Mendapat pertanyaan menguji itu, Max sontak menegakkan wajah. Rahangnya yang berdenyut-denyut tampak lebih jelas, begitu juga dengan sorot mata yang murka.
“Apakah sejak dulu, kau memiliki sikap seburuk ini?” ucapnya lambat dan penuh penekanan.
Mendengar kata-kata yang tak terduga itu, mata Herbert sedikit melebar. “Apa yang kau bicarakan?”
Dengus remeh spontan terlepas dari mulut sang CEO. “Jika sejak dulu kau memang memiliki sifat egois dan akal selicik ini, tidak heran jika Mama berselingkuh darimu.”
Hanya dalam hitungan detik, si pria tua telah berdiri dengan kedua tangan terkepal erat. “Jaga bicaramu! Untuk apa kau membenarkan perbuatan hina perempuan licik itu?”
Sekali lagi, sudut bibir Max berkedut miris. “Lantas, apakah perbuatan hinamu ini bisa dibenarkan?”
Sedetik kemudian, sang CEO melangkah maju dan meluruskan kembali lembaran foto yang telah kusut. “Bukankah kau sendiri yang bilang bahwa aku ini cerdas?”
Usai berta
Dengan pandangan berputar dan telinga berdenging, Max mencoba meraih Snowy. Setelah berhasil mendapatkan boneka beruang putih itu, ia keluar dari mobil yang dipenuhi balon kempis. “Tuan, apakah Anda tidak apa-apa?” tanya seseorang yang tidak dihiraukan oleh Max. Pria itu terus berjalan sempoyongan sambil mengucapkan nama sang istri. Tidak ada darah yang terlihat. Namun, semua orang khawatir dengan wajah pucatnya. “Tuan? Bagaimana kalau kita ke rumah sakit?” Max menoleh ke arah wanita yang berdiri tidak jauh darinya itu. Alih-alih menjawab, ia malah berbisik, “Gabriella?” Selang dua detik, pria itu jatuh membentur aspal. Pekik histeris langsung terdengar dari orang-orang yang mengelilinginya. “Cepat panggil ambulans!” “Adakah dokter di sekitar sini?” “Bagaimana kalau kita bawa saja ke rumah sakit terdekat?” Max sama sekali tidak mengetahui kepanikan orang-orang itu. Dirinya telah terlelap dengan bayangan Gabriella sebaga
Tepat ketika Minnie sekeluarga tiba di depan kamar Max, seorang dokter keluar dari balik pintu. Tanpa sempat memperkenalkan diri, si perempuan tua menghentikan langkah pria berjas putih itu. “Dokter, bagaimana keadaan Tuan Max?” tanya Minnie dengan mata basah dan kerutan alis yang dalam. “Apakah kalian keluarga pasien?” tanya pria itu terlihat ragu. Dengan sigap, sang pelayan menggeleng. “Kami sudah menghubungi ayah dan kakaknya. Sebentar lagi, mereka akan tiba.” Dengan kedipan ragu, sang dokter memiringkan kepala. “Maaf, kami tidak diperkenankan memberitahu kondisi pasien selain kepada orang-orang terdekat atau wali.” “Tapi kami sangat dekat dengannya, Dok. Aku sudah mengasuhnya sejak kecil,” terang Minnie sambil memukul dadanya sendiri. “Anda bisa memberitahukan kondisi adik saya kepada mereka, Dok,” sela Julian yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang. Semua mata spontan tertuju padanya. Setelah mengangguk, sang dokter akhir
“Aku tidak masalah jika kau menikahiku karena kecewa dengan penolakan Max. Aku juga tidak mempermasalahkan jika tujuanmu hanya untuk membuat Max menyesal. Tapi, kalau karena perintah orang lain ...,” kata Julian sebelum menggeleng mengekspresikan perasaannya, “aku tidak bisa menerima hal itu.” Untuk pertama kalinya, Amber tidak berani membantah perkataan Julian. Ia memang tidak mencintai laki-laki itu, tidak juga menaruh perhatian. Namun, menyadari bahwa kata-katanya telah meremukkan hati pria tulus itu, rasa bersalah akhirnya terbit dalam dirinya. Selang kebekuan sesaat, pandangan Julian beralih kepada sang ayah. “Jika tujuan Papa adalah membuat putramu merasakan sakit yang luar biasa karena pengkhianatan, kurasa ... Papa telah sukses mewujudkannya.” Herbert berkedip datar melihat putra kesayangannya menitikkan air mata. Lewat pemikiran cepat, ia mengarang pembelaan, “Ini tidak seperti yang kau bayangkan. Amber menerimamu bukan atas perintahku. Dia hanya mem
“Max?” desah Gabriella dengan pandangan yang mulai kabur terhalangi air mata. Tangannya yang tidak lagi menggenggam ponsel, kini bergetar hebat, sama seperti udara dalam paru-paru yang terbakar oleh kekhawatiran. Melihat gelagat aneh wanita itu, gadis yang sedang memerah sapi pun berhenti dan beranjak dari kursi kecilnya. “Ada apa, Nyonya? Apakah itu memang dari kantor pelayanan?” tanya Rose sambil menaikkan kedua alis. “Apakah saya gagal diterima di sana?” Selang beberapa saat, isak tangis akhirnya terlepas bersamaan dengan air mata. Sambil mencengkeram lengan sang gadis, Gabriella mencoba untuk tetap bernapas. “Max .... Bawa aku ke sana. Tolong ...,” pinta wanita yang tidak bisa lagi menyusun kata dengan semestinya. Otaknya telah dilumpuhkan oleh rasa takut akan kehilangan. Mendengar permintaan yang tak terduga itu, Rose sontak mengerutkan alis. “Ada apa, Nyonya? Kenapa Anda mendadak berubah pikiran?” “Tolong bawa aku ke sana!” pekik
“Maafkan aku, Max. Maafkan aku,” bisik Gabriella meski sempat tersedak. Matanya yang terpejam telah mengubah makna tangis. Wanita itu tidak lagi meratapi. Hati yang sempat hampa telah terisi oleh kehangatan sang suami. Sambil membelai rambut sang istri, Max menarik napas panjang. Udara berat tidak lagi membebani paru-parunya. Pria itu tidak pernah tahu bahwa sebuah pelukan bisa membebaskannya dari penderitaan. “Aku sangat merindukanmu, Gaby. Jangan pernah menghilang lagi dariku.” Selang beberapa saat, pasangan itu kembali menyatukan pandangan. Sekali lagi, sang pria mengeringkan wajah istrinya. “Sekarang, berhentilah menangis.” “Maafkan aku, Max. Kupikir, dengan kepergianku, kau bisa lebih mudah untuk melangkah. Kukira kau bisa menyelamatkan jabatan dan hidup tanpa beban. Aku tidak tahu kalau kenyataannya malah jadi seperti ini,” ucap sang wanita di antara jeda tarikan napas. “Karena itu, jangan pernah mengulangi hal bodoh seperti itu lagi. Me
“Apakah kau marah padaku?” tanya Gabriella ketika hanya tersisa dirinya dan sang suami di dalam ruangan. “Kenapa aku harus marah? Aku tahu, kau melakukan itu karena sayang kepadaku,” timpal Max sembari menatap wanita yang duduk di sisi ranjang dengan hangat. “Tapi, kau tampak tidak memercayai omonganku,” timpal Gabriella dengan bibir mengerucut. Melihat tampang menggemaskan itu, sang pria otomatis tersenyum. “Memangnya, kenapa kau bisa berpikir begitu tentang Julian?” Bola mata Gabriella mulai berputar-putar mencari kalimat awal untuk menjelaskan. “Apakah kau tahu bahwa di rumah ayahmu, ada piano dan piala-piala ibuku?” Max spontan mengangkat alis dan berkedip datar. “Benarkah? Aku sudah lama tidak pergi ke sana.” Gabriella menjawab lewat anggukan. “Menurutmu, apakah mungkin Julian tidak curiga saat melihat barang-barang itu?” “Jika mengingat sikap pria tua yang licik itu, dia bisa saja membohongi Julian dengan mengarang alasan
“Bisakah kalian menceritakan kronologinya? Apa yang dilakukan oleh pasien sebelum mimisan?” tanya seorang dokter sembari memasukkan senter kecilnya ke dalam saku. Max dan Gabriella sontak saling menatap. Setelah meringis kecil, sang wanita memberanikan diri untuk bicara. “Itu terjadi setelah kami melakukan ... itu.” Pria berjas putih otomatis menaikkan alis. “Maaf?” “Melakukan itu, Dok. Suami ... istri,” jawab Gabriella dengan suara pelan. Wajahnya agak tertunduk menyembunyikan pipi yang merona. Mengerti apa yang dimaksud oleh sang wanita, dokter itu mengangguk-angguk. “Sebenarnya, mimisan memang sering terjadi pada pasien gegar otak, sama seperti mual-mual. Tapi, kalau bisa dihindari, bukankah akan lebih baik? Jadi, cobalah untuk menahannya sampai pasien benar-benar pulih.” Melihat senyum tertahan di wajah sang dokter, Gabriella langsung tertunduk maksimal. Max terpaksa menahan geli melihat tingkah sang istri. “Terima kasih, Dok. Kami
Hanya dalam sekejap, Amber terkesiap. Darahnya mendidih dan hampir menguap. Sekujur tubuhnya bergetar mengimbangi gemuruh napas yang tak terkendali. Ia tidak terima jika dirinya dianggap lebih rendah daripada anak seorang pelayan. “Julian!” pekiknya mencoba menyadarkan pria itu. Namun, bukannya menoleh, sang pria malah menyeret Mia kembali ke dalam lift. Tidak sedetik pun ia mengalihkan wajah dari gadis itu. Ciuman tetap berlangsung sampai pintu tertutup. Setelah merasakan pergerakan pada lantai yang dipijak, Julian akhirnya menghentikan aksi spontannya. Sambil menyangga tangan pada dinding, ia mengurung gadis yang mematung dengan mata bulat dan minim kedipan. “Maaf,” desah sang pria sembari berusaha meredakan deru napas. “Maaf karena aku lancang menciummu. Kau boleh menampar atau memukulku sekarang.” Selang beberapa detik, sang gadis menurunkan pundak yang sebelumnya terangkat naik. Setelah otaknya berhasil mengumpulkan cukup oksigen