan insiden itu akan selalu terjadi, meski waktu kembali diulang. Tiga faktor itu adalah kami. Aku yang punya ambisi besar tanpa kekuatan setara. Archer yang punya kekuatan besar tanpa ambisi setara. Brian yang punya keduanya namun selalu membuat keputusan tergesa-gesa. Benar, kami bertiga adalah tiga orang pembuat onar yang ditakdirkan akan menghancurkan Bumi jika tak dihentikan. Untung saja kami dihentikan. Hanya saja… Kami kehilangan segala yang kami punya. Untuk masa depa
Saat aku dan Brian sampai ke rumah, aku menemukan adikku yang duduk di depan televisi. Tak lupa dia mengunyah berondong jagung seolah yang dia tonton adalah film box office. Tapi bukan, yang dia tonton itu adalah kartun Spongebob Squarepants. Membuatku ilfil saja. Jadi aku mengabaikannya—dan Brian yang ikut bergabung dengannya, dan masuk ke kamarku untuk berganti baju. Saat aku keluar, di dapur terdengar suara orang memasak dan Brian menghilang dari samping adikku. “Jangan berdiri macam arwah baru lahir, duduk atau ngapain sana.” Aku hanya melamun sebentar dan dia sudah menyerangku saja. “Kenapa kau di sini dan bukannya di Codannovia?” balasku menyentuh titik terperihnya, pura-pura tak mendengar hinaannya yang menyamakanku dengan arwah payah dari Shangri-La. Aku memeluk bantal sofa dan berbaring di sofa paling besar. Mataku terpejam bukan karena lelah, aku hanya tak mau melihat wajah adikku yang seperti wajah musang berotak ikan. “Redbad tak percaya dengan raja yang ber
“Apa dia sekarang sudah menjadi Saga?” Adikku mencomot roti isi yang dibuat Brian dan mengunyahnya pelan. Dia mengangguk karena rasanya yang sesuai seleranya. “Berapa persentase otoritas yang dia punya setelah promosi?” “Sembilan puluh tiga persen.” Aku juga ikut berkomentar. “Tapi dia kalah melawan Witte Wieven?” “Kau bahkan belum bisa mengontrol otoritas yang cuma satu digit itu.” Aku melototi adikku yang secara implisit menyuruhku diam. Dia pikir punya banyak otoritas itu segalanya?
(Di update seminggu sekali, saat istilah baru muncul dalam cerita. (Baru) berarti baru dimasukkan.) Komentar di bab ini jika ada istilah yang lupa aku masukkan. # (Baru) Atribut; Konsep abstrak bersifat gaib yang unik bagi individu saat menggunakan otoritasnya. Setiap individu mungkin bisa memiliki nama atribut yang sama, namun tak mungkin bisa memiliki konsep yang sama. Satu konsep atribut unik khusus hanya untuk satu individu, jika satu konsep atribut dimiliki lebih dari satu individu maka konsep itu bukan lagi disebut atribut tetapi elemen (baca ‘Elemen’). (Baru) Dunia semu; Dunia imitasi dari sebuah dunia nyata. Dunia semu sering dinamai dengan tambahan ‘faux’ di depan nama dunia nyata yang diimitasi. Contoh - Asgard menjadi Faux-asgard. (Baru) Elemen; Konsep yang digunakan individu saat menggunakan otoritasnya yang telah dianggap konkret, bukan lagi abstrak. Berikut elemen dengan pengguna terbesar di Bumi:(1) Alam atas; ‘Tak bisa diperkirakan.’(2) Alam tengah; Mental dan Ind
Aku akhirnya mengusir adikku pulang ke London dan menahan Brian untuk menginap di rumahku. Oh, tentu saja ayah protes karena dia tak mengenal Brian. Tapi aku mengabaikannya dan mengancam aku akan kabur ke London kalau dia masih melarangku ini itu.“Dia memanipulasi emosiku.”Tanpa tahu malu aku membela diri di depan Brian yang auranya langsung berbeda ketika hanya tinggal kami berdua. Karena aku tahu dia tak benar-benar marah padaku terkait insiden malaikat sinting itu walau sekarang seluruh tubuhnya berkata, “Aku marah.”Dia hanya menggumam tak jelas sambil menonton kartun Spongebob Squarepants yang sedari tadi masih terputar sejak adikku pergi. A
Aku mengalihkan topik. “Apa kau tahu identitas Anastasia Solovyova?” “Fisikawan jenius itu? Bukannya dia juga penjelajah dimensi?” Brian melirikku sesaat sebelum kembali fokus ke layar yang menampilkan adegan Tuan Krab sedang mandi uang. Untung saja dia tak melihatku yang keringat dingin. Mengerikan, menyebut namanya saja aku ditekan dunia separah ini. Padahal kami masih berada di dalam pelindung yang dibuat Brian. “Aku tahu namanya dari seseorang di Pseudotopia.” Aku mendekatkan mulutku ke telinganya. “Dia sekarang seorang penjelajah dunia.” “Kau gila?!” Dia tiba-tiba meneriakku. Aku hampir saja jantungan. Apa dia tak bisa bicara lebih santai? Kan aku juga jadi ikutan emosi. Sambil menenangkan jantungku yang berdetak cepat, aku menatap Brian dengan ekspresi ingin menangis. “Dengarkan dulu, sialan.” Aku mencomot kacang panggang yang tinggal sedikit itu dan lanjut bicara sambil mengunyah. “Dia kehilangan identitasnya bukan karena diusir tapi dia sendiri yang