Cedric mengusap-usap perutku. "Bagaimana jika aku bisa hidup menua bersamamu?" ucapnya sambil tersenyum melihat perutku."Aku ingin memiliki anak yang memiliki paras sepertimu."Aku tertawa. "Mengapa? Kau tidak ingin berbagi rupamu?""Aku sudah bosan menatap diriku. Mau dia laki-laki atau perempuan, aku ingin dia mirip denganmu dan memberi nama mereka dari nama-nama bunga. Karena aku pernah melihatmu sedang melihat-lihat sebuah bunga. Aku pikir kau sangat menyukainya."Aku tersenyum mendengarkan khayalannya.Entah apa yang sedang kami bicarakan. Akan tetapi, aku berharap dengan membayangkan sesuatu yang indah bisa mengobati sedikit lukanya.Lalu dia menghentikan gerakan tangannya dan menatapku. "Aku senang bisa menghabiskan sisa waktuku bersamamu seperti ini. Membayangkan hal yang tidak mungkin, setidaknya aku mempunyai mimpi yang indah."Dia berbaring di atas pahaku dan aku mengusap rambutnya."Kau bisa mengubah semuanya."Dia menggelengkan kepalanya. "Tidak semudah itu, Jane. Aku ti
Aku mengenakan gaun yang diberikan Cedric, dan sekarang aku mengangkat gaun ini dengan kedua tanganku. Memang benar-benar merepotkan di saat situasi seperti ini.Kini aku berlari kecil mengikuti alur menuju keluar dari kastil ini. Aku bisa melihat para prajurit ini tewas, berserakan di sepanjang lorong dan darah di mana-mana. Pandanganku terasa bergerak memutar, kepalaku terasa sangat sakit. Tubuhku tidak bisa menerima ini semua, sehingga aku terjatuh karena lemas.Badanku mengenai salah satu prajurit yang sudah tewas, tanganku menyentuh cairan hangat. Aku rasa, aku telah menyentuh darah yang keluar dari jasadnya. Aku tidak sanggup melihatnya. Lalu aku memejamkan mata dan mencoba untuk bernapas sebisa mungkin. Jangan sampai aku jatuh pingsan karena hal ini. Bukan saat yang tepat di kondisi yang sedang kacau ini.Aku memang tidak sampai pingsan. Namun, aku benar-benar tidak bisa berdiri. Hingga akhirnya aku mendengar suara berteriak memanggil namaku."Jane! Kau tak apa?" Philip menyent
Siang ini aku diperintahkan untuk mengawasi seorang gadis. Entah seperti apa dia, sehingga membuatnya harus diawasi oleh orang sepertiku. Jika ini bukan perintah langsung dari seorang Raja yang sekaligus keluarga bagiku, aku tidak akan menuruti perintah ini. Terlalu membuang-buang waktu.Aku hanya duduk di depan sebuah kedai. Sesuatu membawaku kemari. Semua orang sibuk dengan kegiatan masing-masing, aku hanya terpaku melihat kesibukan itu. Sambil tanganku menopangkan dagu. Inilah arti kebosanan. Rasanya sudah lama aku tidak mengalami hal bosan seperti ini, semenjak kedatangan dia. Dia adalah seorang laki-laki yang merupakan sahabatku. Itulah alasannya mengapa aku mengikuti perintah sang Raja yang merupakan ayahnya, meskipun aku tahu akan membosankan seperti ini. Dia akan ikut perjodohan. Sebagai seorang sahabat, aku tidak ingin dia menikah dengan wanita sembarangan. Jadi aku menerima perintah ini—tapi aku masih heran, entah apa yang membuat Sang Raja tertarik, sehingga dia mengincar g
Kami mulai berkuda, dia menunggangi seekor kuda berwarna putih. Dia memimpin di depan. Aku hanya mengikutinya begitu saja. Entah ke mana dia akan membawaku pergi? Aku masih heran, mengapa aku mau melakukan hal ini? Mengapa aku mengikutinya? Seperti ada daya tarik, yang membuatku melakukannya begitu saja. Di tengah perjalanan aku melihat ikat rambut yang menyanggulnya lepas begitu saja. Sehingga rambutnya terurai. Meskipun tampak dari belakang, wanita ini begitu memesona dengan rambutnya yang terurai. Angin membuat rambutnya berterbangan. Sejujurnya aku ingin melihat tampangnya dari depan dengan rambut terurai. Kami menelusuri hutan dengan jalanan penuh dengan sampah-sampah daun kering. Jalanan ini seperti jarang terjamah oleh orang-orang. Hawa dingin mulai menusuk kulitku karena hembusan angin sangat terasa menyentuh kulitku. Sinar matahari cukup sulit untuk menembus wilayah ini karena tertutup oleh pepohonan yang rindang. Suara serangga mulai menggema di hutan ini dan saling bersahu
Meskipun kini aku berada di ruangan perapian, udara malam ini cukup dingin. Aku menikmati secangkir teh dan menatap lukisan kedua orang tuaku yang terpajang di atas perapian. Ibuku sangat cantik, sebagian orang mengatakan jika aku mirip dengan ibuku. Aku tidak pernah tahu bagaimana ayah dan ibuku bertemu. Apakah ayah akan menerima jika aku menikah dengan gadis biasa yang bukan dari kalangan bangsawan? Ah, mengapa aku berpikir sampai sana? Wanita itu akan menikah dengan sahabatku sendiri. Sudahlah lupakan saja! Ibuku sudah meninggal, dia meninggalkanku ketika aku masih anak-anak. Aku sangat terpuruk kala itu. Hanya ibu yang selalu menemaniku. Ayahku sibuk dengan tahtanya. Meskipun aku kedatangan dua orang yang sebaya denganku, aku tidak terhibur sama sekali. Mereka hanya bermain berdua, tidak pernah mengajakku sama sekali. Aku pun demikian, tidak bisa berbaur dengannya—dan aku tidak menyukai mereka. Namun, juga tidak membencinya. Kami seperti terhalangi oleh tembok besar, dan aku tida
Dia menguraikan rambutnya. Aku bisa melihat pesonanya begitu indah. Terlalu bersinar. Aku langsung bersembunyi ketika dia menoleh hampir ke arahku. Berharap dia tidak melihatku sama sekali. Aku mencoba membalikkan badanku, mengintip dari sisi yang jauh untuk mengamatinya. Namun, wanita itu kini telah berada di hadapanku. Ah, aku harus bersikap seperti biasanya."Tuan. Akhirnya kau kembali. Apakah perjalananmu kali ini menyenangkan?"Dia mengira aku telah pergi berkelana. Padahal aku hanya di sini mengamatinya secara diam-diam. Aku mengabaikan pertanyaannya."Mengapa kau menguraikan rambutmu?"Dia menarik ujung rambutnya. "Um, akan ada pesta malam ini di sini. Sudah lama aku tidak mengikutinya."Begitu rupanya.Pesta rakyat biasanya dilakukan setahun sekali, ketika musim gugur akan segera berakhir. Tidak akan lama lagi, musim dingin akan segera tiba. Aku tidak pernah mengikuti bagaimana pesta rakyat, bukan kewenanganku. Bukan membedakan antara rakyat dan bangsawan. Hanya saja peraturan
"Di mana ibumu? Apakah kau tersesat?" Seorang gadis kecil menghampiriku yang sedang duduk di sebuah kursi. Aku memang tidak mempunyai teman dan anak ini mendekatiku.Aku hanya terdiam menatap ke arahnya."Baiklah, akan aku temani di sini sampai ibumu datang." Dia menduduki kursi dan duduk di sampingku."Sepertinya kau sangat lapar, aku punya makanan untuk kau makan sekarang."Aku tidak mengatakan apa pun, tapi anak ini bersikeras mengatakan bahwa aku sedang kelaparan. Dia memberikanku sepotong biskuit, dan aku menerimanya."Makanlah." Dia mengunyah biskuitnya.Seorang prajurit yang berada di sampingku berusaha untuk berbicara kepada anak ini. Hanya saja aku mencegahnya, dan memberi tanda bahwa sebaiknya dia berpura-pura tidak mengenaliku."Ah, sedang apa prajurit itu di sampingmu? Apa kau seorang penjahat?" Dia berbisik ketelingaku.Aku tertawa dibuatnya, biskuit yang sedang kumakan berhamburan keluar begitu saja."Bagaimana jika aku seorang penjahat?""Hei. Aku tidak yakin kau seoran
Dia mengepang rambutnya, dan memakai pakaian seperti laki-laki. Dia mengenakan celana, kemejanya berlengan panjang yang longgar, dan sepatu boots. Aku bisa menilai, jika dia lebih nyaman memakai pakaian seperti itu, daripada gaun yang dipakai oleh gadis pada umumnya. Hanya saja kali ini aku melihat dia memakai korset di bagian luarnya. Sepertinya dia akan melakukan kegiatan tertentu.Sesuai dengan pengamatanku, jika dia pulang memakai pakaian kasual seperti itu. Besar kemungkinan dia akan menunggangi seekor kuda. Karena tidak mungkin jika aku berjalan, jadi aku mengikutinya dari kejauhan dengan menunggangi kuda. Ini kesempatanku untuk mengikutinya, setelah berkali-kali kehilangan jejaknya. Jalan yang kutempuh bukanlah jalan menuju rumahnya. Melainkan ke suatu tempat. Aku menelusuri jalan setapak, memasuki hutan. Jalanan ini tidak bisa ditempuh oleh kereta kuda. Gadis ini cukup berani memasuki hutan seorang diri. Dia melaju cukup kencang. Perjalanan tidaklah singkat. Aku mulai bosan de