Share

7. Menjagamu

Elya memasuki kamarnya dan membanting pintu dengan asal, gadis itu segera menuju ke ranjang dan merebahkan tubuhnya di sana. Elya mengusap air matanya yang masih saja terjatuh. Padahal Elya sudah berjanji pada dirinya untuk tidak menangis lebih dari dua kali satu minggu. Namun hari ini ia sudah menangis dua kali. Hal yang menjadi pantangan Elya adalah menangis, tapi mau bagaimana lagi, ia tetap perempuan yang rapuh. 

Suara nada dering terdengar dari hp Elya, gadis itu buru-buru mengambilnya. Elya menerima telepon dari ibunya. 

“Assalamualaikum, ibu,” sapa Elya berusaha menggunakan nada seceria mungkin. 

“Waalaikumsalam, Elya. Bagaimana kerja kamu? Lancar?” 

“Lancar, Bu.”  

“Uangnya sudah ditransfer belum?” 

"Ibu butuh uang berapa memang?"

"Tidak banyak, hanya lima ratus ribu."

"Oh."

"Jadi gimana? Sudah atau belum?"

Elya kembali ingin menangis. Ini masih di tengah bulan yang uangnya pun sudah pas-pasan, tapi ia sudah ditanya uang lagi oleh Ibunya. Elya melirik tempat ia menyimpan beras, bahkan untuk makan esok hari ia tidak ada beras, dan sekarang ibunya menanyakan uang. 

“Maaf, Bu. Belum ada karena gajian masih di awal bulan,” jawab Elya. 

“Oh.” 

“Besok aku tidak bisa makan, Bu. Beras ha-” 

Tut!

Panggilan terputus dengan sepihak. Elya tertawa kecil, gadis itu meletakkan hpnya di meja dan segera menarik selimutnya menutupi seluruh tubuhnya sampai ujung kepala. 

Isakan kecil lagi-lagi terdengar dari bibir mungilnya. Ia jauh dari keluarga, tidak punya sanak saudara, bekerja keras di kota orang, sekali pun keadaannya tidak pernah ditanyakan apakah baik-baik saja. Siklus hidup Elya pun hanya bekerja, gajian, habis, bekerja lagi. Begitu terus meski ia lelah. 

Sebenarnya obat lelah Elya hanya sederhana, ditanya bagaimana kabarnya, sudah makan atau belum, baik-baik saja, kah? Namun orang-orang yang ia sayangi, tidak pernah bertanya demikian. Bahkan orang tuanya pun tidak mau mendengar apa yang menjadi keluhannya di kota orang. Elya tidak pamrih memberikan apapun, hanya saja ia ingin juga merasa dipedulikan sebagai seorang anak.

“Kuat Elya, kamu gadis yang kuat,” ujar Elya seorang diri. Siapa lagi yang bisa menguatkan Elya selain dirinya sendiri? Tidak ada. 

Malam ini Bariqi tidak bisa tidur nyenyak. Pria itu telentang di ranjangnya sembari memainkan headset berwarna pink milik Elya. Setelah Elya pergi, Bariqi pun memungut headset dan memilih pulang. Bariqi merasa ia sudah gila, kini seluruh pikirannya hanya memikirkan Elya. Elya tidak mau keluar dari otaknya barang sejenak pun, bahkan saking gilanya Bariqi menciumi headset milik gadis yang selalu dia rundung. 

“Akhhh!” Bariqi mengerang frustasi dan segera bangun. Bariqi menyambar hp yang tidak jauh darinya. Pria itu tengah menimang-nimang hpnya, bingung antara menghubungi Elya atau diam. 

Bariqi melihat profil w******p milik Elya. Tidak ada tanda-tanda online. Status terakhir dilihat pun tidak ditampilkan. Bariqi melempar hpnya lagi, pria itu kembali merebahkan tubuhnya.

Perasaan Bariqi sangat kacau memikirkan Elya. Ia tidak terbiasa dengan sikap Elya yang seperti tadi. Biasanya kalau Elya marah, Elya akan mengomel atau menyerangnya dengan memukul lengan atau dadanya. Namun malam ini semuanya berbeda. Elya bukan lagi gadis yang marah saat ia ejek, bukan lagi gadis yang sering memukulnya tatkala kesal. 

Melihat air mata Elya membuat hati Bariqi terasa sakit, sekian tahun ia bersama Elya, baru kali ini ia melihat Elya menangis. 

Ingatan kemarin merasuki pikiran Bariqi, saat Elya mengatakan semua bahan makanan habis. Bariqi segera melompat dari ranjang, pria itu menyambar jaket, dompet dan kunci mobilnya. Dengan tergesa-gesa Bariqi keluar dari rumahnya. 

“Nak, mau kemana?” tanya Ibu Bariqi yang melihat anaknya tergesa-gesa. 

“Mau ke Mess Elya, Bu,” jawab Bariqi.

“Ibu sudah menanti lama kamu bawa Elya ke rumah, tapi kenapa sampai saat ini kamu masih menyembunyikan dia dari ibu?” tanya Putri, Ibu Bariqi. Setiap saat Bariqi selalu membicarakan Elya, Putri sangat penasaran dengan gadis yang bernama Elya itu. Namun Bariqi tidak pernah membawanya ke rumah. Hanya suaminya lah yang tahu siapa sebenarnya Elya. 

“Dia belum jinak, belum bisa dikenalkan ke ibu,” jawab Bariqi sembari ngacir begitu saja meninggalkan ibunya. 

Bariqi memasuki mobilnya dan menjalankannya membelah jalanan kota Batu. Sedangkan Putri, perempuan paruh baya itu menatap suaminya yang duduk menghadap televisi. 

“Biarkan saja, Bu. Elya anak yang baik, ayah mengenalnya,” ujar Prasetyo, suami Putri sekaligus ayah Bariqi, pemilik hotel Sunflower tempat Bariqi dan Elya bekerja. 

Prasetyo mengenal betul Elya, ia kerap kali mendengar desas desus tentang Bariqi yang selalu merundung dan bersikap semena-mena dengan Elya. Meski Bariqi tidak pernah cerita padanya, tapi Prasetyo sudah tahu semuanya termasuk ia yang bisa menebak kalau Bariqi jatuh cinta dengan Elya. 

“Dia selalu semangat membicarakan Elya, tapi belum pernah membawa ke sini,” rajuk Putri. Yang dikatakan Putri benar adanya, Bariqi selalu membicarakan Elya. Katanya Elya gadis yang menyebalkan, cuek dan selalu menentang. Namun berbeda dengan raut kesal Bariqi saat menceritakan Elya, nada suara Bariqi terdengar semangat.

Bariqi sampai di mall yang ada di tengah kota, pria yang tengah memakai jaket hitam itu segera masuk ke mall dan mengambil troli. Bariqi tidak bisa serta merta mengabaikan Elya, pria itu membeli banyak bahan makanan, mulai beras, sayur, dan banyak camilan untuk Elya. Tidak lupa susu kotak rasa coklat dan stroberi kesukaan Elya. Hal kecil yang dilakukan Elya, sudah dihafal Bariqi di luar kepala. 

Setelah mendapat apa yang dia butuhkan, pria itu segera membayar dan bergegas ke mess. Malam masih menunjukkan pukul sepuluh malam, Bariqi sampai di mess Elya dan membawa dua kardus besar barang kebutuhan Elya. Pria itu meletakkannya di depan pintu mess Elya. 

Bariqi menghembuskan napasnya lega. Pria itu mengambil duduk di kursi depan mess Elya. Ia tidak mau mengetuk pintu, takut mengganggu Elya yang mungkin sudah tertidur. Namun, Bariqi pun enggan untuk pergi. Ia ingin menjaga Elya di sana, meski Elya tidak mengetahuinya. 

Bariqi semakin mengeratkan jaketnya saat merasa hawa malam menusuk kulitnya. Hawa di Kota Batu lebih dingin dari kota lain, karena Batu berada di kawasan dataran tinggi. Bariqi memejamkan matanya, pria itu mencoba tidur, meski ada nyamuk yang mencoba mendekatinya. 

Malam semakin larut, suara dengungan nyamuk yang bertebaran pun mengganggu Bariqi. Bariqi yang notabene anak orang kaya, tidak pernah merasakan hidup susah, di rumahnya ada fasilitas yang mewah, tapi kali ini rela tidur di luar demi menjaga Elya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status