Malang, 2011
"Mitha, tolong kecilkan tivinya." kata Amak dengan suara tinggi padaku yang menonton serial kartun Chibi Maruko Chan di vcd yang aku beli sendiri.
"Iya, Amak." jawab Mitha. Sekarang Amak sangat mudah marah.
Kota dingin ini membuatku ingin pulang ke rumah Eyang Kakung di Surabaya. Tapi Apak dan Amak menggelar dagangannya di sini. Gorden-gorden jahitan Amak dipajang di lapak kecil Pasar Tradisional Modern ini. Tapi kalau sudah malam begini biasanya Apak dan Amak sudah pulang.
Pring!
Prang!
Preng!
Prang!
Kudengar ada suara piring melamin yang dilempar. Kulihat Amak melempar piring itu ke arah Apak, tetapi tidak kena. Apak menghindar dan mencoba menangkis lemparan piring dari Amak.
"Modalnyo 30.000, awak jual 35.000 sehelai. Ba a ko nak untuang, Pak?!" omel Amak pada Apaknya yang cuma mengambil untung 5000 perak dari penjualan satu gorden.
"Biar laku lah, Maimunah." jawab Apak yang memanggil nama Am
Sudah sebulan ini kudengar Amak selalu meminta diceraikan Apak."Ada apa, Amak? Apak setia dengan Amak. Pulang ke kampung Amak di Jawa Timur pun Apak lakukan." kata Apak pagi itu pada Amak yang menyiapkan koper di kamar. Aku mengintipnya dari balik gorden panjang.Amak diam saja. Tangannya cekatan memindahkan baju dari lemari ke kopernya. Dalam hatiku berkata, apakah Amak hari ini benar-benar akan meninggalkan kami?Tiba-tiba Amak angkat suara. Suara itu memecahkan gendang telinga."Wes lama aku hidup denganmu, Pak. Ora pernah aku sugih. Gak pernah kaya-kaya. Aku ora gelem hidup susah terus, Pak." jawab Amak yang akhirnya mengancing koper besarnya.Apak terdiam. Sepertinya Apak sudah pasrah. Amak menggendong adikku yang paling kecil, Gibran. Ia masih umur 3 tahun. Amak pun berdiri dari tempat duduknya. Sambil membawa koper dan menggendong Gibran."Saya tunggu surat cerainya, Pak! Gibran saya bawa karena masih sangat kecil."
Richi masih memakai jas putihnya. Ia tampak baru keluar dari lobby Klinik Bunda, tanda tugasnya sore itu telah usai. Tak perlu naik mobil untuk tiba di kosannya, hanya jalan kaki. Mobil yang dikirimkan sopirnya itu pun sering hanya tergeletak di parkiran samping kosannya tanpa sering dipanaskan.Ia menyusuri jalan setapak. Baru kali ini ia merasa merdeka. Jadi dokter yang simple. Cuma bercelana jeans, berkaos oblong dengan jas dokternya, dan bersendal jepit tapak biru yang baru ia beli di warung tetangga. Kini dia berjalan dari klinik itu menuju kosannya. Tampak rumah-rumah warga pribumi di sepanjang jalan setapak itu di kanan dan kirinya. Jalan setapak ini masih berbatu kerikil. Belum diaspal. Jadi, kalau siang terik dan panas biasanya debu-debu beterbangan ke atas awan. Rumah-rumah yang berjejer itu beberapa di antaranya berjualan di depan rumahnya. Dipikirnya, beruntung juga ngelapak di dekat bahkan di depan lokasi klinik yang ramai. Di antara rumah-rumah yang berjualan it
Pagi ini tak seindah biasanya. Alias lebih indah dari hari-hari indah biasanya bagi Mitha. Tentu saja karena sore kemarin ia bertemu dengan cinta pertamanya ketika ia masih kecil dulu.Subuh ini ia sudah bangun salat sunnah rawatib sebelum subuh, salat subuh, lanjut mengaji, lalu ia membaca dzikir pagi, memohon perlindungan Allah. Itulah yang dilakukannya setiap hari kalau di kosan. Guru ngajinya pas kuliah dulu yang mengajarkannya.Setelah merapikan alat salat dan kitab mengajinya, ia menuju kamar mandi. Ia mandi tidak sambil bernyanyi karena kata guru ngajinya dulu, WC adalah sarang setan atau rumah setan yang ditangguhkan Tuhan sampai hari kiamat nanti. Jadi, kalau nyanyi-nyanyi di kamar mandi, bisa jadi setannya tertawa. Makanya kadang ada cerita kalau kita bernyanyi di kamar mandi, terkadang kita mendengar ada yang melanjutkan nyanyian kita. Itu karena setannya ikut nyanyi, lho.Ah, kini Mitha telah selesai mandi. Mandi subuh
Pak Marwan duduk di pos satpam. Sore itu Mitha pulang dari dinas pagi di RSUD. Kini saatnya dia kembali dinas lagi sore ini di Klinik Bunda. Cari duit sebanyak-banyaknya buat sekolah FKG-nya Shinta, adiknya yang padahal sudah dapat beasiswa. Ia hanya takut kurang dana beasiswanya. Jadi bisa menolong adiknya kuliah.Mitha pun menunggu ojek online di dekat pos satpam itu. Seperti biasa, mata Mitha agak jeli. Ia menelusuri ruang kecil satpam itu. Dilihatnya ada jam dinding putih di dalam sana, ada satu kursi dan meja kecil. Cukuplah untuk menonton siaran tivi di Hp sambil menjaga pos."Lho, Pak Marwan, itu kok di meja satpam ada buku diary pink." kata Mitha.Sebenarnya Mitha barusan ingin bilang kalau itu buku diary pink punya Dokter Rissa. Tapi, karena di sepanjang jalan ia merasa Dokter Rissa sangat save dengan diary itu, Mitha penasaran. Pikirnya, sebaiknya Mitha saja yang mengembalikannya diary itu pada Dokter Rissa. Jangan Pak Satpam."Lho, ini diary ka
"Varian Delta sudah masuk ke tanah Air. Lagi-lagi dimulai dari Jakarta dan Pulau Jawa. Menurut penelitian studi kasus dari Saito, dan kawan-kawan (2021), Mutasi Spike P681R, E484Q, dan L452R mempermudah varian delta masuk ke sel inang, sedangkan menurut studi kasus dari Mueksch (2021), mutasi spike T478K membuat virus mudah lolos dari antibodi. Varian delta ini viral loadnya 1000 x lebih tinggi dari pada varian Wuhan tahun 2019 lalu."Lagi-lagi berita di tivi mengejutkan dunia, terutama Indonesia. Dokter Rissa dan Dokter Yusuf saling pandang, entah berarti apa ketika sama-sama melihat berita itu di tivi IGD. Setelah visit pasien covid di ruangan isolasi barusan, mereka kembali duduk di meja kerja masing-masing. Meja kerja mereka bersebelahan."Waw, Indonesia hari ini menduduki peringkat pertama jumlah kasus baru terbesar se-Asia." kata Dokter Yusuf. Di sana juga ada Nurse Vivi dan Nurse Bonar yang juga bertugas. Juga ada Bidan Pipit."Iya, Dok." jawa
Sedikit-sedikit Rissa mengemil. Semua makanan yang dibawakan Dokter Yusuf habis tak bersisa. Bahkan kekurangan. "Duh, tapi saya harus mengendalikan nafsu makan saya yang begini. Kalau tidak, saya akan bertambah gendut, sedangkan saya masih menyembunyikan semuanya. Bagaimana kalau mami dan papi ke sini? Kan buyar." kata Rissa dalam hati."Rissa dan Yusuf memasuki kamar dokter. Biasanya Rissa tidur di kamar perawat, tetapi kali ini Dokter Yusuf yang mengalah. Ia bilang akan tidur di kamar perawat laki-laki, si Bonar. Rissa pun tidur sendirian di kamar itu. Terlihat Dokter Yusuf membereskan bawaannya di kamar itu untuk memindahkan barangnya itu ke kamar Bonar. Mereka pun kini hanya berdua di kamar itu. Lalu Yusuf pamit pada Rissa. Lalu ia berkata, "Rissa, besok kita libur kan? Besok saya jemput kamu boleh?" tanya Yusuf dengan penuh harapan.Rissa hanya mengangguk pelan sekali.***Pagi ini lebih dingin dari biasanya. Bumi sedang berada di titik yang paling j
Wanita berbaju merah dan bersepatu merah itu berjalan ke arah rumah Mitha sambil menggandeng seorang bocah laki-laki berumur sekitar lima tahun yang memakai kemeja merah dan celana hitam. Sepatunya berwarna merah Spiderman memegang tembak-tembakan plastik mainan."Sudah dua tahun saja saya tinggalkan tanah ini," serunya angkuh dalam hati. "Tapi, apakah Uda dan anak-anak masih tinggal di sini ya?" serunya lagi lirih.Mitha yang sibuk menguahkan cilok pedas itu dengan kuah cabe merah, merasa ketokan sepatu itu, tik tok, tik tok, tik tok, semakin mendekat ke arahnya."Rumah ini apa sudah berganti penghuni ya?" kata wanita itu lagi dalam hati. Ia kini melepas kaca mata hitamnya. Tas kecilnya masih berada di lengan kirinya yang kengsi (can see). Ia sedikit melotot melihat di depan rumah itu ada gerobak bertuliskan "Cilok Pedas".Mitha masih sibuk dengan pelanggannya yang satu lagi. Ia belum sempat melihat ke arah wnaita berbaju merah. Ia cekatan. Diambilnya be
Rissa teringat Yusuf ketika hendak tidur. Ia tak bisa tidur. Miring kanan atau pun kiri serba salah. Dielusnya perutnya. Lalu meneteslah air matanya. Tepat hari ini berdasarkan HPHT (Hari Pertama Haid Terakhir) usia kandungan Rissa masuk tepat delapan minggu, bahasa ringkasnya 8 weeks (8 w) atau dua bulan. Terkadang ia ingin aborsi saja. Tapi, terkadang naluri keibuannya terlahir kembali."Apa sih gunanya mempertahankan anak tanpa ayah ini? Ayahnya saja tidak berguna, tidak merasa, tidak bertanggung jawab!" pekik Rissa di kamarnya yang redup karena semua lampu dimatikannya, kecuali lampu tidurnya yang berwarna kuning.Pernah ia minum jamu. Padahal ibu hamil dilarang minum jamu. Takut aborsi. Atau mungkin bisa saja Rissa meresepkan pil aborsi itu sendiri sebelum Tuhan meniupkan ruh ke dalam janin ini. Tapi, Rissa malah berpikir, kalau dia mencoba aborsi, hal yang paling ditakutkannya adalah bukannya janin mati, tetapi bisa jadi janinnya lumpuh karena mencoba aborsi. Jad