Elya bangun cukup pagi hari ini, gadis itu segera membersihkan diri dan melakukan kewajiban subuhnya. Setelah selesai, Elya bersenandung pelan, menyanyikan lagu-lagu cinta kesukaannya. Tadi malam memang menjadi malam yang menyedihkan untuk Elya, tapi pagi ini menjadi pagi yang indah untuk Elya. Pasalnya hari ini adalah hari selasa, dimana si bosnya jadwalnya off. Hari selasa menjadi hari yang paling ditunggu Elya selain senin. Tidak bertemu bosnya sehari sudah membuat otak Elya rasanya fres bagai healing di tempat yang indah.
“Akhhh tidak bertemu Si Anjing yang sering menggonggong itu rasanya sangat senang,” ucap Elya menguncir rambutnya dengan rapi. Gadis itu sudah siap dengan seragam kokinya, tanpa sarapan atau memakan apapun, gadis itu segera keluar dari kamarnya.
Mata Elya membulat sempurna saat membuka pintu, ia melihat ada dua kardus besar di depan pintu messnya. Mata gadis itu mengarah ke samping kanan. Elya terkejut melihat seorang pria tengah tidur di kursi seraya menutup wajahnya dengan topi jaket.
Tanpa menatap lebih detail, Elya sudah mengenali siapa gerangan orang yang tengah duduk di sana. Elya segera menghampiri Bariqi, gadis itu membuka topi jaket bosnya.
“Chef, kenapa Chef tidur di sini?” tanya Elya menepuk pipi Bariqi. Tawa Elya hampir menyembur saat melihat pipi Bariqi yang merah, terlihat sekali kalau pria itu kedinginan.
“Chef, bangun!” Elya menepuk-nepuk pipi Bariqi sedikit kencang. Bariqi tergagap bangun, pria itu dengan spontan bangun dari kursinya. Namun karena bangun tergesa-gesa, membuat peredaran darah Bariqi belum normal, alhasil pria dua puluh tujuh tahun itu limbung tepat di tubuh Elya.
Elya tersentak, gadis itu memegangi tubuh besar Bariqi.
“Chef, apa-apaan sih nempel-nempel,” pekik Elya mendorong sedikit tubuh Bariqi. Bariqi mengucek matanya yang masih lengket.
“Chef kenapa tidur di depan sini?” tanya Elya.
“Ah itu, ketiduran,” jawab Bariqi yang bagai orang mabuk berbicara ngelantur.
“Maksudku kenapa sampai ketiduran?”
“Tidak apa-apa. Itu ada bahan-bahan dapur buat kamu makan,” kata Bariqi menunjuk dua kardus besar. Elya mendorong tubuh Bariqi yang membuat pria itu sedikit terhuyung.
“Kenapa kasih aku bahan makanan? Kamu mau minta maaf tentang kejadian semalam? Chef, aku beri tahu, ya. Tidak semua permintaan maaf bisa ditebus dengan materi. Semalam mulutmu itu sudah menyakiti hatiku, dan seenaknya pakai nyogok beginian. Kamu pikir aku bakal luluh? Enggak,” sentak Elya bertubi-tubi. Bahkan Elya juga menunjuk-nunjuk dada Bariqi dengan jarinya.
“Kamu pikir aku menyuap kamu?”
“Ya kalau bukan menyuap namanya apa? Aku gak akan memaafkan kamu. Semua kesalahanmu hari-hari lalu tidak pernah aku maafkan.”
“Memangnya kamu pikir kamu siapa sampai aku harus minta maaf sama kamu? Itu bahan makanan bukan dariku, tapi santunan dari petinggi perusahaan untuk orang kayak kamu biar gak kelaparan,” ucap Bariqi menunjuk kening Elya dengan kencang membuat tubuh Elya sedikit terhuyung.
“Santunan santunan, kamu pikir aku fakir miskin?”
“Kalau bukan fakir miskin apa namanya? Semua bahan makanan kamu habis, hari gajian masih lama, sudah baik hati bos mengirim santunan buat kamu, harusnya kamu bersyukur.”
“Aku bersyukur mendapat ini semua, yang gak bersyukur itu bahan makanannya diantar sama kamu. Najis,” pekik Elya. Elya sangat ingin memukul orang di hadapannya itu, tapi melihat pipi Bariqi yang memerah karena kedinginan pun membuat ia mengurungkan niatnya. Bagaimana pun Bariqi sudah baik hati mengirim bahan makanan meski bukan pria itu yang membeli.
“Ayo masuk, aku buatkan minuman hangat. Tubuh kamu kayak kedinginan,” ujar Elya menarik paksa tangan Bariqi untuk masuk.
Setelah mendorong Bariqi masuk, Elya mendorong dua kardus dan memasukkannya pula ke kamarnya.
“Duduk di mana pun kamu mau, aku buatkan jahe anget dulu,” ujar Elya.
“Aduh kepalaku pusing,” ucap Bariqi memegangi kepalanya. Pria itu bersandar pada pintu seraya mengerang kesakitan.
“Hah, ada apa? Kenapa tiba-tiba pusing?” tanya Elya mendekati Bariqi lagi. Bariqi menggelengkan kepalanya, pria itu memijat keningnya dengan pelan seraya memejamkan matanya.
“Duduk di ranjang saja,” kata Elya membawa Bariqi ke ranjang. Gadis itu sedikit menyeret tubuh besar Bariqi. Bariqi membuka sebelah matanya, bibir pria itu berkedut saat melihat raut kekhawatiran Elya.
“Duduk sini!” titah Elya membawa Bariqi ke ranjang. Namun bukan Bariqi kalau diberi hati tidak minta jantung. Bariqi menarik kuat tangan Elya hingga gadis itu terjerembab tepat di atas tubuhnya.
Mata Elya membulat saat merasakan bibirnya menubruk benda kenyal di bawahnya. Kini bibir Elya berada tepat di atas bibir tipis milik Bariqi. Bariqi tidak menyia-nyiakan kesempatan, pria itu menggigit kecil bibir Elya.
Plak!
Bugh!
“Akhh!”
Bariqi terpekik kencang saat tiba-tiba Elya menampar pipinya dan meninju rahangnya dengan kuat. Elya buru-buru terbangun, sedangkan Bariqi masih mengusap rahangnya sambil telentang di ranjang.
“Kurang ajar kamu, ya. Kamu bilang gak tertarik sama aku, tapi kamu mesumin aku. Dasar ular, tadi pura-pura sakit, saat ditolong malah mematuk,” oceh Elya mengambil guling dan memukul-mukul tubuh Bariqi dengan kencang.
Bariqi tergelak mendengar ucapan Elya, napas Elya terengah-engah, gadis itu mengusap bibirnya dengan kasar. Karena sudah lelah, Elya membanting gulingnya ke sembarang arah.
Bukannya pergi dari kamar Elya, atau minimal bangkit dari ranjang, Bariqi malah membuka kaosnya ke atas. Dengan isyarat matanya, Bariqi menyuruh Elya menatap perutnya. Tatapan menggoda itu Bariqi layangkan pada asisten chefnya. Melihat Bariqi yang berpose sexy bak model celana dalam, bukannya Elya terpesona, yang ada malah membuat gadis itu ingin muntah.
“Pergi dari sini!” titah Elya pada Bariqi.
“Katanya mau buatin jahe anget?” tanya Bariqi.
“Tidak jadi. Kamu sudah sehat walafiat.”
“Aku masih lemas, Elya,” kata Bariqi menarik selimut dan menyelimuti tubuhnya.
“Gak usah pura-pura, kalau kamu masih lemas, kenapa bisa matuk bibirku, hah?”
“Yang mematuk masih yang atas, belum yang bawah,” kata Bariqi dengan santai.
“Bariqi Sialan!” teriak Elya dengan kencang sembari menerjang tubuh Bariqi. Pukulan, cubitan dan tamparan Elya layangkan pada Bariqi yang saat ini kuwalahan menghadang serangan Elya yang bertubi-tubi.
Benar kan apa yang dikatakan Bariqi, Elya belum jinak. Digoda sedikit saja Elya akan menerkamnya bak singa betina, apalagi kalau nanti dikenalkan dengan ibunya, sudah pasti Elya akan lebih menyerang sampai membabi buta.
Elya duduk di perut Bariqi, gadis itu menghajar Bariqi habis-habisan.
Plak!
Bugh!
Jrot!
Suara tamparan, pukulan dan tinjuan mengisi ruang kamar Elya yang tidak terlalu besar itu.
“Elya, sudah, ampun,” ujar Bariqi yang sudah lemas karena kelakuan Elya. Bariqi hanya niat menggoda Elya, tidak ada niatan lebih atau apapun. Melihat wajah Elya yang marah membuat Bariqi suka dan ketagihan menggoda gadis itu.
Bariqi sendiri sadar kalau yang ia lakukan sudah keterlaluan karena ia lancang mencium bibir Elya. Alhasil saat ini ia berada di bawah kungkungan Elya dan mendapatkan serangan Elya habis-habisan. Tubuh Bariqi sudah sakit semuanya. Wajahnya terasa bengkak dan pinggangnya yang sakit. Namun, Bariqi tetap mengusung senyum tipisnya. Karena bagi Bariqi, lebih baik Elya yang marah seperti ini daripada menangis seperti semalam.
“Elya, ampun.” Bariqi sudah tidak kuat, pria itu sudah lemas dan pasrah di bawah Elya.
Melihat Bariqi yang sudah babak belur, Elya turun dari perut Bariqi. Gadis itu menjauhkan tubuhnya dengan napas yang ngos-ngosan.
“Elya, aku butuh kamar mandi,” ringis Bariqi memegangi tubuh bagian bawahnya. Mata Elya tidak sengaja menatap ke arah sana, Elya pun segera memalingkan wajahnya.
“Kamar mandinya kamu sudah tahu letaknya di mana, gak perlu aku antar,” ujar Elya.
Bariqi segera ngacir turun dari ranjang dan menuju kamar mandi. Pria itu tergesa-gesa dan menutup pintunya dengan kencang membuat Elya memejamkan matanya kaget.
Elya kesal setengah mati dengan Bariqi, ia pikir hari ini ia akan terbebas dari Bariqi, tapi ternyata masih pagi buta Bariqi sudah menghancurkan harinya. Elya bergegas menuju ke dapur kecil untuk membuatkan jahe anget untuk bosnya, agar setelah dari kamar mandi bosnya bisa segera enyah dari hadapannya.
Di kamar mandi, Bariqi melakukan solo karir karena ular yang bawah sudah siap mematuk. Bariqi merutuki Elya yang pakai acara duduk di atas perutnya. Yang diduduki perut, tapi yang bereaksi malah dibawah perut. Pagi-pagi buta begini Bariqi sungguh merasa tersiksa, wajah dan badannya sakit semua, ditambah sesuatu yang menonjol tampak menyiksanya.
Setelah selesai dengan urusan kamar mandi, Bariqi segera keluar dan menyusul Elya di dapur. Elya sudah menyiapkan jahe anget untuk Bariqi. Saat melihat Bariqi, gadis itu menyerahkan segelas jahe anget. Bariqi menerimanya, tubuh pria itu luruh ke lantai dengan lemas. Kaki Bariqi mengakang lebar seolah pria itu benar-benar tidak punya tenaga.
Elya memutar bola matanya jengah, pagi-pagi ia sudah dinodai dengan tingkah Bariqi.
“Minggir!” titah Bariqi menendang kaki Elya dengan pelan.
“Kenapa aku disuruh minggir?” tanya Elya.
“Aset masa depan kamu sudah tidur, kalau kamu tetap berdiri di situ, aku tidak bisa jamin kalau-”
“Teruskan bicara kamu kalau mau aku injak sampai putus,” sentak Elya memotong ucapan Bariqi. Bariqi dengan sigap menutup tubuh bagian bawahnya dengan tangan. Namun saking paniknya, ia lupa kalau di tangan kanannya memegang gelas jahe anget. Alhasil air itu tumpah tepat mengenai aset berharganya. Bariqi meringis, rasanya pagi ini ia ingin menangis dengan kencang karena ke-apesan yang dia derita.
Panas, sakit dan nyeri bersamaan. Sedangkan Elya, gadis itu tertawa terbahak-bahak karena melihat Bariqi yang apes dan tersiksa.
“Hahahah … rasakan, itu namanya karma dibayar kontan,” ucap Elya yang tertawa dengan puas. Gadis itu terbahak-bahak sampai memegangi perutnya yang sakit karena terlalu kencang tertawa. Beda dengan Bariqi yang memejamkan matanya meratapi nasib apes yang menimpanya. Hasil mematuk bibir Elya membuatnya apes bertubi-tubi. Ular yang atas sudah senang, tapi yang bawah, harus terima nasib buruknya.
“Hari ini kamu gak usah kerja,” ucap Bariqi yang membuat Elya menatap pria itu. “Aku telpon manager untuk ijin kamu. Lagian tidak banyak orderan hari ini,” tambah Bariqi sembari mencuci gelas bekas jahe anget. “Enak saja, aku tetap kerja meski gak banyak orderan. Kalau gak kerja gajiku dipotong sehari, bisa rugi bandar,” oceh Elya. “Aku ganti.” “Gak usah seenaknya jadi orang. Aku mau kerja hasil keringatku sendiri. Sekarang kamu keluar dari sini!” titah Elya menarik tangan Bariqi. “Gak, aku gak akan keluar,” kata Bariqi dengan keukeuh. “Terus mau kamu apa sih?” “Aku mau kamu ikut aku.” “Aku harus kerja.” “Gak usah kerja, aku ijinkan sama manajer.” “Kok kamu seenaknya sendiri jadi orang. Aku asistenmu di kerjaan, tapi aku bukan siapa-siapa kamu saat di luar,” sentak Elya ingin menendang kaki Bariqi. Namun Bariqi segera menghindar. Bariqi merogoh celananya, mengambil dompet dan menarik dua kartu debit berwarna biru dan hitam. Elya membulatkan matanya melihat itu. S
Setelah perdebatan panjang dan prahara rumah tangga, akhirnya Bariqi dan Elya duduk anteng dalam mobil. Elya masih menatap sinis ke arah Bariqi, pun dengan Bariqi yang tidak kalah sinis. Bariqi menatap Elya dari atas sampai bawah, teman-temannya selalu mengatakan kalau Elya adalah gadis polos, dan teman-temannya seolah menjadi garda terdepan dalam menjaga Elya. Namun mereka tidak tahu kalau aslinya Elya tidak sepolos yang mereka kira. Elya saja sering menonton drama Petir merah, jelas otak Elya tidak polos lagi. Juga Elya bisa menjaga dirinya sendiri lebih baik dari orang lain. Bariqi tampak menimang-nimang, pantas saja Elya jomblo akut, karena tingkah lakuknya saja lebih ganas daripada laki-laki. “Kenapa lihat-lihat? Naksir?” tanya Elya sewot. Bariqi menjitak kepala Elya dengan kencang membuat Elya balas memukul pundak Bariqi. Bariqi tidak diam saja, pria itu kembali memukul lengan Elya. Tentu saja Elya memukul dada Bariqi lebih kencang. Tak! Bugh!Jrot! Suara jitakan, pukulan
Wajah Elya memanas mendapat ciuman dari Bariqi. Bukan memanas karena tersipu atau pun terbawa perasaan, melainkan memanas karena rasa marah. Bariqi tersenyum puas, pria itu menatap hpnya yang kini ada gambar dirinya tengah mencium Elya. “Bariqi!” desis Elya mengepalkan tangannya dengan kuat. Elya mengangkat tangannya dan meninju pipi Bariqi dengan kuat. Jrot! “Akhh!” Brukk!Tubuh Bariqi ambruk tepat di semak-semak yang ada di bawah tumbuhan apel. Tinjuan Elya sangat kuat membuat Bariqi tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. “Siapa yang mengijinkan kamu menciumku, hah?” teriak Elya menduduki perut Bariqi yang kini jatuh telentang. Elya meninju lagi pipi Bariqi, tidak hanya meninju, gadis itu juga mencekik Bariqi. Sebisa mungkin Bariqi menahan teriakannya. Di seberang sedang banyak orang dan ibu-ibu grub senam tengah bertamasya, kalau ia berteriak, sudah pasti dikira ia aneh-aneh dengan Elya. Apalagi kini mereka berada di semak-semak. “Elya, jangan begini. Kita selesaikan deng
Saat ini Bariqi dan Elya tengah duduk di ruang tamu rumah Bariqi. Tadi saat Elya sudah masuk ke mobil Bariqi dan Bariqi tengah membayar apel, ibu Bariqi nyelonong masuk ke mobil Bariqi dan ingin ikut anaknya bersama seorang gadis bernama Elya. Mau tidak mau Bariqi pun membiarkan ibunya ikut ke mobilnya. Ibunya memaksanya pulang bersama Elya. Bariqi duduk diam, sedangkan Elya di sampingnya pun juga mengunci mulutnya rapat. Bu Putri pergi mengambil minyak telon untuk mengobati tubuh Bariqi dan Elya yang penuh gigitan semut juga terkena bulu ulat. Dalam hati Bariqi, pria itu terus mengomeli ibunya yang pakai acara bertamasya dengan grub senamnya di Wisata Petik Apel. Ibunya sungguh mengganggu acaranya dengan Elya. Tidak hanya ibunya yang mendapatkan rutukan Bariqi, melainkan ibu-ibu yang lain. Sudah tahu tim senam, tapi pakai acara petik apel. Sudah senam paling semangat, tapi saat pulang makan gorengan, beli punten, sompil, lontong dan lain-lain. Bagi Bariqi, orang paling tidak konsis
Elya masih terdampar di rumah Bariqi. Bahkan saat ini di depannya ada sepiring nasi lengkap dengan urap dan bandeng, makanan kesukaan Elya, tetapi ia tidak enak hati ketika akan memakannya. “Nak, dimakan. Ibu ke dalam dulu, nikmati makanannya,” ujar Putri setelah menyodorkan satu teko air pada Elya. Putri memilih pergi dari ruang tamu agar anak-anaknya tidak canggung. Elya menatap pintu penghubung ruang tamu yang sudah menelan punggung Bu Putri. Elya tidak habis pikir kenapa orang yang sangat kalem dan cantik seperti Bu Putri mempunyai anak seperti Bariqi. “Dimakan, Elya!” titah Bariqi. “Kamu anak hadiah beli pasta gigi ya?” tanya Elya pada Bariqi. Bariqi mengerutkan alisnya bingung. “Kalau tidak gitu, pasti kamu anak pungut. Bagaimana bisa Bu Putri yang lemah lembut punya anak seperti kamu?” tanya Elya lagi. Bariqi menampilkan raut kesalnya, pria itu menjitak kepala Elya dengan pelan. “Mau aku anak hadiah dari pasta gigi atau anak pungut juga bukan urusan kamu,” ketus Bariqi.
Meski sudah mendapat bentakan dari Bariqi, Elya tidak kunjung menurunkan kakinya dari paha Bariqi. Gadis itu juga tidak peduli kalau kakinya juga sudah dipukul dengan kencang. “Elya!” desis Bariqi menatap Elya tajam. Elya hanya menampilkan ekspresi sinisnya pada Bariqi. Ia sudah terbiasa mendapatkan tatapan tajam dari Bariqi, ia tidak takut lagi. “Dek, adek mau apa? Di depan ada penjual sempol, adek mau biar Mbak belikan,” ucap Cici pada Elya. Elya membulatkan matanya mendengar ucapan Cici, sedangkan Bariqi yang tadi menampilkan raut garangnya kini menahan tawanya yang akan meledak ketika mendengar ucapan Cici. Elya bukan gadis biasa yang mudah disuap dengan sempol, gadis itu sukanya hanya sama duit. Elya mengembungkan pipinya, gadis itu segera menurunkan kakinya dan beranjak berdiri. “Mau kemana?” tanya Bariqi. “Pulang,” jawab Elya. “Oh iya mau aku pesenin ojek online?” Tangan Elya terkepal dengan kuat, tadi ia pulang tidak boleh dan Bariqi juga bilang kalau tidak ada ojek. Nam
“Elya, boleh aku tanya sesuatu sama kamu?” tanya Vino sedikit ragu. “Boleh,” jawab Elya. “Kamu ada hubungan apa sama Chef Bariqi?” “Babu dan atasannya,” jawab Elya dengan santai. “Maksudku bukan begitu. Em … seperti misalnya teman tapi mesra.” Brakk! “Demi langit bumi bersaksi, apa kamu gila, Vino?” teriak Elya dengan spontan memukul meja dengan kencang. Vino tersentak kaget karena ulah Elya, pria itu mengusap dadanya pelan. “Teman tapi mesra dari mananya? Setiap aku bertemu sama dia, sama saja aku bertemu dengan setan yang sangat ingin aku hindari. Mungkin saat dulu di dalam kandungan aku sangat nakal, suka gigit-gigit jantung ibuku dan main sepak bola dalam perut, makanya saat aku sudah gede, aku dipertemukan sama orang yang freak seperti Bariqi. Melihat tampangnya saja sudah membuatku ingin mencakarnya sampai habis. Lihat wajah sombongnya itu, apa kamu pikir aku mesra sama dia? Jadi temannya saja aku tidak sudi.” Elya mengoceh bertubi-tubi dengan nada yang sangat menggebu-ge
Sejak pagi aura dapur terasa sangat suram dan mencekam. Tidak ada yang salah dari para pekerja yang bekerja dengan giat, tetapi ada salah satu orang yang membuat suasana menjadi terasa mencekam, yaitu Bariqi. Sejak tadi pandangan Bariqi tidak lepas dari Vino, tatapannya sangat tajam menusuk pada pria berusia dua puluh dua tahunan itu. Vino salah tingkah seorang diri, ia merasa tidak membuat kesalahan, tetapi Bariqi terus menatapnya seolah mengibarkan bendera permusuhan.“Vino, kamu buat kesalahan apa?” tanya Chef Edo menyenggol lengan Vino. Chef Edo juga merasa tatapan Bariqi sangat tajam ke arah Vino. Vino menggelengkan kepalanya.“Aku tidak ngapa-ngapain, Chef,” jawab Vino.Edo mengangguk-anggukkan kepalanya, chef senior itu kembali pada pekerjaannya. Sesekali Edo akan melirik ke arah Bariqi. Wajah Bariqi menandakan amarah yang sangat dalam.Teng teng teng! Bariqi memukulkan spatula ke pan dengan kencang. Elya segera menghadap karena itu panggilan untuknya. “Siap chef, ada yang bis