“Max, aku baik-baik saja,” ujar Gabriella dengan suara pelan dan datar.
“Maaf, Gaby. Aku tidak bisa memercayai Sebastian begitu saja,” sahut sang pria sembari terus menelusuri tubuh istrinya.
Mendengar kesungguhan sang suami, Gabriella hampir saja menghela napas berat. Si peneror memang tidak meninggalkan jejak yang terlihat. Akan tetapi, sang wanita tetap merasa bersalah karena tidak berdaya saat dirinya disentuh oleh pria lain.
“Apa saja yang dia lakukan kepadamu?” tanya Max sembari menekuk lutut untuk memeriksa kaki sang istri.
“Tidak ada apa-apa, Max. Dia hanya mengantarku,” bohong wanita itu sambil berusaha mendatarkan ekspresi.
“Benarkah?” timpal sang pria dengan sebelah alis bergerak naik. “Apa kau tahu bahwa Sebastianlah yang menyusun rencana untuk menjebakku di kantor? Aku sempat berpikir kalau dia sengaja mengulur waktuku agar dapat menculikmu.”
Mendengar kekha
“Apakah kau mau melakukannya di sini?” bisik Max setelah menyadari bahwa Gabriella membalas kecupannya dengan mesra. “Ya,” desah sang wanita sembari menyingkirkan busa yang hampir hilang dari rambut suaminya. “Tapi, bolehkah aku yang melayanimu malam ini?” Mendapat usulan tak terduga itu, alis sang pria melengkung maksimal. “Kau serius?” “Tentu saja.” Sedetik kemudian, Gabriella mulai mencelupkan tangan ke dalam air. Selang beberapa saat, Max mulai melepaskan kesenangan di udara. “Apakah aku melakukannya dengan benar?” bisik sang wanita sambil terus menimbulkan riak air. “Ya,” desah pria yang hampir tak mampu menjawab. Ia telah terbuai oleh pijatan sang istri. “Bagaimana dengan ini?” Tiba-tiba, Max mengerang panjang dan mencengkeram dinding bathtub. Tanpa terduga, Gabriella tertawa kecil melihat ekspresi suaminya. “Apakah kau tahu kalau wajahmu sangat jelek saat ini?” ledeknya dengan senyum simpul.
Begitu membuka mata, Max langsung tersentak oleh kekosongan di hadapannya. Sang istri tidak lagi berada dalam dekapan. “Gaby?” panggil pria itu dengan suara serak dan tidak stabil. Tak kunjung mendapat jawaban, Max akhirnya mengenakan pakaian lalu beranjak ke kamar mandi. “Gabriella?” Mengetahui sang istri tidak juga berada di sana, kerut alis pria itu sontak menjadi lebih dalam. Setelah menggetarkan bola mata sejenak, ia terbelalak dan langsung melangkah keluar kamar. “Bibi! Bibi ...!” teriaknya sembari bergegas menuju tangga. Tepat ketika Max hendak melangkah turun, pintu ruang kerjanya terbuka dan Gabriella keluar dengan alis terangkat heran. “Ada apa, Max?” Gerak sang pria seketika membeku. Selang satu helaan napas lega, ia berjalan cepat menghampiri sang istri. “Kenapa kau keluar kamar tanpa memberitahuku? Aku sampai berpikir kalau kau menghilang,” desah Max seraya mendekap sang wanita. Dengan mata terpejam, ia mer
Setelah memperhatikan gerak alis Amber yang menyatakan tantangan, Gabriella akhirnya mengalihkan pandangan ke arah sang pelayan. "Bibi, tolong beri kami privasi." Mendengar permintaan yang tak terduga itu, mata Minnie terbuka lebar. "Anda yakin Nyonya?" "Tentu saja yakin," sela Amber sambil memasang senyum miring. "Dia sadar bahwa aku telah mengetahui—" "Tolong, Bi." Mengetahui si tuan rumah merasa terancam, lengkung bibir Amber bertambah lebar. Sembari tertawa tanpa bunyi, ia memperhatikan sang pelayan menuruni tangga. "Apa yang ingin kau sampaikan?" tanya Gabriella sukses mengembalikan kekakuan di wajah sang tamu. "Kudengar, IQ-mu tinggi. Bukankah seharusnya kau sudah mampu menebak?" sindir Amber membuat darah Gabriella semakin mendidih. "Tolong jangan bertele-tele." "Aku tahu bahwa seseorang memintamu untuk meninggalkan Max." Sedetik kemudian, keheningan membekukan suasana. Gabriella seolah dapa
“Lihatlah! Kita sudah tiba,” celetuk Max sembari melepas tangan sang istri untuk memutar kemudi. Dengan alis melengkung tinggi, Gabriella mengalihkan pandangan. Begitu menatap gedung berdesain indah di hadapannya, mulut wanita itu langsung terbuka lebar. “Max, kau mengajakku menyaksikan penampilan orkestra papan atas?” desah Gabriella tak percaya. Sang pria menoleh sekilas. Melihat sang istri terkesima, sudut bibirnya terangkat ringan. “Ya.” Hanya dalam sekejap, sang wanita tidak bisa lagi menahan gejolak dalam dada. Dengan mata berkaca-kaca, ia melebarkan senyuman. “Aku sudah lama memimpikan momen ini, Max,” ucapnya dengan suara tipis. Namun, begitu sang suami menghentikan mobil, kebahagiaan wanita itu memudar. “Tapi, bagaimana jika ada yang mengenalimu? Bukankah kau bisa dituduh tidak peduli dengan urusan Quebracha dan malah bersenang-senang?” Dengan santai, Max membuka sabuk pengaman dan menggeleng. “Kau tenang saja. A
Begitu terbangun di pagi hari, Gabriella tidak berani bergerak. Sang suami masih tertidur pulas, seperti bayi yang tengkurap di atas tubuh ibunya. “Max?” bisik wanita itu menguji. Selang beberapa detik, tidak ada suara yang terdengar. Pria itu tetap bergeming. Mengetahui bahwa sang suami nyaman dengan bantal empuknya, bibir Gabriella otomatis melengkung kecil. “Kau pasti kelelahan,” gumamnya sembari menyentuh rambut sang suami. Dalam diam, wanita itu memperhatikan detail wajah di bawah dagunya. Mata yang sering ia tatap, sedang bersembunyi di balik kelopak lebar. Bibir yang sering memberinya kehangatan, sedang bergeming tanpa suara. Perlahan-lahan, kesedihan mulai menggetarkan udara dalam paru-parunya. “Aku pasti akan sangat merindukanmu,” batin Gabriella sebelum menelan ludah. Sedetik kemudian, ia terpejam, berusaha menahan gejolak dalam dada. Matanya yang panas tidak boleh menampakkan kegelisahan. Rencananya bisa berantakan jika samp
“Selamat pagi, Mia,” sapa Max dengan nada ceria. Wanita muda di balik meja sontak terbelalak. Dengan anggukan kaku, ia membalas sapaan sang CEO. “Selamat pagi, Tuan. Apakah ada kabar baik hari ini? Wajah Anda tampak sangat cerah.” Senyum terkulum langsung menjawab pertanyaan si sekretaris kedua. “Belum ada kabar baik. Aku masih belum menemukan pembelaan yang tepat.” Lengkung alis Mia seketika berubah menjadi kerutan. Melihat ekspresi itu, sang CEO mendengus geli. “Hari ini adalah ulang tahun istriku. Nanti malam, kami mengadakan pesta kecil di rumah. Datanglah kalau kau sempat,” ucap Max sukses meredakan kebingungan si wanita. “Oh, pantas saja Anda terlihat bahagia. Ternyata, Nona Gabriella sedang berulang tahun,” angguk Mia sambil memajukan bibir. “Bukan Nona Gabriella, tapi Nyonya Evans,” koreksi sang pria dengan mata menyipit. Hanya dalam sekejap, sang wanita mengangkat tangan menutupi mulutnya. “Maaf, Tuan. Saya sudah terbi
“Apakah tebakanku benar? Semua ini adalah perbuatan ayahku?” tanya Max yang masih menatap punggung sang sekretaris. Selang keheningan sejenak, Sebastian akhirnya berbalik menatap sang CEO. “Kenapa kau menuduh ayahmu sendiri? Apakah kau benar-benar sudah kehilangan akal sehat?” timpal pria itu dengan raut kaku. Tanpa terduga, bibir Max mulai melengkung miris. Setelah mengembuskan napas cepat, ia meringis sembari menggeleng. “Tak kusangka, ternyata benar-benar Papa. Apa yang harus kulakukan untuk melawannya sekarang? Aku tidak ingin menjadi anak durhaka,” gumamnya dengan tatapan menerawang. Mengetahui bahwa Max telah menemukan kebenaran, kerongkongan Sebastian semakin terasa gersang. Ia ditugaskan untuk menambah tekanan dalam kepala sang CEO, tetapi malah dirinya yang terdesak dan kehabisan kata-kata. “Aku sungguh tidak mengerti, apa salahku sampai kalian diam-diam menusukku. Untuk apa aku diberikan kepercayaan kalau pada akhirnya dijatuhkan sep
“Gaby? Gabriella?” teriak Max tidak peduli jika pita suaranya rusak. Malangnya, sekencang apa pun ia memanggil, sang istri tetap tidak menjawab. Sambil menelan ludah dan air mata, Max mencengkeram kepala yang serasa hampir pecah. “Tidak mungkin dia kabur lagi. Tidak,” gelengnya berusaha mengingkari. “Dia sudah berjanji untuk merayakan ulang tahun bersama. Tidak mungkin dia pergi begitu saja.” Selang perenungan singkat, alis pria itu terangkat maksimal. Tanpa membuang waktu, ia berlari menuju pos penjaga. “Di mana istriku?” tanya Max, tidak lagi memikirkan kesopanan. Dua penjaga berwajah pucat pun otomatis berdiri menghadapnya. “Eng ... itu ....” “Di mana!” desak sang CEO membuat para penjaga tersentak. “Begini, Tuan .... Sesuatu telah terjadi.” “Jangan berbelit-belit dan cepat katakan yang sesungguhnya!” hardik pria yang tak pernah semarah itu sebelumnya. Dengan bola mata yang tidak bisa diam, seorang penjaga mu